(Al-Syeikh Ahmad Khatib Ibn’ Abd Al-Ghaffar dari Sambas Kalimantan Barat)
Asal-usul Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya di Nusantara (bagian I)
Perwujudan Islam,
meskipun berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan
variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi
Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai
doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang
timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan
terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan
pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran
yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang
demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak
perwujudan Islam itu sendiri.(1)
Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka
interaksi Islam menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan
Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk
konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi
dalam Islam mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan
konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping
mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari
bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf
mewakili sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki
kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia
meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman
yang berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab
merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya
dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan
dan peningkatan kualitas spiritual.
Perkdmbangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari
respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi
kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk
menggeluti agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan
Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia
dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang
kesalehan diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan
total kepada Allah(2). Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang
menekankan aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola
keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul
dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang
menekankan aspek lahir dalam struktur hukum (fiqh).
Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai
tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di
wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya
tidak menekankan pada “philosophical
system”, melainkan “the way of purification” (jalan
penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada
kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan
jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber
reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi
pengikat.(3) Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi
di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar
pembentukan tarekat.(4) Khanaqah dan Ribath(5) berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-masing.
Pada sisi lain, dengan pertumbuhan komunitas sufi yang berkumpul
di sekitar masternya, sikap para ulama hukum (fiqh) mengalami perubahan mendasar.
Kalau semula model sufisme dianggap sebagai gerakan yang menyimpang dan
bertentangan dengan kebenaran Islam, berbagai kejadian konflik juga menghiasi
kontak antara sufisme dan legalisme, pandangan dan sikap ulama berangsur-angsur
berubah dan dapat menerima kehadiran komunitas tasawuf sebagai bagian dari
kekayaan khazanah Islam. Al-Ghazali sangat berjasa dalam meletakkan kompromi
dan jalan tengah pertemuan antara dua kutub yang saling
bertentangan.(6) Pada sisi lain, kehadiran komunitas sufi semakin
memberikan arti dan mendapatkan sambutan dari masyarakat karena mereka merasa
mendapatkan kedamaian jiwa ditengah persoalan politik yang mengganggu peri
kehidupan mereka.(7)
Perkembangan tarekat semakin pesat memasuki abad 12 dan 13 M,
tarekat menjadi institusi yang prestisius dan signifikan dalam peta
perkembangan dan sejarah Islam. perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan
suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan
amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya
telah ditentukan oleh pemimpin organisasi tersebut.(8) Ada beberapa tarekat
berdiri dan mengembangkan sayapnya ke-berbagai daerah, perkembangan tarekat itu
antara lain diwakili oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi, yang darinya nama tarekat
Suhrawardiyah diambil. Al-Qadir al-Jilani; yang ajarannya menjadi dasar tarekat
Qadiriyah; Najmuddin Al-Kubra, seorang tokoh sufi Asia Tengah yang produktif,
pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat
Naqsyabandiyah pada masa belakangan; Naqsyabandiyah sudah menjadi tarekat yang
khas pada masa sufi yang memberi namanya, Baha’uddin Naqsyaban; anumerta
pendiri tarekat Syattariyah, Abdullah Al-Syattar; dan tarekat Rifaiyah yang
didirikan oleh Ahmad Rifa’i.(9)
Perkembangan tarekat di Indonesia terus berlangsung sampai abad
ke-19 sekalipun pemerintah Kolonial melakukan pengawasan yang ketat terhadap
aktivitas para pengamal tarekat. Salah satu yang muncul di Indonesia pada abad
ke-19 ialah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menekankan
segi-segi batiniyah dari agama ini telah memainkan peranan yang amat penting
dalam sejarah islamisasi. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam
membentuk karakter masyarakat Indonesia.(10) Tarekat ini merupakan
perpaduan dari dua buah tarekat besar yang berkembang di Nusantara, yaitu
tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Suatu hal yang biasa dalam
sejarah sufisme bahwa beberapa ulama mempraktekkan ajaran-ajarannya dari dua
atau lebih tarekat yang berbeda. Demikian pula di Indonesia, tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah tidak hanya sebuah kombinasi antara dua tarekat yang
berbeda yang dipraktekkan secara bersama-sama, tetapi agaknya ia sendiri
merupakan sebuah tarekat sufi baru.(11)
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam
hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut
tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efesien. Karena
ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan
perkataan para ulama arifin dari kalangan Salafus Shalihin.
(Syeikh Ahmad Khatib Syambas qs.)
|
Di Indonesia, diyakini bahwa Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah
pertama kali diajarkan oleh Syeikh Ahmad Khatib Ibn’ Abd Al-Ghaffar dari Sambas
Kalimantan Barat yang bermukim dan mengajar di Mekkah pertengahan abad 19 dan
wafat di sana pada tahun 1878.(12) Berbeda dengan guru-guru tarekat yang
lain, yang mngajarkan berbagai tarekat di samping Qadiriyah, Syeikh Ahmad
Khatib tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara terpisah, tetapi sebagai
suatu kesatuan yang harus diamalkan secara utuh. Syeikh Ahmad Khatib Sambas
terkenal sebagai pemimpin sebuah tarekat sufi dan merupakan pakar dalam
sufisme, tetapi di samping itu ia adalah seorang cendikiawan Islam yang
menguasai berbagai lapangan pengetahuan Islam seperti Al-Qur’an, Hadist
(tradisi Nabi), dan Fiqh (hukum Islam), dan menyalurkan pengetahuannya kepada
banyak pelajar di Mekkah.(13) Dia memperoleh pengetahuan yang luas setelah
belajar secara tekun sebagaimana diketahui bahwa setidaknya dia memiliki
sembilan guru kenamaan di Mekkah yang menguasai bermacam-macam cabang
pengetahuan Islam.(14)
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil (guru sufi
paling sempurna) Syeikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat
modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi
Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mempunyai
derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Tarekat
Naqsyabandiyah di kota suci Mekkah dan Madinah, maka sangat dimungkinkan ia
mendapat bai’at88 dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti
ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah dan mengajarkan kepada murid-muridnya khususnya yang berasal
dari Indonesia.
Penggabungan kedua tarekat (Qadiriyah-Naqsyabandiyah) memiliki
inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di
samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan
pentingnya syari’at dan menentang faham wihdatul wujud.(15) Dengan
penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai
derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih
efektif dan efesien. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain
(selain kawasan Asia Tenggara).
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping
juga mursyid dalam Tarekat Naqsybandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah
tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja, sampai sekarang belum ditemukan
secara pasti dari sanad mana ia menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas atas masalah ini,
maka penting untuk didaftarkan silsilah dari tarekat sufi ini sampai pada
Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Allah dan Jibril disebutkan dalam silsilah ini;
kemudian diikuti oleh:
Nabi Muhammad Saw
‘Ali Ibn Abi Talib
Husayn Ibn Ali Talib
Zayn al-‘Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far as-Sadiq
Musa al-Kazim
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Musa ar-Rida
Ma’ruf al-Karkhi
Sari as-Saqati
Abu al-Qasim Junayd al-Bagdadi
Abu Bakar asy-Syibli
‘Abd al-Wahid at-Tamimi
Abu al-Faraj at-Tartusi
Abu al-Hasan ‘Ali al-Hakkari
Abu Sa’id Makhzumi
Abd al-Qadir al-Jilani
Abu al-‘Aziz
Muhammad al-Hattak
Syams ad-Din
Nur ad-Din
Waly ad-Din
Husam ad-Din
Yahya
Abu Bakr
Abu ar-Rahim
Usman
Abd al-Fattah
Muhammad Murad
Syams ad-Din
Ahmad Khatib Sambas.(16)
Sebagai seorang guru, Ahmad Khatib Sambas mengangkat khalifah. Seorang murid
yang telah mencapai taraf tertentu, menurut ukuran normatif seorang Syeikh,
mendapat kewenangan untuk bertindak menjadi Syeikh. Di antara khalifah Syeikh Sambas di Indonesia, ada tiga
orang yang dipandang menonjol: Syeikh Abdul Karim dari Banten, Syeikh Ahmad
Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dan Syeikh Tolha dari Cirebon. Ketiganya
dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Madura.
Di antara jasa para khalifah dalam penyebaran tarekat adalah
perkembangannya yang mencapai beberapa negara tetangga, terutama Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam. Berjuta-juta pengikutnya tersebar di seluruh
pelosok Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya.(17) Proses
penyebarannya khas, sebagai gerakan spiritual, telah membentuk pola ideologi
para ikhwan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam warna tersendiri.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menjadi salah satu aliran yang sangat
terkenal di Indonesia. Ia dianggap tarekat terbesar dan terpopuler, terutama di
pulau Jawa. Tarekat ini memang tidak dikenal di dunia Islam, selain di
Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya, hanya dikenal adanya Tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di samping ratusan tarekat lainnya.(18)
Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting
dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting, adalah membantu
dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syeikh Ahmad Khatib
Sambas sebagai pendiri, tetapi para pengikut kedua tarekat ini ikut berjuang
dengan gigih terhadap imperialisme Belanda, dan terus berjuang melalui gerakan
sosial keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Secara historis, usaha penyebaran Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Indonesia diperkirakan sejak paruh abad ke-19, yaitu sejak
kembalinya murid-murid Syeikh Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah bermukim
selama bertahun-tahun di Mekkah. Di Kalimantan, misalnya, Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah disebarkan oleh dua orang ulama, Syeikh Nuruddin dan Syeikh
Muhammad Sa’ad. Karena penyebarannya tidak melalui lembaga pendidikan formal
(seperti pesantren atau lembaga-lembaga formal lainnya), sebagian besar
pengikutnya datang dari kalangan tertentu. Berbeda dengan Kalimantan, Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok pesantren
yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat. Oleh karena itu,
kemajuan yang sangat pesat hingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan
paling berpengaruh di Indonesia.(19)
Pada tahun 1970, ada empat pondok pesantren yang penting sebagai
pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa yaitu:
Pondok pesantren Mranggen di Semarang, di bawah bimbingan Syeikh Muslih. Pondok
pesantren Rejoso di Jombang, di bawah bimbingan Syeikh Romli Tamim, di Rejoso
mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah. Pesantren Pagentongan di Bogor, di bawah
bimbingan Syeikh Thohir Falak, dan Pondok pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, di bawah bimbingan
Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), di Suryalaya dan yang lainnya mewakili garis aliran Syeikh Abdul-Karim
Banten dan penggantinya.(20)
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut juga berkembang di
daerah Banten. Keberadaan tarekat tersebut di daerah Banten dibawa oleh K.H.
Abdul Karim pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh dan kharisma yang
dimilikinya, memungkinkan tarekat ini memiliki pengikut yang sangat besar,
terutama sekali di Banten.
Aliran Qadiriyah diperkirakan memasuki Banten pada abad ke-16
Masehi yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri. Akan tetapi ketika itu belum
mencapai momentum yang vital. Pada perkembangan selanjutnya, aliran Qadiriyah dengan
jelas menandakan suatu kebangkitan Islam dalam arti yang
sesungguhnya.(21) Banten telah mengadakan kontak dengan Mekkah sejak
pertengahan abad ke-19, dengan jalan mengirimkan berulangkali misi-misi untuk
mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan. Banten terkenal sebagai sebuah
pusat Islam ortodoks, pengetahuan tentang agama dan cara hidup yang sesuai
dengan ketentuan agama sangat dihargai.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten
pada abad ke-19, dapat dipandang sebagai kelompok yang melibatkan komitmen
total baik pemimpin dan anggota-anggotanya. Karena kedudukan dan kewibawaannya,
maka para kyai tampil sebagai pimpinan yang kharismatik sehingga
anggota-anggota tarekat yang tergabung di dalamnya sangat menghormati dan patuh
terhadap gurunya.
Perkembangan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
Banten, yang sebagian besar para pengikutnya adalah petani, dapat dikategorikan
menempuh tahap thaqah (pusat pertemuan sufi). Dalam tahap tersebut, Syeikh
mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak
ketat.(22) Para petani yang mengikuti ajaran tarekat, pada umumnya tetap
bekerja sebagaimana biasa, namun ada waktu tertentu bagi mereka untuk berkumpul
bersama dalam mengikuti ajaran tarekat yang diajarkan oleh kyai.
Sebagaimana di ketahui dalam sistem kehidupan masyarakat
tradisional, unsur mitos dan kepercayaan kepada kekuatan supernatural,
kekeramatan masih kuat di anut. Karena itu kewibawaan seorang kyai, tokoh
kharismatik bagi masyarakat Islam tradisional, tidak bisa dipisahkan dari unsur
kekeramatan. Di samping itu, sebagai pemimpin keagamaan masyarakat tradisional,
kyai menjadi tokoh sentral kepatuhan, panutan masyarakat dalam mekanisme
kehidupan sosial, budaya bahkan tidak jarang ia memainkan peranannya sebagai
tokoh politik
Di Banten Syeikh Abdul Karim memiliki seorang khalifah yang
bernama kyai Asnawi dari Caringin, yang kharismanya telah dimanfaatkan oleh
para pemberontak komunis di Banten pada tahun 1926.(23) Dan dilanjutkan
oleh putranya, kyai Kazhim, yang mengajarkan tarekat ini di Menes (Labuan).(24)
Pengajaran tarekat ini sekarang dilaksanakan oleh putra kyai Kazhim yang
bernama Ahmad. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga masih berkembang di
Cibeber (Cilegon) yang pada waktu lalu diajarkan oleh Abd Al-Lathif bin Ali,
sedang mursyidnya sekarang ialah kyai Muhaimi yang menerima ijazah melalui kyai
Asnawi. Hingga akhir tahun 1988 kemenakan kyai Asnawi yang bernama kyai Armin
masih menjadi khalifah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terkenal di Cibuntu
(Pandeglang). Meskipun pertama kali mempelajari tarekat dari pamannya, kyai
Armin mengaku telah belajar dari beberapa ulama di Mekkah dan Baghdad.
Sumber dan Keterangan :
(1) Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm. 13-14.
(2) Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 29.
(3) M. Fudoli Zaini, “Asal-usul Tarekat dan Penyebarannya
di Dunia Islam, dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
(4) Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut
Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang
ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang
anarkhis, misalnya akibat revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya,
yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau
sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi
situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat
Barmawie Umarie, “Sistematika
Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil
penelitian Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis
dan Sosiologis, hlm. 2-4.
(5) Hanaqah merupakan tempat pertemuan para anggota sufi dengan
dipimpin oleh seorang administrator. Sedangkan ribaht itu
merupakan pembinaan spiritual di bawah bimbingan seorang guru sebagai model
bangunannya yang relatif besar. Istilah-istilah itu merupakan padepokan sufi
atau tempat pembinaan kerohanian masyarakat dalam kontek dunia Islam. Abubakar
Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat, hlm. 65.
(6) Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3
(Jakarta: Jambatani, 1993), hlm. 1209.
(7) M. Hasbi Amiruddin, “Tarekat: Sejarah Masuk dan
Pengaruhnya Di Indonesia”, dalam Madaniya, No. 2. 2002, hlm. 15.
(8) Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 135.
(9) Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188.
(10) Mahmud Suyuti, Politik Tarekat, hlm. 54.
(11) Zulkifli, Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 37-36.
(12) Mahmud Sujuti, Politik Tarekat, hlm. 52.
(13) Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 17-18.
(14) Kesembilan guru tersebut adalah: Syekh Dawud Ibn Muhammad
al-Fatani; Syekh Syam ad-Din; Syekh Muhammad Salih Ra’is; Syekh Umar Abd
ar-Rasul; Syekh Abd al-Hafiz ‘Ajami; Syekh Basir al-Jabiri; Sayyaid Ahmad
al-Marzuki; Sayyid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Abd Allah al-Mirgani; dan Syekh
‘Usman ad-Dimyati. Lihat Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 38-39.
(15) Bai’at dalam terminologi sufi ialah janji setia yang
biasanya diucapkan oleh seorang murid di hadapan mursyid untuk menjalankan
segala persyaratan yang telah ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan
melanggarnya sesuai dengan syarat Islam. Yang menjadi landasan normative ialah
surat Al-Fath ayat 10. Bai’at dijadikan acara ritual resmi setelah seseorang
menjadi anggota tarekat, yang selanjutnya dijadikan bentuk ikatan setia kepada
mursyid dan ajaran-ajarannya. Lihat Bai’at dan Tawassul, tanggal akses 20
Maret 2004.
(16) Ajaran Wihdatul Wujud ini
dicetuskan oleh Ibnul Araby (1165-1240), yang berpendapat bahwa alam ini hanya
merupakan bayang-bayang dari realitas yang berada di baliknya. Ajaran ini
merupakan pengembangan dari ajaran Al-Hallaj (wafat 921) yang memandang manusia
sebagai manifestasi dari cinta tuhan yang azali kepada zatnya, Al-Hallaj ini
dalam keadaan tak sadar atau fana, sering menyatakan dirinya Tuhan.
Ana-Allah, Anal-Haq. Tim penulis, Ensiklopedi Islam, jilid II
(Jakarta: Penerbit Jambatani, 1993), hlm. 339-340.
(17) Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 42-43. Lihat
juga dengan Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90-91.
(18) Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 100.
(19) Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 14. Lihat
juga Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia, hlm. 98.
(20) Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, hlm. 103.
(21) Lihat Ibid.
(22) Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam, hlm. 265.
(23) Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan,
1996), hlm. 366.
(24) Mengenai pemberontakan ini, lihat William, Arit dan Bulan Sabit dalam Pemberontakan Komunis 1926 di
Banten, (Yogyakarta: Syarikat, 2003). Salah seorang pemimpin
ulama dari pemberontakan ini, Ahmad Khatib, adalah menantu kyai Asnawi, ia
tidak hanya membawa serta putra kyai Asnawi, Emed, memberontak, banyak
pengikut-pengikut sang kyai
sumber:http://www.dokumenpemudatqn.com/2012/06/asal-usul-tarekat-qadiriyah-wa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar