ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 16 Januari 2013

Wiridan Rutin KH. Ali maksum Krapyak Yogya Yang Dibaca setelah melaksanakan sholat fardlu



---------------------------------
Tulisan Tangan Mbah 'Ali Maksum (rohimahulloh) Krapyak Yogyakarta sendiri, di awal 80-an yang rutin dibaca setelah melaksanakan sholat fardlu

Bacaan Wiridan (Bagian 1)


Ini adalah salinan pindaian naskah kenangan tulisan tangan langsung Simbah KH Ali Maksum, rahimahullah. Berisi bacaan-bacaan yang rutin dibaca setelah melaksanakan shalat fardlu, atau yang lebih dikenal dengan awrad (tunggal : wirid). Di dalam khasanah budaya Islam selain bacaan wirid kalimah tayyibah seperti yang ada dalam catatan tersebut, wirid-wirid lain banyak ditulis oleh para kiyai, ulama atau awliya’.
Meski dalam perkembangannya istilah wirid maknanya melebar menjadi amalan rutin seseorang (bacaan dzikir, shalat sunat, ‘menderas’ Qur’an dan mengajarkannya, puasa, merawat masjid, sedekah, dan lain-lain), namun biasanya yang disebut wirid –sehingga ada istilah wiridan, tetap lazim mengacu kepada bacaan dzikir yang terus menerus diamalkan. Bila tidak dibaca khusus tiap habis shalat fardlu namun selalu dibaca dalam sehari atau sepekan, dikenal pula istilah ratib, seperti Ratib al Haddad, Ratib Al Attas, Ratib Bawazir dan lainnya ataupun hizib seperti Hizb Nashr, Bahr dan sebagainya. Yang terakhir, hizib, dalam perkembangan maknanya menciut pada sekumpulan ayat, kalimah tayyibah, doa-doa yang dibaca dalam situasi, cara, dan tujuan tertentu di bawah bimbingan, ijazah dan ‘supervisi’ kiyai.
Catatan tersebut tulisan tangan Mbah Ali sendiri, di awal 80-an, yang berbeda dengan tulisan beliau lainnya, yang biasanya meminta santri khattat untuk menuliskannya kembali sebelum disebarluaskan. Tulisannya tidak berharakat, jenis naskhi kecil-kecil, dalam selembar kertas ukuran HVS. Artinya, tulisan ini untuk masyarakat santri atau masyarakat umum yang mau mengaji sehingga dapat membaca dan memaknainya dengan benar. Ditulis dalam satu lembar dimaksudkan agar tidak berkesan memberatkan pengamalan dan penyebarluasannya. (Saya sendiri membayangkan, wah betapa gembira beliau kalau catatan tulisan tangan beliau ini disalin dan ditempelkan di tiap mushalla).
Memang naskah dan isi tulisan ini dari beliau, tapi sebenarnya bukan susunan karangan beliau. Isi catatan wiridan ini –dulu dalam pengajian beliau nyatakan; merupakan kumpulan amalan dan ajaran doa para kiyai di Jawa yang bersumber dari riwayat ma’tsurah dari Rasulullah dan para ulama Islam. Setiap kiyai, ulama mempunyai kenang-kenangan untuk ummat. Catatan seperti ini termasuk tinggalan dan legacy kiyai-ulama kepada ummat yang dibimbingnya. Jerih payah para kiyai yang tekun ‘momong’ dan membangun keimanan ummat seperti ini karenanya tidak sepantasnya kemudian oleh sesama kalangan kolegialnya, (apalagi bukan kiyai!) ‘dibolduser’ dengan serangkaian pembid’ahan dan hartoqoh yang salah kaprah dan bermuara pada penggusuran dzikir dari dada ummat.
Para kiyai mengetahui selain wirid-wirid seperti dalam catatan ini ada bacaan ma’tsurat lain. Mungkin Anda mengkritisi, apa sebab yang lain tidak ditulis/dibaca? Wiridan kog dibatasi bacaan atau bilangannya? Kata kuncinya adalah, apa yang diamalkan itu yang berasal, diajarkan, dan diamalkan oleh para gurunya. Riwayat bacaan yang lain di kitab-kitab masih banyak, dan boleh saja diamalkan, namun yang diamalkan dan diajarkan langsung oleh gurunya itulah yang nantinya lebih membantu pengamalan dengan mudawamah, muwadzabah dan mulazamah atau yang populer di masyarakat dengan istilah istiqamah.
Amalan yang terbaik, sebagaimana semua mafhum, bukan melulu yang nominal dan kuantitasnya banyak, namun juga yang dilakukan secara kontinyu dan konsisten. Bisa jadi sedikit nominalnya, namun maknanya tetap banyak. Itulah mengapa Al Qur’an menyuruh banyak berdzikir kepada Allah namun Rasulullah shalawatullah wasalamuhu ‘alaih juga mengajarkan cara berdzikir dengan bilangan tertentu. Ya, mengapa tidak; di samping ada rahasia dibalik jumlah bilangan tersebut, berdzikir dengan membilang artinya melatih, menjaga, dan lebih menjamin istiqamah.
Terlebih, selain wiridan-dzikir yang minimal bermanfaat menentramkan hati semacam ini, masih banyak jenis amalan dan aktifitas sosial yang juga dapat bermanfaat bagi diri masing-masing, sesama, dan alam semesta.
*) Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum. 
sumber:http://krapyak.org/2012/08/11/bacaan-wiridan-bagian-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar