ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Sabtu, 29 Juni 2013

Berdamai dengan Kaum Sawah

============
Berdamai dengan Kaum Sawah
=====================
Ekstrimisme kaum Salafi Wahabi (Sawah) terhadap kalangan kaum penganut aliran sufi terus berlanjut hingga menjadi persoalan sosial dan disintegrasi yang kronis dalam diri agama Islam. Berbagai tuduhan kafir, pengamal bid’ah, dan bahkan musyrik kepada kaum sufi menjadi duri dalam daging umat Islam. Mau tidak mau kita harus menyikapinya dengan penuh dengan kesabaran, kecerdasan, dan kejernihan hati serta pikiran dalam menghadapi persoalan keyakinan-keagamaan ini. Karena tentu persoalan keagamaan semacam ini memiliki daya keyakinan masing-masing yang saling membentengi dengan dalil-dalil Islam.

Di Indonesia, keberadaan kaum Sawah tak lebih menjadi pseudo-enemies dalam agama Islam. Stigma negatif dan vonis buruk bertubi-tubi dilayangkan secara subyektif oleh salah satu sekte Islam (Sawah) yang merasa paling Qur’ani dan Sunni kepada ajaran tasawuf dan pengamal tarekatnya. Mulai dari label perintis bid’ah, pembela mimpi dan ilham setan, melenceng dari syariat, demen mistis dan wirid-wirid bid’ah, pecinta hadits lemah dan palsu, pemuja wali dan guru, dan macam ragam tuduhan lain yang variatif dan tak bersahabat (Hal. 4).

Kehadiran buku Nur Hidayat Muhammad ini bukan dalam rangka memusuhi kalangan kaum Sawah. Namun tak lain mau berdamai dan berdialog via buku secara ilmiah dengan kajian yang mendalam. Nah, uraian buku di atas kiranya memberikan pandangan tersendiri di mata publik. Bisa saja publik menganggap kaum sufi memang benar-benar kafir atau bisa saja mereka beranggapan kaum Sawah yang diktator dan ekstrim sesama lingkup rumpun agama yang sama (Islam).

Setidaknya publik akan memiliki pandangan tersendiri dalam menimbang siapa yang memusuhi dan berkawan di antara dua aliran yang tak sepaham tersebut. Menurut imam al-Nawawi, penulis syarah Shahih Muslim, dalam kitabnya, al-Maqashid menyebutkan bahwa asas dalam tasawuf yaitu; Pertama, bertakwa kepada Allah Swt., baik dalam hati atau lahiriyah. Kedua, mengikuti al-Sunnah, baik dalam perilaku atau ucapan. Ketiga, hatinya tidak terpasung melihat makhluk (dunia). Keempat, ridha kepada Allah Swt., baik sedikit atau banyak. Kelima, kembali kepada Allah Swt., baik saat lapang atau susah (Hal. 12-13).

Lima fondasi kaum sufi yang dinyatakan oleh imam al-Nawawi dalam buku ini cukup mewakili dari struktur keberadaan penganut aliran sufi yang ditodong dengan pisau kafir dan tali musyrik oleh aliran Sawah. Kejernihan dalam berpikir dan keluwesan hati perlu kita kelola seelok mungkin, utamanya dalam menghadapi persoalan aliran dan keyakinan dalam beragama agar tidak mencoreng agama itu sendiri sebagai agama satu-satunya yang diyakini memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia.

Berbagai doktrin keislaman yang beda aliran hingga beda persepsi dalam memandang suatu fenomena perlu diselesaikan melalui pendekatan khusus tanpa ekstrimisme dan tuduhan yang mencoreng agama. Karena secara tidak langsung hal tersebut akan membangun pandangan negatif dan stereotip publik. Dengan serta merta publik akan menyatakan bahwa Islam adalah agama konflik. Dan itu secara lambat laun akan mengubah ruh agama Islam dari eksistensinya di ranah global (lih. stereotip oleh A. Dardiri Zubairi, 2013:110-113).

Perseteruan antara aliran Salafi Wahabi dan kaum Sufi serta termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah masih belum ada jalan terang yang bisa menerangi. Namun melalui jawaban sederhana yang mengena pada objek hukum syariat Islam oleh Nur Muhammad Hidayat ini akan memberikan sedikit cahaya terang benderang di antara dua aliran yang kontroversial tersebut. Secara jelas, pelurusan dengan cara yang fleksibel dan tegas mengenai hukum-hukum Islam kaitannya dengan adat istiadat di negeri ini juga harus menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan sebagaimana khittah Islam yang ajarannya selalu sesuai dengan situasi dan kondisi apapun.

Penyelesaian konflik kaum Sufi vs kaum Sawah harus berjalan dengan sikap moderat, fleksibel, kritis dan lembut dalam menyampaikan sebuah tanggapan. Serta dengan cara yang berdasar pada ranah damai berdasar pad timbangan hukum dan syari’at Islam. Misalkan dalam hal algorisme mengenai kaum Sufi dan hadits dhaif serta hadits palsu. Yang sangat mengesankan yaitu tuduhan Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya dengan judul “Tasawuf Besitan Iblis” yang menuduh kaum sufi menolak hadits shahih (Hal. 21-24).

Penegasian dalam menyelesaikan suatu problem bukan jalan utama. Karena dibalik itu akan bermunculan tanggapan saling todong dan bunuh hingga akhirnya kedua belah pihak (Sufi dan Sawah) akan sama-sama mengalami keruntuhannya. Bahkan bisa saja meruntuhkan peradaban kayakinan serta agama yang dibanggakannya. Maka dari itu, sebuah afiliasi dalam menyelesaikan problem yang membelit kaum Sufi dan Sawah perlu digiring ke ranah yang lebih damai dan mendamaikan. Sebagai aliran yang mendapat pandangan tersendiri dari publik, maka perlu memikirkan hal tersebut.

Dari segala variasi tuduhan dan ekstrimisme kaum Sawah terhadap kaum Sufi dalam buku ini dicoba untuk diluweskan melalui pendakatan hukum syariat Islam. Elaborasi dalam dua aliran tersebut perlu menjadi hal yang sangat urgen dalam menimbang dan memutuskan suatu pendapat guna menjaga eksistensi dan reputasi agama Islam. Karena tak dapat disangkal kedua aliran tersebut berada dalam jalur mengikuti pantulan cahaya agama yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Sehingga tak layak kiranya dalam jalur yang sama terjadi ekstrimisme dan tuduhan negatif terhadap aliran tertentu tanpa memandang ke depan melalui argumen yang valid dan mencerahkan ummat.

Judul: Tarekat dalam Timbangan Syariat – Jawaban atas Salafi Wahabi
Penulis : Nur Hidayat Muhammad
Penerbit: Muara Progresif
Cetakan: I, Mei 2013
Tebal: x + 175 hlm. 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-602-17206-5-3
Peresensi: Junaidi Khab, santri Pesantren Al-in’am Pajagungan Banjar Timur Gapura Sumenep Madura
 
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,45368-lang,id-c,buku-t,Berdamai+dengan+Kaum+Sawah-.phpx


Tidak ada komentar:

Posting Komentar