Ajakan Para Imam Sufi Untuk Menegakkan Syari'at *)
_____________________________________________
Penulis : DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki
Persoalan “Tasawwuf” saat ini benar-benar sial,
teraniaya, menjadi tertuduh dan kambing hitam dari setiap kesalahan. Sedikit
sekali orang yang bersikap netral dalam memandang persoalan Tasawwuf. Bahkan di antara mereka ada
yang berani dan tidak punya rasa malu sama sekali menyatakan bahwa Tasawwuf adalah ajaran tercela dan
jelek, serta mengakibatkan gugurnya status “kesaksiannya” (syahadah) dan “keadilan” para pengikutnya, sehingga
kaum sufi dinyatakan berstatus “tidak
tsiqah” (tidak dapat dipercaya) dan
tidak diterima setiap pengkabarannya. Kenapa demikian ? Karena ia seorang “sufi”. Dan yang mengherankan lagi
menurut pengamatan kami, mereka memandang sinis terhadap ajaran Tasawwuf,
tidak simpatik kepada kaum sufi, dan bahkan secara terang-terangan menyatakan
perang terhadap kaum sufi. Namun di balik itu, mereka justru melakukan apa-apa
yang dilakukan oleh kaum sufi dan dengan fasihnya mereka mampu menguraikan
teori Tasawwuf yang diajarkan oleh kaum sufi. Kemudian dengan tidak punya rasa
malu sama sekali, mereka seenaknya mencomot, menukil dan memetik teori ajaran
atau pendapat kaum sufi di tengah-tengah khutbahnya di atas mimbar jum’at, di
sekolah-sekolah, dan bahkan didalam buku-buku karangannya.
Mereka dengan fasih dan
lancarnya mengatakan: “Al-Fudhail
bin ‘Iyadh mengatakan…”; “Telah berkata Junaid al-Baghdady…”; “Telah
berkata Hasan Al-Bashry… “; dan lain sebagainya.
Padahal para tokoh yang mereka comot pendapatnya itu adalah para imam Sufi yang
cukup berpengaruh, para peletak dasar ajaran Tasawuf, dan pembangun ajaran
Tasawwuf itu sendiri. Semua buku-buku mengenai Tasawwuf selalu dipenuhi dengan
ucapan, pendapat, informasi, sejarah hidup dan perilaku para imam sufi di atas.
Kami tidak habis pikir.
Orang-orang yang sinis terhadap ajaran tasawwuf dan benci kepada kaum sufi ,
namun mereka mau mencomot pendapat para
imam sufi tersebut, apakah mereka benar-benar bodoh, pura-pura bodoh, ataukah
terbodohkan ?! Apakah mereka buta, pura-pura buta, ataukah membutakan diri ?!
Selanjutnya pada uraian di
bawah ini akan kami nukilkan teori dan pendapat para tokoh sufi. Bagaimana
mereka memandang “syari’at”, sehingga kita akan tahu, di mana posisi mereka yang sebenarnya dalam
menegakkan syariat Islam.
1. Imam Al-Junaid al-Baghdady [2] mengatakan, “Semua jalan tertutup bagi semua orang, kecuali mereka yang mau mengikuti jejak dan sunnah Rasulullah saw, selalu berjalan di atas jalan, metode dan thariqah beliau saw. Karena semua jalan yang mengarah kepada suatu kebaikan terbuka lebar bagi orang-orang yang mengikuti jejak dan sunnah beliau saw.”
2. Abu Yazid al-Busthamy [3] pada suatu hari mengatakan kepada para sahabat dan muridnya, “Mari kita saksikan dulu perilaku orang-orang yang
terkenal dengan kewaliannya!” Setelah itu, tiba-tiba ada
seorang lelaki yang dikenal masyarakat sebagai seorang waliyullah datang menuju
ke masjid sambil membuang ludahnya ke arah kiblat. Abu Yazid tidak bersimpatik
lalu berpaling dari lelaki tersebut seraya berkata, “Orang ini tidak dapat dipercaya untuk melaksanakan adab
sopan santun yang diajarkan dilakukan Rasulullah saw. Bagaimana mungkin ia bisa
dipercaya untuk menduduki posisi Waliyullah dan Shiddiqin yang diaku-akukannya
itu?”.
3. Dzunnun al-Mishry [4] pernah berkata, “Ada empat
thema pokok pembicaraan dalam tasawwuf, yaitu : 1) mencintai keagungan Allah
swt; 2) membenci yang sedikit; 3)
mengikuti dan mengamalkan ajaran wahyu;
4) takut jika terjadi pembelokan dan penyimpangan iman. Di antara
tanda-tanda orang yang mencintai Allah swt adalah “Itba’” atau mengikuti
kekasih-Nya, yakni Rasulullah saw, baik mengikuti dalam hal akhlaknya,
perbuatannya, perintahnya, maupun sunnahnya”.
4. As-Sary as-Saqaty [5] mengatakan, “Tasawwuf
adalah suatu istilah yang diperuntukkan untuk tiga pengertian: 1) Nur
ma’rifatnya tidak memadamkan Nur Wira’inya;
2) tidak berbicara secara kebatinan tentang suatu ilmu pengetahuan yang
bertentangan dengan zhahirnya teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi; 3) kekeramatannya tidak sampai menyebabkan
robeknya tirai-tirai keharaman yang ditetapkan Allah swt”
5. Abu Nasr Bisyr bin al-Harits
al-Hafy [6] mengatakan, “Saya pernah mimpi bertemu Rasulullah saw dalam tidurku.
Beliau saw mengatakan kepadaku: “Hai Bisyr ! Tahukah kamu, kenapa Allah swt
sampai mengangkat derajatmu melebihi derajat kewalian teman-teman dekatmu ?”.
Aku jawab, “Tidak tahu, wahai Rasulullah !”. Beliau saw mengatakan, “Karena
kamu selalu mengikuti sunnahku, berkhidmat kaum shalihin, suka menasehati para
sahabatmu, serta kamu mencintai para sahabat dan ahli baitku. Amal itulah yang
menyebabkanmu menduduki posisiyang diduduki oleh kaum Abrar dan Shalihin”.
6. Abu Yazid bin Thaifur bin Isa al-Busthamy [7] berkata, “Aku benar-benar ingin memohon kepada Allah agar Dia
mencukupiku dengan kecukupan sandang pangan dan wanita. Lalu aku bilang,
“Bagaimana mungkin aku diperbolehkan memohon hal-hal semacam itu ? Sementara
Rasulullah saw saja tidak pernah memintanya ?”
Oleh karena itu, aku tidak pernah lagi memohon hal semacam itu kepada
Allah swt. Meskipun demikian, ternyata pada akhirnya Allah swt mengabulkan
angan-anganku tentang wanita itu, sehingga aku merasa bahwa wanita itu tidak
merangsang lagi di hadapanku. Tidak ada bedanya antara dia dengan tembok”.
Pada kesempatan lain beliau berkata, “Jika Anda menyaksikan seseorang yang memiliki karamah, sampai-sampai ia
bisa terbang ke udara, Anda jangan mudah terpedaya, tercengang dan kaget dengan
kekeramatannya itu, sampai Anda benar-benar telah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri apakah ia sudah melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi
larangan-Nya, memelihara had-had (batas-batas agama) dan menjalankan syariat
dengan baik dan lurus”.
7. Sulaiman Abdurrahman bin ‘Athiyah al-Darany [8] berkata, “Barangkali pada suatu hari telah muncul kejadian-kejadian aneh didalam hatiku, sebagaimana yang pernah terjadi pada sebagian orang-orang. Aku tidak tertarik padanya kecuali disertai dua saksi yang adil, yakni Al-Qur’an dan Hadis Nabi”.
8. Abul Hasan Ahmad bin Abi al-Hawary [9] berkata, “Barangsiapa yang beramal dengan tidak disertai mengikuti sunnah Rasulullah saw, maka amalnya menjadi gugur”
9. Abu Hafsh Umar bin Salamah al-Haddad [10] berkata, “Barangsiapa yang tidak menimbang amal perbuatannya di setiap waktu dengan timbangan Al-Qur’an dan Hadis, serta tidak mampu mengendalikan kepentingan dan keinginan hawa nafsunya, maka ia jangan anda hitung kedalam majlis kaum sufi”
10. Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad berkata, “Barangsiapa yang tidak menghafal Al-Qur’an dan menulis Hadis Nabi, berarti ia tidak mengikuti jejak Rasulullah saw dalam urusan tasawwuf. Karena ilmu tasawwuf ini berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Ilmu tasawwuf kami dibangun di atas Hadis Rasulullah saw”
11. Abu Usman bin Ismail al-Hairy pernah diceritakan orang, setelah ia sadar dari kondisi “Hal”-nya (mabuk kepayangnya), putranya yang bernama Abu Bakar merobek-robek pakaian gamisnya. Abu Usman segera sadar dan membuka matanya seraya berkata, “Hai anakku ! Pegangilah As-Sunnah an-Nabawiyyah ! Kesempurnaan perilaku lahir seseorang itu mencerminkan kesempurnaan batinnya” .
Pada kesempatan lainnya beliau berkata, “Bersahabat dengan Allah swt adalah dengan cara memperbagus budi pekerti
dan selalu takut kepada-Nya. Bersabahat dengan Rasulullah saw adalah dengan
cara mengikuti sunnah beliau dan mengharuskan diri mengamalkan ilmu. Bersahabat
dengan para Auliyaillah adalah dengan cara menghormati dan berkhidmat
kepadanya. Bersahabat dengan keluarga adalah dengan cara memperlakukannya
secara sopan. Bersahabat dengan teman-teman adalah dengan cara selalu membuat
mereka merasa gembira, selama tidak bersifat dosa. Dan bersahabat dengan orang
bodoh adalah dengan cara mendoakan kebaikan dan memperlakukannya dengan penuh
kasih sayang”
Beliau mengatakan lagi, “Barangsiapa
yang memilih Hadis Nabi sebagai landasan ucapan dan tindakannya, berarti ia telah berbicara
dengan hikmah kebijaksanaan. Barangsiapa yang menjadikan keinginan hawa
nafsunya sebagai landasan ucapan dan tindakannya, berarti ia telah berbicara
dengan penuh Bid’ah. Allah swt berfirman : Dan jika taat kepada Rasulullah saw,
niscaya kamu akan mendapatkan petunjuk”. (QS An-Nur,[24] : 54).
12. Abul Hasan Ahmad bin Muhammad an-Nawawy berkata, “Siapa saja di antara kalian yang melihat seseorang yang mengaku-aku telah bersama Allah swt didalam kondisi “Hal”-nya, lalu ia melakukan perbuatan-perbuatan yang keluar dari tata aturan syariat, maka ia sekali-kali jangan anda dekati”
13. Abul Fawaris Syah bin Syuja’ al-Kirmany [11] berkata, “Barangsiapa yang menutup matanya dari hal-hal yang diharamkan agama, mampu menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, selalu membina dirinya untuk selalu melakukan ‘Muraqabah’, selalu menghiasi tingkah laku lahirnya denganmengamalkan sunnah Rasulullah saw, dan membiasakan diri memakan makanan yang halal, maka tidak akan meleset firasatnya”.
14. Abul Abbas Ahmad bin Muhamad bin Sahal bin ‘Atha’ al-Adamy [12] berkata, “Barangsiapa yang mengharuskan diri dengan adab sopan santun yang diajarkan oleh syariat Islam, maka Allah swt akan menyinari hatinya dengan “Nur Ma’rifat”. Dengan Nur tersebut, ia akan diberi kedudukan sebagai orang yang mengikuti Rasulullah saw dalam semua perintah, perbuatan dan akhlaknya”.
Abul Abbas mengatakan lagi, “Setiap apa
yang Anda minta, carilah ia di tengah padang sahara ilmu. Jika tidak Anda
dapatkan, carilah ia di medan hikmah. Jika masih tidak Anda dapatkan, hiasilah
ia dengan tauhid. Dan jika tetap saja tidak Anda dapatkan, pukullah wajah
syetan dengannya”.
15. Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzar [13] berkata, “Barangsiapa yang mengetahui jalan Al-Haqq (Agama Allah swt), maka Allah swt akan memudahkan jalan menuju ke sana. Tidak ada yang dapat menunjukkan jalan menuju Allah swt selain mengikuti Rasulullah saw dalam segala urusan, keadaan, perbuatan dan ucapannya”
16. Abu Ishaq Ibrahim bin Dawud al-Raqy berkata, “Tanda-tanda kecintaan (Mahabbah) kepada Allah swt adalah memprioritaskan diri untuk taat kepada-Nya dan mengikuti sunnah Rasulullah saw”
17. Mimsyad ad-Dainury berkata, “Ukuran seorang murid dianggap berbudi pekerti yang baik adalah ia mampu melaksanakan hak-hak gurunya, berkhidmat kepada teman-temannya, keluar dari sebab-sebab keburukan dan melaksanakan adab sopan santun yang diajarkan oleh Islam”
18. Abu Muhammad Abdullah bin Manazil mengatakan, “Seseorang tidak akan menyia-nyiakan salah satu kewajiban agama, melainkan terlebih dahulu ia akan diuji Allah swt dengan menyia-nyiakan hal-hal yang sunnah. Dan seseorang tidak akan mnyia-nyiakan hal-hal yang sunnah melainkan ia nyaris diuji dengan melakukan perbuatan Bid’ah”
_____________________________
*) Sumber : diterjemahkan dari kitab "مفاهيم يجب ان تصحح", karya DR. Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki
[2]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/junaid-al-baghdadi
[3]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/abu-yazid-al-busthami
[4]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/dzun-nun-al-misry
[5]. https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/sari-as-saqathi
[6].
http://al--kisah.blogspot.com/2008/09/bisyir-al-hafi.html.
http://manakib.wordpress.com/category/manakib-aulia-yang-lain/
[7]. http://wahidahpuspadina.blogspot.com/2013/04/makalah-tokoh-sufi-abu-yazid-al-bustami.htm
[8].
http://www.jetis.org/2013/02/mengikatkan-diri-dengan-hukum-syari.html.
http://sidiq.mercubuana-yogya.ac.id/penyejuk-qalbu/.
[9]. http://salafoke.blogspot.com/2013/02/sejarah-dan-fitnah-tasawwuf-hartono-17.html
[10].
http://wilayyahallah.blogspot.com/2011/09/abul-qasim-al-junaid.html.
http://www.tuanguru.com/2012/08/ajaran-guru-sufi-al-junaid.html.
[11]. www.kawansejati.org/tazkiratul.../22-syah-bin-syuja.html. http://momon72.blogspot.com/2009/12/kisah-kisah-sufi.html
[12]. samarindaryan.tripod.com/id15.html. http://www.kawansejati.org/tazkiratul-aulia/22-syah-bin-syuja.html
[13]. manakib.wordpress.com/.../ahmad-al-anthaki-dan-abu-hamzah-al-bazaar..
sufiheart.blogspot.com/2009/02/abu-hamzah-al-baghdadi-al-bazzar.html
sufiheart.blogspot.com/2009/02/abu-hamzah-al-baghdadi-al-bazzar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar