Kehidupan Para Nabi di Alam Barzakh
B. KEKHUSUSAN KEHIDUPAN PARA NABI DI ALAM BARZAKH
Para Nabi dan Rasul memiliki keistimewaan dan kekhususan dalam
kehidupan di alam barzakh, yang tidak
dimiliki oleh seluruh manusia pada umumnya di alam yang sama. Meskipun
sebagian manusia memiliki keistimewaan dan kekhususan yang mirip dengan mereka.
1. Kesempurnaan kehidupan para
Nabi dan Rasul
Kehidupan barzakhiyah adalah
kehidupan yang hakiki, di mana para Arwah mampu mendengar, melihat, merasakan
dan saling mengenal antar sesama, baik dia seorang mukmin maupun kafir. Hak
untuk hidup, menerima rizki dan kenikmatan, serta kesempatan untuk memasuki
calon surganya bukanlah monopoli para syuhada’ saja, sebagaimana yang
disimpulkan dari beberapa hadis Nabi. Dan ini merupakan keyakinan dan akidah
yang dipegangi para Imam dan para ulama Ahlus Sunnah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa kehidupan para Nabi dan Rasul di alam barzah tentu lebih
mulia, lebih sempurna dan lebih agung daripada yang dialami oleh selain mereka.
Dalam kehidupan di alam dunia
ini, manusia memiliki tingkatan, derajat dan martabat yang berbeda. Di antara
mereka ada yang berada dalam tingkatan “mati dalam hidup”. Mereka memang
masih hidup, akan tetapi mereka bagaikan orang yang mati, disebabkan hidupnya tidak bermanfaat, baik untuk dirinya
sendiri maupun untuk yang lain. Allah swt menyinggung keadaan mereka tersebut
didalam firman-Nya :
لَهُمْ
قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(179)
“…mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS Al-A’raf,[7] :
179)
Di antara
mereka ada yang hidup dalam suatu derajat seperti yang dilukiskan Allah swt
dalam firman-Nya :
أَلَا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(62)
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS Yunus,[10] : 62).
Di antara
mereka lagi ada yang hidup di dunia seperti yang digambarkan Allah swt dalam
firman-Nya berikut ini :
قَدْ
أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ(1)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ(2)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ(3)وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ(4)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5)إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْعَادُونَ(7)وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ(8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ(9)أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ(10)الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(11)
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang
akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya.” (QS Al-Mukminun,[23] : 1-11).
إِنَّهُمْ
كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ(16)كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ(17)وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ(18)
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di
dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di
waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS
Adz-Dzariyat,[51] : 16-18)
Demikian pula
didalam kehidupan di alam barzakh, para arwah manusia hidup dalam tingkat,
derajat dan martabat yang berbeda, sebagaimana yang digambarkan Allah swt
didalam firman-Nya :
وَمَنْ
كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا(72)
“Dan barangsiapa yang buta
(hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula)
dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al-Isra’,[17] : 72).
Adapun para Nabi dan Rasul, sebenarnya kehidupan mereka, rizki yang
mereka terima, pengenalan mereka, pendengaran mereka, pengetahuan dan perasaan
mereka jelas jauh lebih sempurna, lebih tinggi dan lebih mulia daripada selain
mereka. Hal ini beralasan dengan firman Allah swt yang menjelaskan
tentang hak-hak yang diterima para syuhada’ :
وَلَا تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ(169)فَرِحِينَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(170) يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ
اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ(171)الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ
مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ
عَظِيمٌ(172)
“Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia
Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap
orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Mereka bergirang hati dengan ni`mat dan karunia yang besar dari Allah, dan
bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Yaitu)
orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat
luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara
mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (QS Ali Imran,[3] :
169-172)
Jika yang
dinamakan “Hidup” adalah tetapnya Ruh, sementara yang namanya Ruh
tidak mengalami kerusakan, baik ruh para syuhada’ maupun selainnya. Dengan demikian,
maka tidak benar jika pujian dan kemasyhuran merupakan hak istimewa yang hanya
dimonopoli oleh para Syuhada’. Orang-orang selain mereka pun juga berhak
mendapatkan hal yang serupa, karena kedua golongan tersebut adalah sama-sama
manusia yang berbentuk Ruh dan sama-sama hidup di alam barzah, tentu
saja kedunya akan mendapatkan hak yang serupa. Pandangan seperti inilah yang
benar, sebagaimana yang dikemukakan para pakar semacam Ibnul Qayyim didalam
bukunya, Ar-Ruh. Hanya saja, wujud keistimewaan hak (dipuji dan
terkenal) yang diperoleh para syuhada’ jelas lebih banyak daripada yang
diperoleh selainnya. Jika tidak dalam pengertian seperti itu, maka sia-sialah
penyebutan “Hidupnya para syuhada’” didalam ayat di atas. Bahkan Allah
swt sendiri melarang kita untuk mengatakan bahwa mereka sudah mati :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ(154)
“Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” ( QS
Al-Baqarah,[2] : 154).
Dari uraian di atas dapat kita tarik suatu
pemahaman bahwa para syuhada’, pada hakekatnya, adalah masih hidup, yakni hidup
di alam barzakh. Demikian pula orang-orang mati selain mereka juga mengalami
kehidupan di alam barzakh. Hanya saja tingkat kehidupan para Syuhada’ jauh
lebih sempurna dan lebih mulia daripada
selainnya.
Banyak
nash-nash yang secara lahiriah menjelaskan bahwa Arwah para syuhada’ mendapatkan rizki, merasakan
kenikmatan, berkesempatan mengunjungi calon surganya, bahkan memakan
buah-buahan surga. Arwah mereka dapat merasakan kenikmatan makanan dan minuman
secara sempurna, dengan perasaan dan kelezatan yang sempurna pula. Mereka mampu
mendengar suatu pembicaraan dan mampu memahami maksud pembicaraan, seperti yang
dijelaskan didalam sebuah hadis Nabi : “Sesungguhnya Allah swt berkata
kepada mereka: ‘Apa yang kalian gemari?’ Mereka jawab: ‘Begini dan begitu’.
Sehingga terjadilah dialog antara Allah swt dan mereka. Mereka memohon
dikembalikan lagi ke dunia, agar bisa mengikuti Jihad fi Sabilillah lagi.
Mereka juga memohon agar Allah swt menyampaikan suatu risalah atau missi mereka
untuk ditujukan kepada teman-temannya di dunia yang intinya menjelaskan betapa
mulianya Jihad fi Sabilillah sehingga menyebabkannya dimuliakan Allah swt. Maka
Allah swt berfirman kepada mereka: ‘Aku akan menyampaikan pesan dan misi
kalian’”.
Arwah para
Syuhada’ saja memperoleh penghormatan dan kemuliaan yang begitu tinggi di sisi
Allah swt, apalagi arwah para Nabi dan Rasul, tentu mereka memperoleh lebih
dari apa yang diperoleh para syuhada’, disebabkan dua alasan :
Pertama. Martabat yang
diberikan Allah swt kepada para syuhada’ merupakan penghormatan-Nya kepada
mereka. Akan tetapi, tiada martabat yang lebih tinggi selain martabatnya para
Nabi dan Rasul. Mustahil para syuhada’ memperoleh keistimewaan dan
kesempurnaan, sementara para Nabi dan Rasul tidak, terutama kesempurnaan dalam
hal kedekatannya dengan Allah swt, memperoleh derajat, kenikmatan dan keramahan
dari Allah swt.
Kedua. Martabat yang
diperoleh para syuhada’ merupakan hasil jerih payahnya dalam mengikuti Jihad fi
Sabilillah. Sementara itu, Nabi Muhammad saw adalah orang yang mengajarkan atau
memberi petunjuk kepada kita dan kepada kepada mereka sewaktu di dunia tentang
betapa pentingnya berjihad fi Sabilillah, lalu mengajak mereka berjihad.
Beliau saw bersabda : “Barangsiapa yang
merintis suatu jalan menuju kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala (atas
usaha rintisannya itu) dan pahala akibat dari orang yang mengikutinya, hingga
hari kiamat”. Pada kesempatan yang
lain beliau saw bersabda lagi : “Barangsiapa yang mengajak orang ke jalan
hidayah, maka dia akan memperoleh pahala seperti pahala yang diperoleh orang
yang mengikuti ajakannya, dan tidak dikurangi sedikit pun”. Dan masih banyak lagi hadis shahih
yang berkaitan dengan persoalan ini.
Dari sini
dapat disimpulkan bahwa setiap pahala yang diperoleh para syuhada’, juga akan
diperoleh oleh Rasulullah saw, karena mereka menjadi syuhada’ adalah berkat
usaha, petunjuk, ajakan, bimbingan dan dorongan beliau saw untuk mengikuti
Jihad fi Sabilillah. Dengan demikian, beliau saw pun akan
memperoleh pahala yang sama seperti yang diperoleh para syuhada’ di alam
barzakh, meskipun beliau saw tidak mati syahid. Bahkan pahala beliau saw jauh
lebih besar dan agung dari pada yang mereka terima, disebabkan keutamaan beliau
saw terhadap mereka.
Kehidupan
barzakhiyah para Nabi dan Rasul, khususnya Nabi Muhammad saw, jelas lebih
agung, lebih mulia dan lebih sempurna daripada yang pernah digambarkan oleh
orang-orang yang bodoh lagi dungu.
Mereka menyangka bahwa kehidupan barzakhiyah sama persis seperti kehidupan
duniawiyah. Para arwah makan, minum, pergi ke kamar kecil untuk berak dan
kencing, dan lain-lain, persis seperti aktifitas sehari-hari kita di dunia.
Para arwah keluar dari kuburnya untuk menghadiri majlis dzikir, pengajian,
semaan Al-Qur’an, berbagi suka dan duka dengan masyarakat atau keluarga yang
masih hidup, lalu mereka pulang ke kuburannya, yakni liang lahad yang sempit,
yang berukuran kurang lebih 1 x 2 meter, pengap dan gelap. Kehidupan
barzakhiyah sama sekali tidak seperti yang digambarkan orang-orang bodoh itu.
Kehidupan barzakhiyah para Nabi dan Rasul yang hakiki adalah kehidupan yang
serba sempurna dan lengkap. Mereka sempurna perasaannya, pengetahuannya maupun
pengenalannya; suatu kehidupan yang serba baik, lengkap, indah serta dalam
suasana penuh bacaan doa, tasbih, tahlil, tahmid dan shalat.
2. Para
Nabi melakukan shalat dan ibadatan lainnya di kuburnya
Para Nabi
didalam alam barzakh melakukan shalat, dalam pengertian yang
sesungguhnya, bukan shalat khayalan. Beberapa hadis Nabi menjelaskan tentang
keadaan mereka itu. Diantaranya hadis yang bersumber dari Anas bin Malik ra,
yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Para Nabi itu hidup
didalam kuburnya. Mereka melakukan shalat”. (HR Abu Ya’la dan Al-Bazzar
didalam kitab Majma’ a-Zawaid, juz 8, hal. 211). Imam Al-Baihaqy juga
mengetengahkan hadis tersebut didalam Risalah-nya.
Didalam
riwayat yang lain, dari Anas bin Malik ra dituturkan bahwa Rasulullah saw
bersabda : “Sesungguhnya para Nabi tidak meninggalkan tempat didalam
kuburnya setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka terus melakukan shalat
di hadapan Allah swt sampai terompet sangkakala hari kiamat dibunyikan”.
Al-Baihaqy
mengatakan, “Jika teks hadis tersebut benar, maka yang dimaksudkannya – Wallaahu
a’lam – adalah mereka selalu melakukan shalat di hadapan Allah swt”. Dia
mengatakan lagi, bahwa kehidupan mereka di alam barzah banyak dijelaskan
didalam beberapa hadis shahih seperti sabda Rasulullah saw : “Aku
melewati Nabi Musa as (pada waktu isra’-mi’raj) yang sedang melakukan shalat di
kuburnya”. (HR Al-Baihaqy ).
Hadis yang
lain menceritakan : “Seperti yang engkau ketahui, bahwa aku berada di tengah
jamaah para Nabi. Aku menyaksikan Nabi Musa sedang melaksanakan shalat. Aku
melihat Nabi Isa juga melakukan shalat, wajahnya mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud
ats-Tsaqafy. Dan aku melihat Nabi
Ibrahim shalat, wajahnya mirip dengan teman kalian (yakni mirip Rasulullah saw
sendiri). Setelah tiba waktu shalat jamaah, akulah yang menjadi Imamnya.
Selesai shalat, malaikat Jibril mengatakan kepadaku: ‘Hai Muhammad! Ini
malaikat Malik, penjaga neraka. Ucapkan salam kepadanya’. Kemudian aku menoleh
kepadanya, ternyata ia mendahuluiku mengucapkan salam kepadaku”.(HR Hadis
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, bersumber dari Anas bin Malik ra, didalam
kitab Shahih Muslim, juz 2, hal. 268. Juga diketengahkan oleh
Abdurrazzaq dalam bukunya, Al-Mushannaf, juz 3, hal. 577).
Al-Baihaqy
didalam bukunya, Ad-Dalailun Nubuwwah, mengetengahkan hadis Shahih dari
Sulaiman at-Taimy dan Tsabit al-Banany, dari Anas bin Malik ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda : “Aku Temui Nabi Musa as pada malam Isra’
dan Mi’raj. Dia berada di bukit pasir merah dalam keadaan berdiri melaksanakan
shalat didalam kuburnya”. Dan hadis
ini juga diketengahkan oleh Imam Muslim didalam Shahih-nya juz 2; hal.
268.
Tidak dapat diingkari bahwa Rasulullah saw memperoleh
keringanan dari kewajiban menjalankan shalat 50 waktu menjadi 5 waktu dalam
sehari semalam adalah berkat usulan dan nasehat Nabi Musa as. Meskipun Nabi
musa as sudah wafat, namun dia dapat menjadi penyebab Rasulullah saw, dan juga
umat Islam, mendapatkan keuntungan, yakni keringanan menjalankan shalat. Semula
Rasulullah saw dibebani menjalankan perintah shalat 50 waktu, kemudian beliau
musyawarahkannya dengan Nabi Musa dan dia menyarankan : “Mintalah kepada
Tuhanmu keringanan, karena umatmu tidak akan mampu melakukannya” , dan
seterusnya sampai beliau saw mendapatkan keringanan shalat 5 waktu.
Yang menjadi
pertanyaan kita adalah, Apakah kembalinya beliau saw menghadap Allah swt untuk
memohon keringanan tersebut dalam pengertian yang sesungguhnya ataukah
khayalan? Apakah peristiwa tersebut
terjadi pada diri beliau saw dalam keadaan jaga/sadar ataukah di tengah
tidurnya? Apakah peristiwa tersebut benar ataukah bohong? Apakah Nabi Musa saat
itu mati ataukah hidup sehingga dia bisa memberi saran kepada beliau saw agar
meminta keringanan kepada Allah swt ?
Al-Hakim mengetengahkan hadis shahih dari jalan
Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw pernah lewat di suatu lorong jalan menuju
ke satu bukit, kemudian bertanya kepada para sahabat : “Apa ini?”. Jawab
para sahabat : “Lorong jalan menuju ke bukit ini dan itu!”. Beliau saw
bersabda : “Seakan-akan aku melihat Nabi Yunus as yang sedang berada di atas
ontanya yang tali kekangnya terbuat dari tali sabut, ia berpakaian jubah dari
bulu domba, seraya membaca Talbiyah : Labbaikaalloohumma labbaik”. (Tersebut
didalam kitab Ad-Durrul Mantsur, juz 4, hal. 234).
Riwayat yang
lain menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah melewati daerah Wady al-Arzaq,
kemudian bersabda : “Sepertinya aku melihat Nabi Musa as yang turun dari
Tsaniyyah (Lorong jalan menuju ke bukit) seraya membaca Talbiyah”. Kemudian beliau saw melewati lorong jalan
menuju ke bukit Harsya dan bersabda : “Sepertinya aku melihat Nabi
Yunus bin Matta di atas onta yang berbulu kemerah-merahan . Dia berpakaian
jubah dari wol dan tali kekangnya dari sabut, sambil membaca Talbiyah terus
menerus”.
Didalam hadis
yang lain juga diceritakan sabda beliau saw : “Sepertinya aku melihat Nabi
Musa yang sedang meletakkan kedua tangannya untuk menutupi kedua telinganya”.
Semua hadis
di atas shahih dan sudah kami jelaskan di muka bahwa selama dalam
perjalanan Isra’-Mi’raj, Rasulullah saw menjadi imam shalat jamaah, di mana
yang menjadi makmumnya adalah para Nabi, seperti Nabi Musa, Isa, Yunus dan
lain-lain. Peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa yang
dialami beliau saw dalam keadaan mimpi di tengah tidurnya. Sesungguhnya
kata "أَرَانِـي"
(Allah
memperlihatkan kepadaku) mengisyaratkan peristiwa mimpi di tengah
tidur sedangkan peristiwa Isra’-Mi’raj yang shahih, sebagaimana yang
disepakati para ulama salaf dan khalaf adalah terjadi dalam
keadaan Yaqazhah (terjaga, tidak tidur). Kalau pun benar bahwa peristiwa
tersebut dialami beliau saw di saat mimpi dalam tidurnya, maka mimpinya para
Nabi adalah mimpi yang Haq (benar).
3.
Keutuhan jasad para Nabi
Hadis dari
Aus bin Aus ra menjelaskan, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya
hari-harimu yang paling utama adalah hari jum’at. Pada hari itulah Nabi Adam as
diciptakan dan diwafatkan. Dan di hari itu pula terompet sangkakala kiamat
mulai dibunyikan dan alam semesta hancur berantakan. Oleh karena itu, perbanyaklah
kalian bershalawat kepadaku di hari jum’at, karena shalawat tersebut akan
disampaikan Allah swt kepadaku”. Di antara sahabat ada yang bertanya : “Bagaimana
mungkin bacaan shalawat kami akan sampai kepada engkau, sementara jasad engkau
(setelah wafat nanti) bakal rusak”. Beliau saw menjawab : “Sesungguhnya
Allah swt mengharamkan bumi merusakkan jasad para Nabi”.
Hadis
tersebut diketengahkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Syaibah, dan Imam Ahmad bin
Hambal didalam Musnad-nya, serta Ibnu Abi ‘Ashim, Abu Dawud, An-Nasaiy
dan Ibnu Majah didalam kitab-kitab “Sunnah” mereka. Juga
diriwayatkan At-Thabrany didalam Mu’jam-nya, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban
dan Al-Hakim didalam kitab-kitab “Shahih” mereka. Sementara Al-Baihaqy
meriwayatkannya didalam bab “Hayatul Anbiya’ wa Syu’abul Iman” didalam
beberapa kitab karangannya.
Ibnul Qayyim
mengatakan didalam bukunya, “Ar-Ruh”, yang dinukil dari
pendapat Abdullah al-Qurthuby, bahwa Hadis-hadis shahih dari Rasulullah
saw menjelaskan bahwa : 1) bumi tidak
akan menghancurkan jasad para Nabi; 2)
Rasulullah saw berkumpul dengan para Nabi pada malam Isra’-Mi’raj di Baitul
Maqdis dan di langit, terutama bertemu dengan Nabi Musa as; 3) tak seorang
muslim pun yang mengucapkan Salam kepada Nabi Muhammad saw melainkan Allah swt
akan mengembalikan ruhnya kedalam jasadnya, sehingga beliau saw dapat
mengembalikan ucapan salam kepada orang itu. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan pernyataan “Para Nabi sudah wafat” adalah dalam
pengertian mereka telah menghilang dari
pandangan mata kita, disebabkan karena kita tidak mampu melihat mereka dengan
mata kepala, namun pada hakekatnya mereka benar-benar “maujud” dan
“hidup”, yakni hidup di alam barzah. Sama halnya dengan keberadaan para
malaikat, meskipun kita tidak mampu melihat wujud mereka dengan mata kepala,
akan tetapi mereka itu benar-benar hidup dan maujud.
Syaikh
Muhammad as-Safariny al-Hambali mengemukakan pendapatnya Al-Qurthuby didalam
kitabnya, Syarh Aqidah Ahlissunnah : “ Abdullah Al-Qurthuby
pernah mengatakan, bahwa gurunya yang bernama Ahmad bin Umar al-Qurthuby
menjelaskan: “Mati tidak sama dengan Tiada, atau Mati tidak berarti
benar-benar menjadi Tiada. Akan tetapi, Mati pada dasarnya adalah suatu
perpindahan dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh dalil syar’iy, bahwa para syuhada’ (setelah kematiannya di
medan perang) benar-benar hidup di sisi Tuhannya dalam keadaan merasakan
kenikmatan, rizki dan kesenangan”
Jika para
syuhada’ (yang jelas-jelas sudah gugur/mati) saja dikatakan “masih hidup di
sisi Tuhannya”, apalagi para Nabi, tentu mereka lebih dari itu. Imam
Al-Qurthuby menuturkan bahwa jasad para Nabi utuh dan tidak akan rusak
berdasarkan hadis shahih dari Jabir ra yang menjelaskan bahwa bapaknya
dan ‘Amr bin Jamuh adalah dua orang sahabat Nabi yang mati syahid pada waktu
perang Uhud. Mereka berdua dikubur didalam satu lubang. Setelah melewati
waktu kurang lebih 45 tahun, kuburannya dibongkar. Ternyata jasad mereka masih
utuh dan bekas lukanya pun tak berubah, tetap seperti waktu terbunuh.
Al-Imam
Al-Hujjah Abu Bakar bin al-Husain al-Al-Baihaqy menulis sebuah Risalah yang
secara khusus mengkaji tentang “Kehidupan para Nabi dan Keutuhan Jasadnya”, dengan
menyebutkan sejumlah hadis untuk mendukung pendapatnya.
Demikian pula Jalaluddin as-Suyuthy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar