---------------------------------
Tulisan Tangan Mbah 'Ali Maksum (rohimahulloh) Krapyak Yogyakarta sendiri, di awal 80-an yang rutin dibaca setelah melaksanakan sholat fardlu
Bacaan Wiridan (Bagian 1)
Ini adalah salinan pindaian naskah kenangan tulisan tangan langsung Simbah KH Ali Maksum, rahimahullah. Berisi bacaan-bacaan yang rutin dibaca setelah melaksanakan shalat fardlu, atau yang lebih dikenal dengan awrad (tunggal : wirid). Di dalam khasanah budaya Islam selain bacaan wirid kalimah tayyibah seperti yang ada dalam catatan tersebut, wirid-wirid lain banyak ditulis oleh para kiyai, ulama atau awliya’.
Meski dalam perkembangannya istilah wirid maknanya melebar menjadi
amalan rutin seseorang (bacaan dzikir, shalat sunat, ‘menderas’ Qur’an
dan mengajarkannya, puasa, merawat masjid, sedekah, dan lain-lain),
namun biasanya yang disebut wirid –sehingga ada istilah wiridan, tetap
lazim mengacu kepada bacaan dzikir yang terus menerus diamalkan. Bila
tidak dibaca khusus tiap habis shalat fardlu namun selalu dibaca dalam
sehari atau sepekan, dikenal pula istilah ratib, seperti Ratib al Haddad, Ratib Al Attas, Ratib Bawazir dan lainnya ataupun hizib seperti Hizb Nashr, Bahr
dan sebagainya. Yang terakhir, hizib, dalam perkembangan maknanya
menciut pada sekumpulan ayat, kalimah tayyibah, doa-doa yang dibaca
dalam situasi, cara, dan tujuan tertentu di bawah bimbingan, ijazah dan
‘supervisi’ kiyai.
Catatan tersebut tulisan tangan Mbah Ali sendiri, di awal 80-an, yang
berbeda dengan tulisan beliau lainnya, yang biasanya meminta santri
khattat untuk menuliskannya kembali sebelum disebarluaskan. Tulisannya
tidak berharakat, jenis naskhi kecil-kecil, dalam selembar kertas ukuran
HVS. Artinya, tulisan ini untuk masyarakat santri atau masyarakat umum
yang mau mengaji sehingga dapat membaca dan memaknainya dengan benar.
Ditulis dalam satu lembar dimaksudkan agar tidak berkesan memberatkan
pengamalan dan penyebarluasannya. (Saya sendiri membayangkan, wah betapa
gembira beliau kalau catatan tulisan tangan beliau ini disalin dan
ditempelkan di tiap mushalla).
Memang naskah dan isi tulisan ini dari beliau, tapi sebenarnya bukan
susunan karangan beliau. Isi catatan wiridan ini –dulu dalam pengajian
beliau nyatakan; merupakan kumpulan amalan dan ajaran doa para kiyai di
Jawa yang bersumber dari riwayat ma’tsurah dari Rasulullah dan para
ulama Islam. Setiap kiyai, ulama mempunyai kenang-kenangan untuk ummat.
Catatan seperti ini termasuk tinggalan dan legacy kiyai-ulama kepada
ummat yang dibimbingnya. Jerih payah para kiyai yang tekun ‘momong’ dan
membangun keimanan ummat seperti ini karenanya tidak sepantasnya
kemudian oleh sesama kalangan kolegialnya, (apalagi bukan kiyai!)
‘dibolduser’ dengan serangkaian pembid’ahan dan hartoqoh yang salah
kaprah dan bermuara pada penggusuran dzikir dari dada ummat.
Para kiyai mengetahui selain wirid-wirid seperti dalam catatan ini
ada bacaan ma’tsurat lain. Mungkin Anda mengkritisi, apa sebab yang lain
tidak ditulis/dibaca? Wiridan kog dibatasi bacaan atau bilangannya?
Kata kuncinya adalah, apa yang diamalkan itu yang berasal, diajarkan,
dan diamalkan oleh para gurunya. Riwayat bacaan yang lain di kitab-kitab
masih banyak, dan boleh saja diamalkan, namun yang diamalkan dan
diajarkan langsung oleh gurunya itulah yang nantinya lebih membantu
pengamalan dengan mudawamah, muwadzabah dan mulazamah atau yang populer
di masyarakat dengan istilah istiqamah.
Amalan yang terbaik, sebagaimana semua mafhum, bukan melulu yang
nominal dan kuantitasnya banyak, namun juga yang dilakukan secara
kontinyu dan konsisten. Bisa jadi sedikit nominalnya, namun maknanya
tetap banyak. Itulah mengapa Al Qur’an menyuruh banyak berdzikir kepada
Allah namun Rasulullah shalawatullah wasalamuhu ‘alaih juga mengajarkan
cara berdzikir dengan bilangan tertentu. Ya, mengapa tidak; di samping
ada rahasia dibalik jumlah bilangan tersebut, berdzikir dengan membilang
artinya melatih, menjaga, dan lebih menjamin istiqamah.
Terlebih, selain wiridan-dzikir yang minimal bermanfaat menentramkan hati semacam ini, masih banyak jenis amalan dan aktifitas sosial yang juga dapat bermanfaat bagi diri masing-masing, sesama, dan alam semesta.
*) Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum. Terlebih, selain wiridan-dzikir yang minimal bermanfaat menentramkan hati semacam ini, masih banyak jenis amalan dan aktifitas sosial yang juga dapat bermanfaat bagi diri masing-masing, sesama, dan alam semesta.
sumber:http://krapyak.org/2012/08/11/bacaan-wiridan-bagian-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar