ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 10 Januari 2013

Berguru Pada Rasulullah Saw

========

Berguru Pada Rasulullah Saw

==========
Semua ayat al-Qur’an, mulai dari ayat آلمّ (al-Baqoroh : 1) sampai ayat terakhir,  ... اليوم أكملت لكم دينكم (al-Mâ’idah : 3) telah tertulis dalam Lauhul Mahfûdh, namun yang pertama kali diturunkan adalah surat al-‘Alaq ayat 1-6, dikarenakan hal ini termasuk manajemen penurunan kitab suci yang sangat rapi dari Allah Swt.
Karena isi al-Qur’an yang begitu sistematis dan detail, serta memiliki manajemen penurunan wahyu yang sangat rapi, maka dalam mempelajarinya tidak dapat dilakukan dengan instan, bahkan membutuhkan ketekunan dan waktu yang lama.
Pesan-pesan Allah Swt yang menjadi pedoman bagi umat manusia terangkum dalam al-Quran yang diturunkan secara bertahap selama 22 tahun. Rasulullah Saw, adalah satu-satunya sosok yang memahami betul maksud dari tiap huruf, kalimat, ayat dan surat yang terdapat didalamnya. Penafsir ulung berikutnya adalah para sahabat sebagai saksi sejarah, bahkan objek pertama dari al-Quran. 

Kemudian para ulama yang berguru pada para sahabat Nabi, dan berikutnya secara tranmisi (sanad) mereka saling menyambung. Jadi tidak dapat dibenarkan jika ada orang yang mengatakan kembali al-Quran, dengan maksud tidak usah memakai perangkat yang dibakukan oleh para ulama. Yang sejatinya telah dipahami bersama secera kultural oleh masyarakat Arab pada jaman Nabi, Nahwu (gramatika), Shorof (morpologi), Balaghoh (sastra) dll. Jurumiyah kitab kecil yang diajarkan oleh pondok-pondok pesantren yang disusun oleh Wali besar Syekh Sonhaji adalah  bagian dari upaya awal untuk memahami al-Quran.

Jangan merasa gengsi atau menganggap remeh terhadap kitab kecil. Terkadang suatu kitab dianggap mempunyai nilai besar walaupun bentuknya kecil karena melihat pengarangnya, seperti kitab Al-Arba’în an-Nawawiyyah karangan Imam Nawawi, seorang wali qutub (tingkatan wali tertinggi).
Imam as-Suyûthi pernah bertemu Nabi Saw. dalam keadaan terjaga (yaqdhoh) selama 75 kali. Karena alasan inilah, para ulama’ lebih mendahulukan pengkajian kitab tafsir beliau, yakni tafsir Jallalain dengan mengharap limpahan barokahnya.
Orang-orang yang mengaku faham al-Qur’an dan Hadits namun mereka tidak mengakui para sahabat dan ulama’ salaf, maka sesungguhnya mereka dusta, karena mata rantai pemahaman al-Qur’an dan Hadits harus melalui para sahabat dan ulama’ salaf.
Seperti halnya memahami Al Quran harus melalui apa yang disampaikan para ulama secara transmisi, mengenal kepribadian Nabi Saw.-pun hanya dapat dicapai dengan mengenal kepribadian para sahabat, karena para beliaulah yang telah berjumpa dan melihat kepribadian Nabi saw. secara langsung, sedangkan kita bertemu saja tidak pernah.

Para sahabat tidak bersedia maju tanding satu-lawan satu dalam perang Khandaq (parit) ketika Nabi Saw. memerintahkan mereka, bukan karena mereka takut menghadapi musuh, bahkan mereka khawatir akan timbul sifat anâniyyah (ego/sifat keakuan) dalam hati mereka. Sayyidina Ali Krw. Bersedia menjalankan perintah Nabi Saw. tersebut (tanding) karena beliau khawatir jika Nabi Saw.
sendiri atau sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar Ra. yang maju bertempur dan gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga umat Islam akan kehilangan pemimpin mereka. Maka dari itu, seandainya harus ada yang gugur, maka cukup sayyidina Ali yang gugur. Ketika sayyidina Ali Krw. maju tanding satu lawan satu dalam perang Khandaq tersebut beliau sudah berumur 28 tahun, bukan 8 tahun, karena sangat tidak masuk akal jika Islam sudah mendidik anak kecil yang belum baligh untuk menumpahkan darah meskipun untuk memerangi non muslim.
Pada perang Khoibar kondisi sangat mencekam, karena diluar area perkemahan kaum muslimin orang-orang kafir sudah menyiapkan beberapa pasukan panah yang sangat jitu, dan jika satu saja dari kaum muslimin keluar dari perkemahan, panah akan siap membidik. Di saat kondisi demikian Rasulullah Saw. menantang para sahabat dengan mengucapkan “Siapa diantara kalian yang berani menyelidiki keadaan orang-orang kafir, maka akan aku tanggung hidupnya”.
Para sahabat hanya diam tanpa ada yang berani mengangkat tangan. Diamnya para sahabat tersebut bukan karena mereka takut dengan orang kafir, melainkan menjaga hati dari munculnya sifat anâniyyah. Terbukti ketika Rasulullah Saw. menunjuk sahabat Hudzaifah Ra. untuk menyelidiki, beliau langsung berdiri tegak menunjukan keberaniannya dan langsung terjun menyelidiki kaum kafir.
Dengan ketangguhan serta kecepatan larinya, sahabat Hudzaifah Ra. tidak tersentuh anak panah sama sekali. Saat sahabat Hudzaifah Ra. menceritakan peristiwa di atas pada kedua cucunya, mereka terlihat kagum dan bersemangat. Mereka berkata “Jika Rasulullah saw. memerintahkan kami, niscaya kami yang akan maju pertama kali dan siap gugur di medan perang”.
Mengetahui cucu-cucunya mempunyai semangat luar biasa, sahabat Hudzaifah Ra. Bahagia. Kemudian beliau berkata “Nak, nak… kamu sekalian beruntung dilahirkan di zaman sekarang. Jika kamu sekalian hidup di zaman Nabi Saw., kamu sekalian tidak termasuk golongan orang-orang munafik saja sudah untung”.
Rasulullah Saw. adalah ahli strategi, bukan ahli politik, karena dalam politik seringkali tidak bisa lepas dengan kebohongan, (Abah mencontohkan bahwa jika ahli politik pagi hari bilang tempe, maka sore hari bilang tahu) padahal diantara sifat Nabi Saw. adalah shidiq (jujur). Jangan sampai menggunakan istilah yang keliru untuk menyebut Nabi Saw ! (Muhasholah min maqolat Maulana Al Habib Luthfi)  (Tsi)

sumber:http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?option=com_content&view=article&id=157%3Aberguru-pada-rasulullah-saw&catid=34%3Aberita&Itemid=18&lang=id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar