AHMAD AL-HADI
Pendiri NU Pertama di Bali
=====================
Lahir
pada tahun 1899 dari pasangan Kyai Dahlan Falak dan Nyai Ummu Kulsum
Semarang dengan nama Ahmad. Semasa nyantri di Jamsaren, Kyai Idris
Jamsaren memberikan julukan "al-Hadi" kepadanya sehingga ia pun dikenal
dengan nama Ahmad al-Hadi. Disamping belajar kepada Kyai Idris, Ahmad
muda juga pernah menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar tanah Jawa
seperti Kyai Umar Sarang, Kyai Abdullah Termas, Kyai Khalil Bangkalan,
Tuan Syeikh Jembrana [Bali] dan Kyai Hasyim Asy`ari. Ahmad al-Hadi juga
pernah beberapa tahun menuntut ilmu di kota Mekkah sebelum akhirnya
pulang ke Indonesia setelah Hijaz mengalami kekacauan besar akibat
meletusnya revolusi Wahabi. <;br />
Mendirikan Pesantren dan Madrasah
Mendirikan Pesantren dan Madrasah
Pada tahun 1929, Ahmad al-Hadi hendak kembali
nyantri kepada Tuan Syeikh di kampung Timur Sungai Kabupaten Jembrana
Provinsi Bali. Namun sesampainya di kampung Timur Sungai, Tuan Syaikh
yang dicarinya telah meninggal dunia. Akibatnya, kampung timur sungai
mengalami masa vakum [masa masyarakat tidak memiliki figur ulama].
Seorang bangsawan Melayu, Datuk Hasan Kaya, mengangkatnya menjadi anak
dan bermaksud menjadikannya sebagai figur pengganti Tuan Syeikh.
Setelah diangkat menjadi anak oleh Datuk Hasan
Kaya, sang ayah pun memintanya menetap di Kampung Timur Sungai. Ia
dipinta untuk mengajarkan ilmu agama di Masjid Bait al-Qadim. Sementara
segala kebutuhan hidupnya disokong sepenuhnya oleh ayah angkatnya. Mulai
saat itulah Ahmad al-Hadi menjadi penduduk Loloan yang mayoritas
bersuku Bugis-Melayu dan berperan sebagai ulama muda yang sangat
bersemangat dalam dunia pendidikan. Di masanya, Ia lebih populer dengan
nama Ustadz Semarang.
Setelah setahun bermukim di kampung Timur
Sungai, tepatnya pada 11 Agustus 1930, Ahmad al-Hadi mendirikan pondok
pesantren Semarang [kini pondok pesantren Manba'ul Ulum]. Sebelum
berdirinya pondok pesantren Semareang, sistem pendidikan di kawasan
Jembrana dan Singaraja mengandalkan sistem pendidikan tradisional
Langgar atau Surau. Namun setelah kedatangan Ahmad al-Hadi, sistem
pondok pun segera di perkenalkan. Para santri disediakan tempat
pemukiman di lingkungan pesantren dan dilatih untuk mempraktekkan ilmu
yang mereka peroleh ke dalam kehidupan sehari-hari mereka di pesantren.
Di tahun yang sama, Ahmad al-Hadi juga
memperkenalkan sistem pendidikan klasikal Islam "madrasah" kepada
masyarakat muslim Jembrana. Disamping untuk memfasilitasi kebutuhan umat
Islam akan pendidikan agama, pendirian madrasah juga ditujukan untuk
mengkader generasi bangsa yang anti terhadap imperialisme dan
kolonialisme Hindia Belanda. Para santri dan murid-murid madrasah tidak
diperkenankan untuk menggunakan pakaian, atribut, ataupun alat-alat
musik yang sering digunakan oleh Belanda.
Datuk Haji Imran, santri senior yang kelak
menjadi menantu Ahmad al-Hadi dan pendiri pondok pesantren Riyadlus
Shalilhin Melaya, tercatat sebagai seorang tokoh pemuda [sebutan untuk
pejuang kemerdekaan] yang gigih melawan kolonialisme Belanda. Peran
penting yang dimainkannya sebagai penghubung gerakan perjuangan
kemerdekaan antara Bali bagian barat dan Jawa bagian timur membuat Datuk
Haji Imran menjadi tokoh yang paling dicari oleh pasukan NICA
(pemerintah sementara Belanda).
Mengajarkan Agama dengan Syair Melayu
Walaupun berasal dari suku Jawa, namun
kepedulian dan penghargaan Ahmad al-Hadi terhadap kebudayaan masyarakat
Bugis-Melayu Bali, tempat ia tinggal. Setiap kali mengajar, ia tidak
pernah menggunakan bahasa Jawa, namun selalu menggunakan bahasa Melayu.
Ia juga rajin menggubah syair-syair nasihat yang ditujukan untuk
mendidik santri agar memiliki akhlak yang mulia.
Disamping syair-syair nasihat Ahmad al-Hadi juga menggubah dasar dari beberapa cabang ilmu agama yang diperolehnya dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam syair-syair Melayu. Semua usahanya ini ditujukan untuk mempermudah para santri yang mayoritas awam akan bahasa Arab dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Bahkan tradisi belajar sambil bersyair ini kemudian terus diwariskan di daerah Jembrana dan juga diajarkan oleh para alumni yang mengajar di sejumlah kabupaten di Bali.
Disamping syair-syair nasihat Ahmad al-Hadi juga menggubah dasar dari beberapa cabang ilmu agama yang diperolehnya dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam syair-syair Melayu. Semua usahanya ini ditujukan untuk mempermudah para santri yang mayoritas awam akan bahasa Arab dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Bahkan tradisi belajar sambil bersyair ini kemudian terus diwariskan di daerah Jembrana dan juga diajarkan oleh para alumni yang mengajar di sejumlah kabupaten di Bali.
Gubahan sya'irnya yang paling banyak dihafal
adalah pengajaran Tajwid dengan pendekatan "Talaqi" [dialog murid-guru].
Setiap guru bertanya, sang murid harus menjawab dengan syair yang
berisi jumlah huruf yang memiliki status hukum tertentu dalam tajwid.
Sebagai ilustrasi, dalam kasus idgham bila ghunnah, murid harus bisa
menjawab pertanyaan guru tentang hukum "idgham bila ghunnah" dan
menyebutkan syair berikut: "Idgham yang tidak ghunnah hurufnya : Cuma
lah dua lam ra' namanya".
Di luar disiplin tajwid, Ahmad al-Hadi juga
menggubah syair yang mengajarkan ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Ada juga
syair "Taubat" yang digunakan sebagai pembuka kegiatan "Taubat Nasuha"
yang dilakukan oleh "Jama'ah al-Ikhlas", jama'ah yang didirikannya dan
memiliki prosedur pengangkatan bai'at sebagaimana laiknya prosedur umum
yang ada di dunia tarekat. Konon Ijazah Jama`ah al-Ikhlas ini
diterimanya oleh Syeikh Hafidz Yamani.
Sedangkan syair-syair yang diperuntukkan kepada
generasi muda, pada umumnya mengambil tema seputar etika bergaul remaja
serta menumbuhkan rasa cinta dan kesetiaan terhadap tanah air dan
bangsa Indonesia. Syayang, kriteria syair-syair yang membahas tema ini
sudah tidak banyak dikenal lagi kecuali hanya oleh santri yang pernah
menimba ilmu secara langsung kepadanya.
Pendiri NU Pertama di Pulau Bali
Pada tahun 1933 Jembrana dijadikan target
penyebaran faham Islam puritan pertama di Bali. Gerakan keagamaan yang
mengatasnamakan purifikasi agama ini mengkampanyekan pembersihan agama
dari Takhayyul, Bid'ah dan Khurafat serta menghujat praktik bermadzhab
di kalangan umat Islam, sebuah gerakan yang meresahkan kehidupan
masyarakat muslim di Jembrana.
Hal ini menyebabkan Ahmad al-Hadi tidak bisa
tinggal diam. Ia maju untuk mempertahankan tradisi keagamaan umat Islam
di Jembrana yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Ia menantang untuk
melakukan debat terbuka terhadap siapapun yang berani mengutak-atik dan
menyerang tradisi keagamaan yang disebutnya sebagai faham Ahlussunah
wal Jama'ah. Bahkan untuk menjawab kecaman kelompok puritan terhadap
praktek bermadzhab, Ahmad al-Hadi malah menunjukkan mewajibkan
penggunaan "awik" atau cadar kepada semua santri dan murid perempuannya
sebagai bukti kesetiaannya terhadap madzhab Syafi'i.
Namun untuk melawan gerakan Islam puritan yang
terorganisir dengan baik tidak cukup hanya dengan perlawanan personal.
Harus ada wadah persatuan yang dapat mengamankan akidah Ahlussunnah wal
Jama'ah dari serangan kelompok-kelompok Islam lain. Hal inilah yang
menyebabkan Kyai Wahab Hasbullah [di]datang[kan] ke Bali pada tahun
1934. Dengan hanya mengendarai Jukong, Kyai Wahab Hasbullah menyeberangi
selat Bali dan mendarat di pelabuhan Jembrana [waktu itu pelabuhan yang
menghubungkan pulau Jawa dan pulau Bali terletak di daerah Cupel].
Setelah beristirahat sejenak di Cupel, Kyai
Wahab melanjutkan perjalanan menuju kampung Timur Sungai. Disamping
Masjid Agung Baitul Qadim Loloan Timur, Kyai Wahab mengenalkan NU kepada
para alim ulama masyarakat Islam Jembrana. Dalam Kesempatan itu Kyai
Wahab berpidato: “Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, Saya
ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok
alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” [obat yang dimaksud adalah
Nahdhatul Ulama].
Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi
tanya-jawab seputar masalah-masalah agama. Para ulama dan tokoh lokal
Jembrana merasakan ada kecocokan antara ajaran Islam tradisional yang
hidup di Jembrana dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama'ah NU. Oleh
karena itu, diplomasi Kyai Wahab dalam menawarkan NU ini dengan cepat
dapat diterima dan menarik minat para ulama, para tokoh serta masyarakat
setempat untuk bergabung ke dalam NU.
Mulai saat itulah organisasi NU berdiri dan
memiliki struktur keorganisasian yang jelas. Sementara Ahmad al-Hadi
segera dipilih secara aklamasi sebagai Rais `Am Cabang NU Jembrana yang
sekaligus menjadi cabang NU pertama di pulau Bali. Di bawah
kepemimpinannya, Gerakan NU di Jembrana segera mendirikan sejumlah
madrasah di daerah-daerah yang menjadi basis umat Islam Jembrana.
Walhasil, pada masa ini NU berhasil mendirikan madrasah di kampung Barat
Sungai, Cupel dan Tukadaya sedangkan di kampung Timur Sungai sendiri
telah berdiri madrasah yang beliau dirikan sebelum terbentuknya NU.
Namun setelah NU menjadi parpol, Kepemimpinan NU
diserahkan kepada tiga ulama dari kampung Barat Sungai, antara lain:
Ustadz Ali Bafaqih [pengasuh pondok pesantren Darul Huda Loloan Barat],
Datuk Guru Nuh dan Datuk Haji Abdurrahman [Pengasuh Pesantren Darut
Ta'lim Loloan Barat]. Sementara Ahmad al-Hadi sendiri segera menjauhkan
diri dari arena politik praktis dan lebih memilih berkonsentrasi
mengurus pesantren hingga akhir hayatnya.
Kendati Ahmad al-Hadi tidak aktif lagi di NU,
namun anak-anak dan para menantunya tetap berjuang di garis depan dalam
menegakkan NU, baik pada era Orde Lama, Orde Baru, maupun pada era
reformasi. Ahmad al-Hadi atau Ustadz Semarang sendiri tutup usia pada
tahun 1976 dan dikuburkan di depan masjid Agung Loloan Timur. Makamnya
yang berdampingan dengan Kubur Syarif Abdullah al-Qadri, Adik Sultan
Abdurrahman al-Qadri dari kerajaan Pontianak Kalimantan merupakan bentuk
penghormatan terhadap jasa-jasanya bagi perkembangan Islam di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar