Berguru Pada Rasulullah Saw
==========
Semua
ayat al-Qur’an, mulai dari ayat آلمّ (al-Baqoroh : 1) sampai ayat
terakhir, ... اليوم أكملت لكم دينكم (al-Mâ’idah : 3) telah tertulis
dalam Lauhul Mahfûdh, namun yang pertama kali diturunkan adalah surat
al-‘Alaq ayat 1-6, dikarenakan hal ini termasuk manajemen penurunan
kitab suci yang sangat rapi dari Allah Swt.
Karena isi al-Qur’an yang begitu sistematis dan detail, serta
memiliki manajemen penurunan wahyu yang sangat rapi, maka dalam
mempelajarinya tidak dapat dilakukan dengan instan, bahkan membutuhkan
ketekunan dan waktu yang lama.
Pesan-pesan Allah Swt yang menjadi
pedoman bagi umat manusia terangkum dalam al-Quran yang diturunkan
secara bertahap selama 22 tahun. Rasulullah Saw, adalah satu-satunya
sosok yang memahami betul maksud dari tiap huruf, kalimat, ayat dan
surat yang terdapat didalamnya. Penafsir ulung berikutnya adalah para
sahabat sebagai saksi sejarah, bahkan objek pertama dari al-Quran.
Kemudian para ulama yang berguru pada para sahabat Nabi, dan berikutnya secara tranmisi (sanad) mereka saling menyambung. Jadi tidak dapat dibenarkan jika ada orang yang mengatakan kembali al-Quran, dengan maksud tidak usah memakai perangkat yang dibakukan oleh para ulama. Yang sejatinya telah dipahami bersama secera kultural oleh masyarakat Arab pada jaman Nabi, Nahwu (gramatika), Shorof (morpologi), Balaghoh (sastra) dll. Jurumiyah kitab kecil yang diajarkan oleh pondok-pondok pesantren yang disusun oleh Wali besar Syekh Sonhaji adalah bagian dari upaya awal untuk memahami al-Quran.
Jangan merasa gengsi atau menganggap remeh terhadap kitab kecil. Terkadang suatu kitab dianggap mempunyai nilai besar walaupun bentuknya kecil karena melihat pengarangnya, seperti kitab Al-Arba’în an-Nawawiyyah karangan Imam Nawawi, seorang wali qutub (tingkatan wali tertinggi).
Imam as-Suyûthi pernah bertemu Nabi Saw. dalam keadaan terjaga (yaqdhoh) selama 75 kali. Karena alasan inilah, para ulama’ lebih mendahulukan pengkajian kitab tafsir beliau, yakni tafsir Jallalain dengan mengharap limpahan barokahnya.
Kemudian para ulama yang berguru pada para sahabat Nabi, dan berikutnya secara tranmisi (sanad) mereka saling menyambung. Jadi tidak dapat dibenarkan jika ada orang yang mengatakan kembali al-Quran, dengan maksud tidak usah memakai perangkat yang dibakukan oleh para ulama. Yang sejatinya telah dipahami bersama secera kultural oleh masyarakat Arab pada jaman Nabi, Nahwu (gramatika), Shorof (morpologi), Balaghoh (sastra) dll. Jurumiyah kitab kecil yang diajarkan oleh pondok-pondok pesantren yang disusun oleh Wali besar Syekh Sonhaji adalah bagian dari upaya awal untuk memahami al-Quran.
Jangan merasa gengsi atau menganggap remeh terhadap kitab kecil. Terkadang suatu kitab dianggap mempunyai nilai besar walaupun bentuknya kecil karena melihat pengarangnya, seperti kitab Al-Arba’în an-Nawawiyyah karangan Imam Nawawi, seorang wali qutub (tingkatan wali tertinggi).
Imam as-Suyûthi pernah bertemu Nabi Saw. dalam keadaan terjaga (yaqdhoh) selama 75 kali. Karena alasan inilah, para ulama’ lebih mendahulukan pengkajian kitab tafsir beliau, yakni tafsir Jallalain dengan mengharap limpahan barokahnya.
Orang-orang yang mengaku faham al-Qur’an
dan Hadits namun mereka tidak mengakui para sahabat dan ulama’ salaf,
maka sesungguhnya mereka dusta, karena mata rantai pemahaman al-Qur’an
dan Hadits harus melalui para sahabat dan ulama’ salaf.
Seperti halnya memahami Al Quran harus
melalui apa yang disampaikan para ulama secara transmisi, mengenal
kepribadian Nabi Saw.-pun hanya dapat dicapai dengan mengenal
kepribadian para sahabat, karena para beliaulah yang telah berjumpa dan
melihat kepribadian Nabi saw. secara langsung, sedangkan kita bertemu
saja tidak pernah.
Para sahabat tidak bersedia maju tanding satu-lawan satu dalam perang Khandaq (parit) ketika Nabi Saw. memerintahkan mereka, bukan karena mereka takut menghadapi musuh, bahkan mereka khawatir akan timbul sifat anâniyyah (ego/sifat keakuan) dalam hati mereka. Sayyidina Ali Krw. Bersedia menjalankan perintah Nabi Saw. tersebut (tanding) karena beliau khawatir jika Nabi Saw.
Para sahabat tidak bersedia maju tanding satu-lawan satu dalam perang Khandaq (parit) ketika Nabi Saw. memerintahkan mereka, bukan karena mereka takut menghadapi musuh, bahkan mereka khawatir akan timbul sifat anâniyyah (ego/sifat keakuan) dalam hati mereka. Sayyidina Ali Krw. Bersedia menjalankan perintah Nabi Saw. tersebut (tanding) karena beliau khawatir jika Nabi Saw.
sendiri atau sahabat Abu Bakar dan
sahabat Umar Ra. yang maju bertempur dan gugur dalam pertempuran
tersebut, sehingga umat Islam akan kehilangan pemimpin mereka. Maka dari
itu, seandainya harus ada yang gugur, maka cukup sayyidina Ali yang
gugur. Ketika sayyidina Ali Krw. maju tanding satu lawan satu dalam
perang Khandaq tersebut beliau sudah berumur 28 tahun, bukan 8 tahun,
karena sangat tidak masuk akal jika Islam sudah mendidik anak kecil yang
belum baligh untuk menumpahkan darah meskipun untuk memerangi non
muslim.
Pada perang Khoibar kondisi sangat
mencekam, karena diluar area perkemahan kaum muslimin orang-orang kafir
sudah menyiapkan beberapa pasukan panah yang sangat jitu, dan jika satu
saja dari kaum muslimin keluar dari perkemahan, panah akan siap
membidik. Di saat kondisi demikian Rasulullah Saw. menantang para
sahabat dengan mengucapkan “Siapa diantara kalian yang berani
menyelidiki keadaan orang-orang kafir, maka akan aku tanggung hidupnya”.
Para sahabat hanya diam tanpa ada yang
berani mengangkat tangan. Diamnya para sahabat tersebut bukan karena
mereka takut dengan orang kafir, melainkan menjaga hati dari munculnya
sifat anâniyyah. Terbukti ketika Rasulullah Saw. menunjuk sahabat
Hudzaifah Ra. untuk menyelidiki, beliau langsung berdiri tegak
menunjukan keberaniannya dan langsung terjun menyelidiki kaum kafir.
Dengan ketangguhan serta kecepatan
larinya, sahabat Hudzaifah Ra. tidak tersentuh anak panah sama sekali.
Saat sahabat Hudzaifah Ra. menceritakan peristiwa di atas pada kedua
cucunya, mereka terlihat kagum dan bersemangat. Mereka berkata “Jika
Rasulullah saw. memerintahkan kami, niscaya kami yang akan maju pertama
kali dan siap gugur di medan perang”.
Mengetahui cucu-cucunya mempunyai
semangat luar biasa, sahabat Hudzaifah Ra. Bahagia. Kemudian beliau
berkata “Nak, nak… kamu sekalian beruntung dilahirkan di zaman sekarang.
Jika kamu sekalian hidup di zaman Nabi Saw., kamu sekalian tidak
termasuk golongan orang-orang munafik saja sudah untung”.
Rasulullah Saw. adalah ahli strategi,
bukan ahli politik, karena dalam politik seringkali tidak bisa lepas
dengan kebohongan, (Abah mencontohkan bahwa jika ahli politik pagi hari
bilang tempe, maka sore hari bilang tahu) padahal diantara sifat Nabi
Saw. adalah shidiq (jujur). Jangan sampai menggunakan istilah yang
keliru untuk menyebut Nabi Saw ! (Muhasholah min maqolat Maulana Al
Habib Luthfi) (Tsi)
sumber:http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=157%3Aberguru-pada-rasulullah-saw&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar