ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 09 Januari 2013

QISHOSH DALAM KACAMATA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

===================

QISHOSH DALAM KACAMATA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Menurut syara’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
Qishash ada dua macam. Pertama, qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan. Dalam kasus ini, pembunuhan berupa pembunuhan yang murni disengaja. Perlu diketahui bahwa dalam tindak pidana pembunuhan terdapat tiga model dengan perincian sebagai berikut:
1. Pembunuhan yang murni disengaja. Yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan benda atau alat yang memang benar-benar bisa menghilangkan nyawa manusia dengan disengaja.
2. Pembunuhan yang murni sebuah kesalahan. Misalnya ketika berburu, tembakan yang seharusnya ditujukan kepada binatang buruan, tanpa sengaja mengenai manusia dan menyebabkan hilangnya nyawanya.
3. Pembunuhan yang disengaja dan mengandung unsur kesalahan. Pembunuhan ini terjadi ketika seseorang melukai lawannya menggunakan benda `tau alat yang menurut adat kebiasaan tidak mungkin bisa menghilangkan nyawa. Dan seketika itu pula orang yang dilukai meninggal.
Qishos jiwa berlaku bagi pelaku pembunuhan pada poin pertama. Baik kematian korban terjadi seketika insiden berlangsung atau kematiannya terjadi beberapa waktu kemudian karena luka yang disebabkan oleh alat yang digunakan oleh orang yang melukai korban. Selain itu, qishos jiwa tidak boleh diberlakukan apabila pihak keluarga ridho dan memaafkan si pembunuh. Dan sebagai gantinya adalah si pembunuh dikenai diyat mugholladloh yang harus dibayar secara langsung.
Dalam literature fikh Syafi’iyah, ada 4 perkara yang menjadi syarat wajib diberlakukannya qishos jiwa.
1. Pembunuh sudah baligh
2. Pembunuh berakal sehat.
3. Pembunuh bukanlah orang tua korban pembunuhan.
4. Martabat -antara muslim dan kafir atau majikan dan budak- korban pembunuhan tidak lebih rendah dari pembunuh.
Kedua, Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan. Seperti halnya qishos jiwa, qishos anggota badan juga bersyarat. Syarat qishos model kedua lebih banyak dari qishos yang pertama. Keempat syarat qishos jiwa yang tersebut di atas berlaku qishos anggota badan ditambah dua syarat wajib yang khusus qishos anggota badan. Kedua syarat tersebut adalah
1. Kecocokan anggota badan yang akan dipotong. Pemotongan tangan kanan karena pelaku memotong tangan kana korban.
2. Satu dari kedua anggota badan yang berpasangan tidak cacat.
Begitulah gambaran kedua macam qishos yang diberlakukan dalam islam. Ketentuan tersebut masih berlaku bagi Negara-negara yang beridiologi daulah islamiyah (Negara islam) atau Negara-negara yang sebagian hukum pidananya mengadopsi hukum islam.

B. Hukum dan Syarat-Syarat Qishas
1. Hukum Qishas
Para ulama sepakat bahwa untuk mewajibkan qishas dalam pembunuhan yang disengaja, jika terpenuhi syarat-syaratnya. Sebagaimana yang didasarkan pada dalil-dalil al-quran dan as-sunnah.
2. Syarat-Syarat Qishas
Pelaksanaan hukuman qishas, para fuqaha sudah sepakat bahwa wali korban boleh mengambil dari dua hal yaitu qishas atau pemberian ampunan. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam hal pemindahan dari hukuman qishas kepada hukuman diyat atau selain diyat. Diyat merupakan salah satu hak wali korban tanpa ada pilihan dalam hal itu bagi orang yang dikenai qishas tidak bisa ditetapkan melainkan kesepakatan kedua belah pihak. Maka tidak lain bagi korban adalah qishas atau memberikan ampunan.
Menurut Iman Malik wali korban hanya diharuskan mengambil qishas atau mengambil diyat secara suka rela. Menurut imam Syafi’i imam Ahmad, Abu Tsaur bahwa wali korban boleh memilih mengambil qishas atau diyat, baik orang yang membunuh rela atau tidak.
Dari kedua pendapat ini menurut imam Malik harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak pelaku dan keluarga korban, sedangkan imam Syafi’i dan sebagian ulama lain, wali korban boleh memilih antara qihsas atau diyat dengan pihak pelaku setuju atau tidak. Bila dilihat dari kedua pendapat ini boleh diselesaikan dengan jalan bila wali korban memberikan pemaafan dan membayar diyat ringan tanpa persetujuan pelaku. Tapi bila diyat itu berat, harus ada persetujuan pelaku karena dalam ketentuan diyat harus bisa ditanggung oleh pelaku.
Hukum qishas tidak boleh dilaksanankan kecuali memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. Terbunuh adalah orang yang ma’sum yaitu orang-orang yang tidak boleh dibunuh yang terlindungi dalam hukum islam.
2. Pelaku pembunuhan adalah orang yang telah baligh dan berakal, sebagimana sabda Rasulullah:
”Pena pencatat diangkat bagi tiga golongan orang;dari seorang yang tidur hingga bangun, dari seorang anak kecil hingga dewasa, dan orang gila hingga senbuh dari gilanya.”.
3. Adanya unsur sepadan (kafaah) antara pembunuh dan korbanya ketika terjadi pembunuhan. (Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka)
4. Tidak memiliki hubungan darah. Misalnya, korban yang dibunuh adalah anak dari pelaku pembunuhan tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah."Seorang ayah yang membunuh anaknya tidaklah dibunuh.”
Syarat-syarat penyempurnaan pelaksanna qishas:
1. Seorang yang berhak mendapatkan qishas adalah seorang mukalaf
2. Para wali dan orang yang ada hubunganya dengan pembunuhan tersebut telah sepakat untuk dilaksanakan qishas
3. Pelaksanaan tersebut terjamin keamananya, artinya Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.
Adapun syarat-syarat qishas terhadap anggota tubuh harus memenuhi tiga syarat:
1. Aman dari bahaya yang berkelanjutan
2. Adanya persamaan anggota tubuh si korban dengan pelaku, sama nama dan keberadaan tempatnya
3. Anggota tubuh korban atau pelaku harus sama dari kesehatan dan kesempurnaanya

Qishas itu adalah hak hakim. Menurut al-Qurtubi, yang dimaksud adalah pelaksanaan hukuman qishas merupakan kewajiban hakim tetapi yang menentukan adalah hak keluarga. Jadi pada pelaksanaan hukuman qishas itu tetap dilakukan oleh hakim tetapi yang meminta melakukan atau tidak dilakukan adalah hak wali korban.
Mengenai pelaksanaan hukuman qishas timbul perbedaan pendapat di antara ulama apakah sitiap pelaksanaan qishas sama seperti yang dilakukan oleh pelaku jarimah qishas misalnya menebas leher dengan parang si pelaku juga ditebas lehernya dengan parang dan apakah cukup dengan menghilangka nyawa saja, pendapat ini dianut oleh Iman Syafi’i dan Imam Malik. Menurut mereka barangsiapa membunuh orang lain dengan batu maka ia dibunuh dengan batu, bila ia membunuh dengan parang maka pelaku juga dibunuh dengan parang.
Ketentuan hukuman qishas menjadi hukuman pokok atas jarimah qishas, namun pada keadaan tertentu hukuman qishas itu bisa gugur dengan alasan-alasan tertentu: Pertama, Amnesti oleh seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat bahwa pemberi amesti itu adalah sudah baligh dan tamyiz karena amesti merupakan tindakan yang otentik yang tidak bisa dilakukannya oleh anak kecil dan orang gila . Kedua,.Matinya pelaku kejahatan atau tidak adanya organ tubuh pelaku kejahatan yang akan diqishas, kalau orang yang akan menjamin qhisas telah mati lebih dahulu, maka gugurlah qishas atasnya karena tidak bisa terselenggarakan pada saat itu yang diwajibkan membayar diyat yang diambil dari harta peninggalannya lalu diberikan kepada wali si terbunuh. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Sedangkan menurut Imam Malik wali tidak berhak menuntut diyat karena hak mereka hanya jiwa.
Dari kedua pendapat ini karena perbedaan atas jiwa dan tanggung jawab sehingga mereka disuruh memilih di antara jiwa atau tanggung jawab. Jadi bila salah satunya tidak dapat dipenuhi maka wajib yang lainnya terpenuhi.
Qishas Jama’ah terhadap Pembunuhan Satu Orang
Menurut salah satu pendapat ulama jika sekelompok orang bersepakat untuk membunuh satu orang dengan sengaja, maka semua wajib diqishas. Pendapat ini dinukil dari ijma’ sahabat Rasulullah.
Dalam pelaksanaan qishas terhadap sekelompok orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap satu orang saja, disyaratkan agar semua yang dilakukan oleh pelaku bisa mengakibatkan seseorang terbunuh. Meskipun hanya dilakukan satu orang saja, dengan demikian semua orang beperan langsung dalam pembunuhan ini dan perbuatan semua pelaku bisa dianggap menghilangkan nyawa seseorang meskpun tidak dilakukan secara beramai-ramai.

C. Fleksibelitas Hukum Qishos
Qishos, sebagai salah satu hukum pidana islam atau jinayah dimana merupakan hukum balas yang sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan. Jenis hukuman ini berlaku terutama untuk tindak pidana pembunuhan disengaja yang bentuk hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati. Esensinya memberikan hak kepada fihak yang dirugikan untuk membalas kepada fihak yang merugikan dengan kadar yang seimbang, membunuh dibalas dengan membunuh, melukai dibalas dengan melukai. Dibandingkan dengan jenis hukum jinayah yang lain, yaitu hudud dan ta’zir, Qishos adalah yang terberat, maka dapat dikatakan bahwa Qishos adalah hukuman setimpal bagi seorang pembunuh.
Hal inilah yang kemudian memunculkan protes internasional terutama jika dianggap bahwa hukum qishas itu sama dengan hukum mati. Hal tersebut tidak hanya terjadi di kalangan muslim, tetapi juga dikalangan non muslim, terutama di daerah barat. Yang membatalkannya . Hal ini karena sesungguhnya hudup dan mati seseorang adalah mutlak di tangan Tuhan, sedangkan dengan hukuman mati seolah-olah manusia mengambil peran sebagai Tuhan dengan menjadi penentu hidup atau mati seseorang .
Hal ini kemudin menjadi diskursus terutama dikaitkan dengan isu HAM adalah hukuman mati bagi pelaku murtad karena bertentangan dengan kebebasan beragama. Bentuk hukuman pidana tersebut dinilai sebagai bentuk yang tidak berpijak pada pandangan bahwa sesungguhnya hukum adalah produk kontrak sosial seperti yang diajarkan Grotius (1583-1654),ataupu JJ Roessau tentang keadilan sosial .
Namun dalam syari’ah islam, mayoritas fuqaha memahami kaharusan berlakunya seluruh hukum pidana islam secara harfiah (literal). Umumnya ahli syari’ah misalnya mengacu pada QS al-Baqoroh ayat 178-179 tentang qisos ini. Sesungguhnya baik tidaknya hukuman Qishos tersebut harus dipandang dari beberapa sisi. Merujuk dari pendapar Imam Syafi’i bahwa hukum qishos tersebut bersifat sifatnya opsional, dimana keluarga korban dapat memeilih hukuman mati atau diyat dengan membayar diyat atau denda sebanyak 100 ekor unta bagi pelakunya . Jadi pelaksanaan hukuman ini tidak serta merta tapi adanya kesepakatan dari keluarga korban.
Sebenarnya hukuman Qishos seperti yang diyakini sebagai hukuman setimpal agar menimbulkan efek jera terkandung unsur perlindungan hukum terhadap korban, pelaku tindak pidana dan masyarakat . Seperti yang disebutkan diatas tidak melakukan eksekusi sebelum adanya kesepakatan dari keluarga korban.
Dalam hadis Nabi melalui Anas bin Malik, beliau bersabda :
ما رفع الى رسول ا لله صلى الله عليه وسلم اْمر فيه القصا ص الاّ امر فيه بالعفو (رواه احمد زو اصحاب السننالاالترمذئ)
“Setiap perkara yang dilaporkan kepada Rosululloh yang berkaitan denganhukuman Qishos, Rosululloh selau memerintahkan pemaafan.”(HR. Ahmad dan Ashab As-Sunnan kecuali Tirmidzi)


D. Relevansi Qisos dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Di negara-negara Arab hukuman mati juga diberlakukan, yang kita kenal dengan istilah Qisos, yakni hukuman mati bagi seorang pembunuh. Meski sama-sama hukuman mati tapi ada perbedaan dengan yang diterapkan di Indonesia. Di sana Qisos dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pendapat keluarga korban. Jika keluarga korban bersedia memaafkan pelaku, Qisos bisa digantikan dengan diyat. Tapi jika keluarga tidak memaafkan maka Qisos baru bisa dilaksanakan.Sekarang mana yang lebih memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan? Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tapi bisa saja kita sedikit mengadopsi sebuah hukum yang termaktub dalam alqur’an, ”Qisosh”. Dengan tetap menggunakan KUHP dan peraturan lain yang berlaku sebagai acuannya, dan sedikit melakukan modifikasi. Tentu saja ini hanya berlaku untuk hukuman mati karena kasus pembunuhan, tidak untuk kasus lain
Proses hukum tetap berpedoman pada KUHAP, yakni setelah vonis hukuman mati dijatuhkan, kemudian diberi kesempatan banding, kasasi, grasi juga PK (Peninjauan Kembali). Setelah semua proses upaya hukum dilalui tetapi tetap ditolak, maka yang terakhir bisa meminta pendapat keluarga korban. Jika keluarga korban mengampuni terpidana, maka hukuman mati bisa dirubah dengan seumur hidup. Bila ternyata keluarga korban tidak mengampuni, maka eksekusi bisa dilaksanaka
Memang tak mudah untuk mengubah tatanan yang sudah pakem yang sudah puluhan tahun berlaku di Indonesia. Sebab ini adalah perubahan yang sangat mendasar yang membutuhkan persetujuan dan kerjasama banyak pihak, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Tapi bukan berarti tidak mungkin, demi tegaknya hukum dan terjaminnya rasa keadilan serta kemanusiaan apapun bisa kita lakukan.

1. Tujuan Hukum Pidana Islam
Sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat. Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah SWT berfirman :“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)
Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin Shamit RA).

2. Tujuaan Hukum Pidana Positif
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
a. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
b. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya.
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu.
Sistem pidana Islam dalam media massa atau buku-buku karya para orientalis kafir dan pengikutnya yakni kaum libera selalu diopinikan kejam dan tidak manusiawi. Hukuman potong tangan untuk pencuri atau hukuman mati untuk orang murtad, misalnya, sering dituduh terlalu kejam dan sadis. Ujung-ujungnya, ide yang mereka tawarkan adalah mencari “substansi” sistem pidana Islam, yaitu memberikan hukuman bagi yang bersalah, apa pun bentuk hukumannya. Pencuri cukup dipenjara, misalnya, bukan dipotong tangannya.
Pandangan sinis terhadap sistem pidana Islam itu lahir bukan karena sistem pidana Islamnya yang batil, melainkan lahir karena 2 (dua) alasan utama. Pertama, secara konseptual, sistem pidana Islam dianggap bertentangan dengan pola pikir kaum sekuler atau liberal. Misalnya, hukuman mati untuk orang murtad, dianggap kejam dan salah bukan karena Islamnya yang salah, tapi karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dianut secara fanatik oleh kaum sekuler. Kedua, secara praktikal, sistem pidana yang sedang diterapkan memang bukan sistem pidana Islam. Hukum potong tangan untuk pencuri dipandang salah dan sadis bukan karena Islamnya yang salah, melainkan karena bertentangan dengan sistem pidana kafir warisan penjajah, yaitu pasal 362 KUHP. Dalam pasal ini, pencuri diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Patut diketahui KUHP ini adalah pidana warisan penjajah Belanda yang dikenal dengan nama Wetboek van Strafrecht yang berlaku di negeri muslim ini sejak 1946 (Muljatno, KUHP, 2001:128)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar