======================
Asal-usul
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya di Nusantara (Bagian
II)
========================
B. AJARAN DAN RITUAL (AMALIYAH) TAREKAT
Tarekat adalah salah satu unsur dari ajaran-ajaran Islam, yang
menekankan pada segi batiniah. Ajaran Islam biasa dikategorikan secara umum
menjadi aspek keimanan, keislaman, dan aspek ihsan atau akhlak. Adapun ajaran
Islam yang menekankan pada aspek ibadah atau hubungan manusia dengan tuhannya,
biasa juga diklasifikasikan dalam tingkatan: syari’at, tarekat, dan
hakekat.(24) Dalam hal ini, tarekat sama maksudnya dengan syari’at, yakni
suatu jalan atau cara untuk mencapai hakekat tuhan. Namun antara keduanya berbeda
di dalam orientasi untuk menuju Tuhan, dalam hal ini tarekat mengarahkan pada
dimensi lahir.
>>>Sebagaimana fungsi ajaran tarekat
pada umumnya, zikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan teknik
dasar dalam ritual para penganutnya atau latihan-latihan spiritual untuk
mencapai tujuan “mengingat Allah” (zikrullah).
Menurut Martin, praktek zikir semacam itu pada
dasarnya bertujuan untuk mencapai kesadaran kepada tuhan secara langsung dan
permanen, tetapi sama-sekali bukan untuk mencapai penyadaran diri atau
peniadaan diri.(25)
Sehubungan dengan ajaran tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Ahmad Khatib
Sambas di dalam kitab Fath al-Arifin,(26) bahwa ada tiga ritual dasar
dalam tarekat sufi ini. Yang pertama adalah
membaca istigfar, yakni astagfir Allah al-Gafur
ar-Rahim, dua puluh sampai dua puluh lima kali, kemudian diikuti pembacaan
salawat, yaitu Allahumma salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala alih wa
sahbih wa sallim, dengan jumlah yang sama dengan istigfar. Yang
ketiga adalah melakukan zikir dengan membaca la ilah ilaha
Allah (tiada tuhan selain Allah), sebanyak 165 kali, setelah menunaikan
shalat wajib lima waktu setiap hari.(27)
Fat al-Arifin juga memberikan pengajaran
untuk metode pembacaan “la Ilaha illa Allah”. Penyelenggaraan zikir harus
diawali dengan melafalkan kata “la” sembari secara serempak membayangkan
bahwa kata itu diambil dari bawah pusar ke-ubun-ubun kepala, dengan isyarat
tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat
“ilaha” ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke kiri
sambil menarik kalimat illallah disertai dengan hentakan yang
seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah. Zikir ini harus
dilakranakan dengan konsentrasi pikiran penuh. Sementara rumusan la maqsud
illa Allah (tiada hasrat kecuali Allah) dibaca sembari menjaga pikiran
maknanya. Kemudian terdapat tahap dimana seorang ahli membayangkan rupa syekh
yang membantunya dalam tawajjuh (meditasi atau penyatuan ekstatik),
yang berarti pengarahan hati terhadap tuhan, pada saat yang sama memohon rahmat
dan petunjuk-Nya. Jika syekh benar-benar hadir di hadapannya selama beberapa
detik, jika syekh tidak hadir, dia harus membayangkan rupa syekh dalam mata
batinnya dan mencari bimbingan spiritualnya. Kemudian disebutkan bahwa zikir
ini dikenal dengan zikr nafi isbat (zikir penyangkalan penegasan),
dan dipraktekkan secara jahr (suara keras) dan sirr(dalam
hati).(28) dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati, seraya
membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi dan Syeikh
kepadanya.
Setelah menyelesaikan zikir menurut jumlah yang
ditentukan, kemudian membaca “sayyidina Muhammad Rasul Allah salla Allah
alayh wa Sallam” (penghulu kita Muhammad adalah Rasulullah, yang Allah
berkati dan beri keselamatan). Kemudian membaca salawat, yaitu, “Allahumma
salli ala sayyidina Muhammad salatan tunjina biha min jami’ al-ahwal wa
al-afat” (Ya Allah berkatilah penghulu kami Muhammad yang dengan beliau
engkau menyelamatkan kami dari segala bencana dan kehancuran), ritual ini
diakhiri dengan membaca Surat al-Fatihah.(29)
Martin menunjukkan bahwa ritual dasar ini
betul-betul dipengaruhi oleh tarekat Qadiriyah, terutama berkenaan dengan
gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan zikir. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah
atas ritual ini juga substansial. Pengaruh pertamanya adalah atas konsentrasi
tentang lata’if, yakni organ-organ fisik dengan mana manusia
dilengakapi demi pelaksanaan zikir. Martin berpendapat bahwa lata’if yang
digunakan Syeikh Ahmad Khatib Sambas dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
tidak dikenal dalam tarekat Qadiriyah, bahwa istilah tersebut dipinjam dari
tarekat Naqsyabandiyah.
Fat al-‘Arifin (Kitab
Fathul Arifin) menggambarkan sepuluh lata’if (latifah). Lima di
antaranya
adalah qalb(hati), ruh(ruh), sirr (batin), khafi (rahasia)
dan akhfa’ (paling rahasia) dan yang dikenal sebagai alam
al-amr (Alam perintah). Lima lata’if yang lain
adalah nafs (kelembutan jiwa) dan empat unsur: air. Udara, tanah, dan
api. Ini disebut alam al-khalq (Alam ciptaan).(30)
Di bawah ini adalah terjemahan dari Fat
al-Arifin tentang lata’if yang dikutip oleh Al-Attas:
. . .kelembutan hati (latifah al-qalb) ada di
bawah dada kiri, dua jari ke kiri, dan warnanya adalah kuning, dan ia adalah
tempat kewenangan penghulu Adam, asalnya adalah air, udara, dan tanah.
Kelembutan ruh(latifah al-ruh) terdapat di bawah dada kanan, dua jari ke kanan,
warnanya adalah merah, dan ia merupakan tempat kewenangan penghulu kita Ibrahim
dan Nuh, dan asalnya adalah api. Kelembutan batin (latifah as-sirr) terletak
berlawanan dengan dada kiri, dua jari kearah dada, warnanya adalah putih, ia
adalah tempat Musa dan asalnya adalah air. Kelembutan rahasia (latifah
al-khafi) berlawanan dengan dada kanan, dua jari kearah dada, warnanya adalah
hijau, tempat nabi Isa, dan asalnya udara. Kelembutan paling rahasia (latifah
alakhfa)terletak ditengah dada, warnanya hitam, ia adalah tempat nabi Muhammad,
dan asalnya adalah tanah. Kelembutan jiwa (otak) latifah an-nafs
an-natiqah terletak di dahi dan seluruh kepala.(31)
Syeikh Ahmad Khatib Sambas qs.
mengajarkan zikir jahr (zikir yang diucapkan) dan zikir sirr atau
khafi (zikir diam). Praktek zikir diam ini jelas adalah pengaruh lain dari
tarekat Naqsyabandiyah, oleh karena tarekat Qadiriyah hanya mengajarkan zikir
keras. Pengaruh kuat lainnya dari tarekat Naqsyabandiyah
adalah tawajjuh atau rabitah Syeikh sebelum atau selama
zikir. Muraqabah atau kedekatan spiritual, yang dijelaskan dalamFat
al-Arifin, adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pengaruh
yang sangat nyata dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlihat pada daftar
silsilah dalam Fath al-Arifin, karena hanya silsilah tarekat
Qadiriyah yang didaftar.Silsilah tarekat Naqsyabandiyah tidak disebutkan.
Pengaruh lainnya dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, terutama
dalam manaqiban.(32) biografi Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani selalu
dibacakan, sedangkan biografi Syeikh Baha ad-Din an-Naqsyabandi tidak pernah
dibacakan. Tampaknya, ini menjadi indikasi kuat bahwa tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah secara mendasar merupakan tarekat Qadiriyah digabungkan dengan
praktek-praktek tertentu dari tarekat Naqsyabandiyah.
Keterangan dan Sumber :
25 Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, hlm. 85.
26 Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabanduyah di Indonesia, hlm. 79.
- Al-Attas berpendapat bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas
adalah pengarang Fath al-‘Arifin setebal dua belas halaman, yang merupakan risalah terpenting
dan terpopuler mengenai praktik-praktik sufi dikalangan orang-orang Melayu.
Lihat Zulkifli. Sufi Jawa, hlm. 43. Namun demikian, Van Bruinessen menyangkal bahwa buku
ini ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib dan berpendapat bahwa penulisan buku ini
dilakukan oleh muridnya. Bruinessen mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib
sendiri tidak menulis satu pun buku, namun dua muridnya dengan setia mencatat
ajaran-ajaran dalam sebuah risalah pendek berbahasa Melayu, yang secara
eksplisit menjelaskan teknik-teknik dari tarekat sufi ini. Van
Bruinessen, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90.
28 Nawash Abdullah, Perkembangan Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 187.
29 Ibid. Pada Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam, hlm. 102. Martin Van Bruinessen,
“Tarekar Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jailani di India. Kurdistan dan
Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an No. 2. 1989. Vol. II: hlm. 73.
30 Martin, Ibid, hlm. 73.
31 Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 48.
105 Ibid, hlm. 49.
32 Manaqiban adalah acara ritual khas tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu
peringatan mengenang wafatnya Syeikh Abd al-Qadir Jailani. Upacara tersebut
diselenggarakan bulanan bertempat di rumah salah seorang ikhwan yang waktunya
telah ditetapkan. Dalam upacara ini, ada zikir berjama’ah diikuti dengan bacaan
Manaqib Abd al-Qadir, yaitu cerita klasik mengenai kehidupan dan keajaiban
perilaku sang waliyullah. Bandingkan dengan pengertian istilah itu dalam Ensiklopedia Islam Jilid III, 1994, hlm. 152./
sumber:http://www.dokumenpemudatqn.com/2012/06/asal-usul-tarekat-qodiriyah-wa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar