==============
Santri versus Priyayi
================
Pada
awalnya bangsa ini bersatu padu. Berbagai lapisan masyarakat, baik
pedagang, priyayi, santri, petani bangsawan dan rohaniawan saling akrab.
Meraka hidup alam sebuah kosmologi yang sama yaitu kosmologi Nusantara
yang meletakkan mereka dalam posisi dan peran masing-masing yang
bertugas memayu ayuning bawono (menjaga ketertiban dunia).
Dengan cara itu kehidupan menjadi harmonis, sebab mereka dididik dalam
satu sistem yang sama yaitu pesantren atau paguron.
Ternyata kehidupan yang komunal dan harmoni itu
menyulitkan Belanda untuk menyeleundupkan agenda kolonialnya, maka
mereka lalu dipecah belah. Caranya belanda mendidik para pemuda dalam
sekolah Belanda yang kemudian menjadi ambtenaar (pegawai belanda).
Priyayi ambtenar ini berbebeda dengan priyayi sebelumya ang dididik di
pesantren, sehingga tidak berkonflik dengan santri. Tetapi priyayi
ambtenaar ini dididik secara Belanda dan diajari membenci segala yang
berbau pribumi dan agama yang merupakan karakter para santri.
Bahkan para kiai yang dulunya setara dengan para
priyayi dan para bangsawan kerajaan, derajatnya direndahkan oleh para
priyayi ambtenar itu. Mereka menempatkan diri sebagai bendoro, sementara
kiai diangap kawulo. Kalau ada yang mau menghadap harus bersila
dilantai, sementara mereka, para priyayi ambtenar itu duduk di
singgasana. Mereka menggunakan bahasa kasar (ngoko), sementara terhadap mereka harus menggunakan bahasa yang halus (kromo).
Melihat kenyataan itu para kiai dan satri
menjauhkan diri dari pusat kota, kediaman para priyayi untuk menghindari
gaya hidup yang materialis sebagai kaki tangan penjajah. Karena itu
pembanguna pesantren baru selalu mengambil tempat yang jauh dari
keramaian untuk menghindari pengaruh negatif Belanda, dengan tetap
menjaga nilai agama dan mengembangkan kepribadian bangsa Nusantara.
Dengan cara itu pendidikan agama berjalan dengan
baik sehingga moralitas masyarakat bisa dipertahankan jauh dari
materialisme dan hedonisme yang dikembangkan penjajah. Dengan adanya
pesantren itu pula berbagai tradisi dan kebudayaan Nusantara bisa terus
dikembangkan tanpa gangguan dari Belanda.
Menyembuhkan stigma yang dibuat Belanda itu
memang tidak mudah. Hingga saat ini walaupun sudah sangat tipis stgma
itu terkadang masih ada. Tetapi kini pola hidup santri kembali menjadi
pilihan yang membanggakan. (Mun’im DZ/Disadur dariu buku 'Peringatan 20 tahun Indonesia Merdeka', Departemen Penerangan RI, Jakarta: 1965)
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,10454-lang,id-c,fragmen-t,Santri+versus+Priyayi-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar