==================
Kiai Bamburuncing
=================
Bismi Allahi, Ya Hafidzu Allahu Akbar...
Itulah bekal doa dari KH Subeki kepada para tentara Hizbullah dan Sabilillah daerah Parakan-Temanggung, Jawa Tengah. Setelah diberkati doa, pasukan memperoleh kebulatan hati yang tak tergoyahkan menuju pertempuran, dan mempunyai ketabahan untuk bertawakal kepada Allah dengan keberanian dan keikhlasan.
Itulah bekal doa dari KH Subeki kepada para tentara Hizbullah dan Sabilillah daerah Parakan-Temanggung, Jawa Tengah. Setelah diberkati doa, pasukan memperoleh kebulatan hati yang tak tergoyahkan menuju pertempuran, dan mempunyai ketabahan untuk bertawakal kepada Allah dengan keberanian dan keikhlasan.
Tidak hanya tentara Hizbullah dan Sabilillah, laskar-laskar dari
kesatuan lain dan anggota Tentara Keamanan Rakyat juga
berbondong-bondong menghadap sang kiai, tak kenal siang atau malam.
Mereka meminta supaya senjata bamburuncingnya dilumuri tuah dari doanya.
Karena itulah beliau terkenal dengan julukan kiai bamburuncing.
Sekali waktu, Wongsonegoro, gubernur Jawa Tengah saat itu, juga
pernah meminta berkahnya. Bahkan Panglima Besar Jendral Soedirman,
sebelum pergi ke Ambarawa, melakukan hal serupa.
Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri (1974), KH Wahid Hasyim, KH Zainul
Arifin dan KH Masykur pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu,
KH Subeki menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak
layak dengan maqam itu. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati
panglima Hizbullah, KH Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai.
Tapi, kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mangatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.
“Apa yang Bapak lakukan itu sudah benar dan meraka sudah mendapat apa
yang mereka inginkan. Mereka jadi tambah berani dalam perjuangan, dan
ini sangat penting. Apa yang biasa sampaikan kepada mereka?” demikian
kata Kiai Wachid.
Kiai Subeki merespon, “Luruskan niat untuk mempertahankan agama,
bangsa dan Tanah Air. Ingat selalu kepada Allah. Jangan menyeleweng dari
tujuan dan hendaklah selalu ingat kepada Allah.”
Dalam revolusi fisik yang berkecamuk 1945-1950, Kiai Subeki tidak
hanya ongkang-ongkang kaki, memberi tuah di rumahnya. Ia juga turun ke
medan laga. Ia bersama KH HM Siradj Payaman, KH M. Dalhar Watucongol,
serta KH Mandur Temaggung, dan bersama tentara rakyat berhasil mengusir
NICA dan Sekutu dari Magelang sampai ke Ambarawa. Dari Ambarawa, ia
bersama Jendral Sudirman dan tentara rakyat, berhasil juga mengusirnya.
Dalam catatan Mahbub Djunaidi (1974), KH. Subeki juga diamati dari
kacamata seorang anak. Ia mendengar kabar, para pejuang miminta
bamburuncingnya dituahi KH Subeki. Para pejuang kemudian bertempur
seperti orang keserupan memukul mundur Sekutu dari Solo. Sebagai seorang
anak, Mahbub menginginkan bamburuncing itu untuk kebanggaan di mata
teman-temannya.
Tepatlah ujaran Bung Karno, “Sejarah, apalagi bagian yang dalam,
yakni mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat; yang menyebabkan
kemajuan atau kemunduran suatu bangsa, tidak banyak diperhatikan.
Padahal, di sinilah padang penyelidikan yang maha-maha penting.” (Abdullah Alawi, dari pelbagai sumber)
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,34099-lang,id-c,fragmen-t,Kiai+Bamburuncing-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar