Pandangan Ulama Besar Tentang Disyariatkannya Tawassul
Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
1. Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam (Sesepuh
Islam) Ibnu Taimiyah dalam bukunya Qa’idah
Jalilah fit-Tawassul wal Wasilah mencoba memberi tafsiran
terhadap ayat 35 QS Al-Maidah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ …
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa
kepada Allah swt dan carilah wasilah …”
Kata وَ ابْـتَـغُـوا الـوَسِيْلَةَ (Dan carilah wasilah) hanya menunjuk pada orang yang bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan taat mengikuti sunnahnya. Tawassul dengan perantaraan iman dan ketaatan kepada beliau ini merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam berbagai siatuasi kondisi apapun, baik secara lahir maupun bathin, baik sewaktu beliau saw hidup maupun sesudah wafatnya, baik secara langsung di hadapannya maupun tidak. Kewajiban ini tidak dapat digugurkan oleh siapapun setelah tegaknya hujjah dan kokohnya dalil. Tidak ada cara dan jalan meraih kemuliaan dan rahmat dari Allah swt melainkan dengan cara bertawassul melalui perantaraan iman dan taat kepada Rasulullah saw. Beliau saw adalah pemberi syafaat kepada seluruh umat manusia dan pemiliki Maqam Mahmudah (kedudukan yang terpuji) yang diingin oleh setiap orang sejak dahulu sampai jaman akhir. Di sisi Allah swt, beliau saw adalah orang yang teragung kekuasaannya dalam membagi-bagikan syafaat dan paling tinggi derajatnya.
Allah swt berfirman tentang keagungan
kedudukan Nabi Musa as :
وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
“Dan adalah dia (Nabi Musa) seorang yang mempunyai kedudukan
yang terhormat di sisi Allah” (QS.
Al-Ahzab,[33] : 69).
Allah swt
berfirman tentang kedudukan Nabi Isa as :
… وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ
الْمُقَرَّبِينَ
“ … (Nabi Isa) seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan
termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah swt) …” (QS Ali Imran,[3] :
45)
Namun pada ayat-ayat yang lain dijelaskan bahwa Nabi
Muhammad saw merupakan orang yang paling agung kedudukannya bila dibanding
dengan para Nabi dan Rasul lainnya. Syafaat dan doa beliau saw
hanya dapat diambil manfaatnya oleh orang-orang yang telah mendapatkan syafaat
dan doanya. Orang yang ingin mendapatkan
syafaat dan doa beliau, ia harus bertawassul kepada Allah swt melalui
perantaraan syafaat dan doa beliau saw. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan
oleh para sahabat jaman dahulu. Dan umat manusia pada hari kiamat nanti, juga
akan melakukan model tawassul seperti ini.
Didalam buku Al-Fatawa al-Kubra, syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah pernah ditanya orang: “Boleh atau tidak, bertawassul dengan
perantaraan Nabi Muhammad saw?”. Kemudian di jawabnya, “Alhamdulillah.
Adapun bertawassul dengan perantaraan keimanan dan ketaatan kepada beliau saw,
dengan syafaat dan doa beliau, dan semisalnya
seperti bertawassul dengan perbuatan beliau dan perbuatan hamba Allah
(umat manusia) itu sendiri yang memang diperintahkan pada hak diri beliau,
semuanya itu merupakan bentuk tawassul yang disyariatkan dengan kesepakatan
kaum muslimin”. (Al-Fatawa al-Kubra, juz 1; hal. 140)
Menurut kami,
ada dua kesimpulan yang dapat dirumuskan dari pandangan Ibnu Taimiyah di atas :
Pertama. Orang Islam yang mentaati dan mencintai Rasulullah
saw, serta mengikuti sunnahnya dan membenarkan syafaatnya, ia disyariatkan atau
diperintahkan untuk bertawassul dengan perantaraan ketaatannya, kecintaannya
dan pembenarannya terhadap syafaat beliau tersebut.
Jika kita bertawassul dengan Rasulullah saw, maka Allah
swt akan menjadi saksi bahwa kita sebenarnya hanyalah bertawassul dengan
perantaraan keimanan dan mahabbah (kecintaan) kepada beliau saw, serta
dengan perantaraan keutamaan dan kemuliaan beliau saw. Inilah sebenarnya tujuan
pokok bertawassul. Anda jangan
membayangkan bahwa orang yang bertawassul melalui beliau saw tersebut tidak
didasari oleh pengertian dan pemahaman seperti di atas. Hanya saja dalam
prakteknya, orang yang bertawassul itu ada kalanya ia mampu mengungkapkan
tujuan pokok tersebut secara jelas, yakni bertawassul dengan perantaraan
keimanan dan mahabbah atau kecintaannya kepada Rasulullah saw , dan ada
kalanya ia tidak mampu menjelaskannya.
Kedua. Orang yang mendapatkan doa dari Rasulullah saw, sah-sah
saja ia bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan doa beliau tersebut.
Dijelaskan didalam beberapa hadis bahwa Rasulullah saw telah mendoakan kebaikan
untuk ummatnya. Di antaranya adalah hadis riwayat ‘Aisyah ra, bahwa ia pernah
berkata: “Setelah aku tahu bahwa Rasulullah saw adalah orang yang baik
hatinya, lalu aku bilang kepada beliau: “Ya Rasulullah saw ! Doakanlah aku !”
Beliau saw terus berdoa, “Ya Allah ! Ampunilah dosa-dosa ‘Aisyah, baik yang
telah berlalu maupun yang akan datang, baik yang ia sembunyikan maupun yang ia
nyatakan”.
Mendengar doa beliau saw tersebut, ‘Aisyah tertawa terpingkal-pingkal,
sampai kepalanya menempel ke pangkuannya. Beliau saw bersabda kepadanya,
“Apakah doaku tadi membuatmu begitu gembira!”. Ia berkata, “Bagaimana
aku tidak gembira dengan doamu itu ?”. Beliau
bersabda lagi, “Doa seperti itulah yang aku panjatkan untuk ummatku setiap
selesai shalat”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh oleh al-Bazzar. Para
perawinya adalah para perawi hadis-hadis shahih. Selain itu, Ahmad bin Manshur
ar-Ramady adalah seorang yang tsiqah. Demikianlah informasi didalam
kitab Majma’ al-Zawaid.
Oleh karenanya, sepantasnyalah jika setiap
muslim bertaassul kepada Allah swt dengan perantaraan doa Rasulullah saw
tersebut, seperti dengan mengucapkan doa berikut ini :
أَللَّهُمَّ إِنَّ نَبِيِّكَ مُحَمَّدًا
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَدْ دَعَا لِاُمَّتِهِ, وَ أَنَا مِنْ أَفْرَادِ
هَذِهِ الْاُمَّةِ, فَأَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِهَذَا الدُّعَاءِ أَنْ تَغْفِرَ لِي
وَ اَنْ تَرْحَمَنِي
“Ya Allah, Sesungguhnya Nabi-Muhammad saw telah berdoa untuk
ummatnya, sementara itu aku adalah salah seorang di antara ummat ini, maka aku
bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan doa Nabi-Mu itu, kiranya Engkau
mengampuni dosa-dosaku dan memberiku rahmat …”.
Dan seterusnya sesuai dengan permintaan yang
dikehendaki.
Doa tawassul
dengan teks seperti di atas tidak keluar dari kesepakatan para ulama. Dan boleh
saja seseorang menyingkat doa tawassulnya misalnya dengan menggunakan teks
berikut :
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, …
“Ya Allah, aku bertawassul dengan perantaraan Nabi-Mu
Muhammad saw …”
Hal ini berarti ia tidak mengungkapkan secara rinci apa yang menjadi isi hatinya dan tidak menjelaskan apa yang terikat didalam hatinya, dimana hal ini merupakan tujuan dari setiap muslim. Apa yang dikehendakinya itu tentu saja tidak keluar dari batas ini. Karena bertawassul dengan Nabi Muhammad saw tersebut tidak semata-mata tertuju pada diri pribadi beliau, melainkan mengandung sesuatu pengertian yang berkaitan dengan diri pribadi beliau, baik sesuatu itu berupa rasa mahabbah (kecintaan), kedekatan beliau kepada Allah swt, statusnya, keutamaannya, doanya maupun syafaatnya. Terutama bahwa keberadaan beliau saw di alam barzah senantiasa mendengar bacaan shalawat-salam dan menanggapi dengan bacaan shalawat-salam yang sama kepada orang yang membacanya, sebagaimana yang dijelaskan didalam sebuah hadis beliau :
“Hidupku adalah baik bagimu dan matiku pun baik
bagimu. Kamu berbicara dengan ruhku dan ruhku pun menanggapi
pembicaraanmu itu. Semua amal perbuatanmu diperlihatkan Allah swt kepadaku.
Jika amalmu aku lihat baik, maka aku panjatkan puji syukur kepada Allah swt dan
jika amalmu aku lihat jelek, maka aku memohonkan ampunan kepada-Nya untukmu”. (HR
al-Hafizh Ismail al-Qadhy didalam salah satu bagian tulisannya mengenai Bershalawat
kepada Nabi.)
Al-Haitsamy juga meriwayatkan hadis tersebut didalam
kitab Majma’ al-Zawaid dan menilainya sebagai hadis shahih dengan
komentarnya: “Hadis ini diriwayatkan oleh imam al-Bazzar. Para perawinya
adalah perawi hadis shahih”.
Jelas
sudah bagi kita bahwa Rasulullah saw di alam barzah senantiasa beristighfar mendoakan
ampunan untuk umatnya. Istighfar merupakan
suatu doa dan umat Muhammad dapat mengambil manfaat dari doa istighfar beliau
tersebut.
Didalam hadis yang lain dikatakan bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Tiada seorang pun yang menyampaikan salam kepadaku melainkan
Allah swt mengembalikan ruhku kedalam jasadku, sehingga aku dapat membalas
salamnya itu”. (HR Abu Dawud, dari Abu Hurairah ra. Imam An-Nawawy berkomentar bahwa sanadnya shahih.)
Hadis tersebut juga sudah jelas bahwa Rasulullah saw
membalas ucapan salam kepada setiap muslim yang mengucapkan salam keada
beliau yang telah wafat itu. Ucapan Salam berarti berdoa memohon
keamanan atau keselamatan, dan orang yang mengucapkannya dapat mengambil
manfaat darinya.
2. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal
Sesepuh Islam Ibnu Taimiyah didalam beberapa bagian dari
buku-bukunya menetapan bolehnya bertawassul dengan Nabi Muhammad saw, tanpa
pembedaan dan rincian, baik sewaktu beliau masih hidup maupun sesudah wafatnya,
baik sewaktu hadir maupun tidak hadirnya. Ia juga menukil pendapat Imam Ahmad
bin Hambal dan al-“Izzuddin bin Abdussalam tentang diperbolehkannya hal
tersebut didalam kitabnya, Al-Fatawa al-Kubra.
Ibnu Taimiyah
menuturkan: “Demikian juga di antara yang disyariatkan dalam bertawassul dengan
Rasulullah saw adalah dalam bentuk doa, seperti yang pernah dijelaskan dalam
sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh At-Turmudzy, bahwa Rasulullah saw
pernah mengajari seorang sahabat berdoa
أَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّي, فَيُجْلِيَ حَاجَتيِ لِيَقْضِيْهَا فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu
dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi pembawa rahmat. Hai Muhammad !
Aku bertawajjuh dengan perantaraanmu kepada Tuhanku, kiranya Dia mengabulkan
apa yang menjadi hajatku. Karena itu, Ya Allah, izinkanlah beliau memberiku
syafaat”.
Tawassul seperti ini sangat baik untuk dilakukan. (Al-Fatawa
al-Kubra, juz 3; hal. 276).
Ibnu Taimiyah mengatakan lagi, “Bertawassul dengan
perantaraan selain Rasulullah saw, baik itu dalam bentuk istighatsah (memohon
pertolongan) maupun bukan, kami tidak mengetahui seorang pun dari generasi
salaf, apakah ia melakukannya atau tidak, dan juga belum pernah diriwayatkan atsar-nya.
Yang kami ketahui adalah bahwa seorang syaikh pernah memfatwakan
terlarangnya bertawassul seperti itu. Mengenai bertawassul dengan Rasulullah
saw, memang ada hadisnya sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab-kitab As-Sunan,
yang diriwayatkan oleh imam An-Nasaiy, at-Turmudzy dan imam lainnya.
Diceritakan bahwa seorang a’rabi (orang dusun, badui) pernah mendatangi
Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah ! Mataku tertimpa penyakit
buta. Berdoalah kepada Allah swt untukku”. Beliau lalu bersabda kepadanya,
“Berwudhulah dan shalatlah sunnah dua rekaat. Kemudian bacalah doa :
أللهمّ أسألك و أتوجّه إِلَيْكَ
بِـنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ. يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّي أَتَشَفَّعُ بِكَ فِـْي رَدِّ بَصَرِيْ.
أَللَّهُمَّ شَفِّعْ نَبِـيِّكَ فِـيَّ.
"Ya Allah ! Aku memohon kepada-Mu dan bertawajjuh
kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw. Wahai Muhammad, Sesungguhnya
aku memohon syafaat dengan perantaraanmu untuk kesembuhan mataku. Ya Allah,
izinkanlah Nabi-Mu untuk memberi syafaat padaku”.
Beliau saw menambahkan, “Jika kamu memiliki hajat keperluan, berdoalah seperti
itu” Tidak lama kemudian, Allah swt menyembuhkan
matanya. Atas dasar hadis inilah, mmaka Syaikh tersebut
hanya mau menerima tawassul dengan perantaraan Rasulullah saw. (Al-Fatawa, juz
1; hal. 105)
Ibnu Taimiyah juga mengatakan pada kesempatan yang lain,
“Oleh karena itu, imam Ahmad bin Hambal berkata didalam sebuah tulisannya
yang dikirimkannya kepada sahabatnya, imam Al-Marwazy, bahwa dirinya
bertawassul dengan perantaraan Rasulullah saw didalam doanya. Hanya saja selain
imam Ahmad mengatakan, bahwa tawassul itu pada dasarnya adalah bersumpah kepada
Allah swt dengan nama Rasulullah saw. Sementara yang namanya bersumpah itu
tidak boleh dengan nama seorang makhluk, namun imam Ahmad didalam salah satu
riwayat benar-benar memperbolehkan bersumpah dengan beliau. Oleh karena itulah,
dia memperbolehkan juga bertawassul
dengannya”. (Al-Fatawa, juz 1; hal. 140).
3. Pandangan Imam Asy-Syaukany
Seorang imam ahli hadis, syaikh Muhammad bin Ali asy-Syaukany, didalam Risalah-nya
yang berjudul “Ad-Durrun Nadhid fi Ikhlashi Kalimatit-Tauhid” mengatakan,
“Adapun bertawassul kepada Allah swt dengan perantaraan seorang
makhluk-Nya untuk tercapainya sesuatu yang ia inginkan, menurut pendapat imam
‘Izzuddin bin Abdussalam, adalah tidak diperbolehkan, kecuali dengan
perantaraan Rasulullah saw. Dan ini pun kalau hadis tentang tawassul tersebut
shahih”
Nampaknya ia mengisyaratkan pada suatu hadis yang
diriwayatkan oleh An-Nasaiy didalam Sunan-nya, At-Turmudzi, Ibnu Majah
dan imam yang lain. Hadis tersebut menjelaskan, bahwa seorang lelaki yang tuna
netra pernah mendatangi Rasulullah saw seraya mengeluhkan kebutaan matanya.
Dan seterusnya. (Lihat hadis dari Usman bin
Hunaif)
Menurut imam
Asy-Syauknay, ada dua pendapat mengenai pemahaman hadis tawassul tersebut:
Pertama. Tawassul adalah seperti apa yang dilakukan oleh Umar bin
Khatthab ra dengan doanya :
… نَتَوَسَّلُ بِـنَبِيِّنَا
إِلَيْكَ, فَـتُسْقِيْنَا …
“ … Kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu.
Karena itu, trunkanlah hujan kepada kami …"
atau dengan doanya yang lain :
… إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِعَمِّ نَبِيِّنَا …
“Sesungguhnya kami
bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami …”
Hadis mengenai cara tawassulnya Umar bin Khatthab
tersebut disebutkan didalam kitab Shahih al-Bukhary dan kitab hadis
lainnya. Umar menjelaskan bahwa para sahabat bertawassul dengan Rasulullah saw
semasa hidupnya, dan setelah wafatnya mereka bertawassul dengan pamannya, yakni
Abbas bin Abdul Muthalib. Umar melakukan tawassul bersama-sama dengan mereka
itu adalah dalam rangka memohon turunnya hujan. Kedudukan Rasulullah saw
didalam persoalan ini adalah sebagai Asy-Syafi’, pemberi syafaat atau
pertolongan.
Kedua. Tawassul dengan perantaraan Rasulullah saw dapat
dilakukan baik semasa hidupnya maupun setelah wafatnya, baik di saat beliau
hadir maupun di saat tidak hadirnya. Anda tidak perlu ragu, boleh bertawassul
dengan Rasulullah saw di masa hidupnya dan boleh dengan orang lain setelah
beliau wafat, berdasarkan ijma’ sukuty para sahabat. Dalam
pengertian bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang mengingkari perbuatan
tawassulnya Umar bin Khatthab dengan perantaraan paman Rasulullah saw, yakni
Abbas bin Abdulmuthalib.
Menurut pandangan saya (penulis), tidak
ada cara dan sudut pandang untuk mengkhususkan kebolehan bertawassul hanya
dengan perantaraan Rasulullah saw sebagaimana pendapat ‘Izzuddin, karena dua
alasan :
1). Berdasarkan
ijmak sukuty-nya para sahabat seperti yang kami jelaskan kepada anda.
2). Bertawassul
kepada Allah swt dengan perantaraan orang yang ahli ilmu dan orang yang ahli
keutamaan pada hakekatnya adalah bertawassul dengan perantaraan amal shaleh
mereka dan dengan berbagai keutamaan yang mereka miliki, karena tidak ada orang
yang memiliki keutamaan kecuali dengan amal-amal shalehnya. Jika ada orang yang
berdoa dengan cara tawassul : “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan
perantaraan si Fulan yang ‘alim (berilmu) …”, maka pada hakekatnya ia telah
bertawassul melalui ilmu yang melekat pada diri si Fulan yang ‘alim
tersebut.
Dijelaskan didalam kitab Ash-Shahihain dan
kitab-kitan hadis lainnya, bahwa Rasulullah saw pernah berkisah tentang tiga
orang yang terperangkap didalam sebuah gua. Masing-masing di antara berdoa
tawassul kepada Allah swt melalui perantaraan amal shalehnya yang terbaik.
Kemudian Allah swt mengabulkan doa mereka, sehingga mereka selamat dan dapat
keluar dari dalam gua tersebut.
Sekiranya
bertawassul dengan perantaraan amal-amal shaleh dan utama tersebut tidak
diperbolehkan, atau dapat menyebabkan kesyirikan sebagaimana yang dituduhkan
oleh orang-orang yang keras kepala seperti syaikh ‘Izzuddin bin Abdussalam
beserta para pengikut dan simpatisannya, tentulah doa tawassulnya ketiga orang
yang dijelaskan dalam hadis di atas tidak akan dikabulkan Allah swt. Dan lagi,
Rasulullah saw tentu saja tidak akan tinggal diam untuk mengingkari perbuatan
mereka bertiga tersebut, setelah beliau selesai menceritakannya.
Atas dasar uraian
di atas, sekarang anda akan tahu, bahwa dalil-dalil yang berupa nash Al-Qur’an
yang mereka jadikan sebagai sarana untuk menolak kebolehan bertawassul,
sebagaimana yang akan disebutkan nanti, adalah benar-benar tidak proporsional
dan juga tidak warid, artinya bertentangan dengan latar belakang atau asbabun
nuzul ayat tersebut. Argumentasi mereka tersebut masih dalam tingkat Istidlal,
atau masih dalam bentuk konklusi dan kesimpulan yang masih perlu
diperdebatkan kebenarannya dalam kaitannya dengan istidlal dan konklusi
yang lain.
Di antara
nash-nash Al-Qur’an yang mereka jadikan sarana untuk menolak kebolehan
bertawassul sebagai berikut :
1). QS Az-Zumar,[39] : 3
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“…kami tidak menyembah mereka (berhala) itu
melainkan agar mereka mendekatkan diri kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”
2). QS Al-Jinn [72] : 18
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“ … Maka janganlah kalian berdoa (menyembah)
kepada seorang pun di samping (berdoa, menyembah) Allah”
3). QS Ar-Ra’d [13] : 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ
وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“ …Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa
yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain daripada Allah itu
tidak dapat mengabulkan sesuatu pun bagi mereka …”
Ketiga nash tersebut tidak tepat dijadikan sebagai dalil menentang tawassul dengan Nabi dan kaum shalihin, karena tidak sesuai dengan pokok persoalannya. Ayat 3 QS az-Zumar[39] : “kami tidak menyembah mereka (berhala) itu melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” menjelaskan bahwa orang kafir quraisy mengaku menyembah berhala itu sekedar sebagai perantaraan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan orang yang bertawassul dengan orang yang ‘alim, misalnya, pada kenyataannya tidak menyembah orang yang ‘alim tersebut. Bahkan ia tahu bahwa orang yang ‘alim tersebut memiliki keistimewaan di sisi Allah swt, yaitu mengemban ilmu, maka ia bertawassul dengan orang alim tersebut.
Ayat 18 QS Al-Jinn[72] : “Maka janganlah kalian
berdoa (menyembah) kepada seorang pun di samping (berdoa, menyembah) Allah”, menjelaskan
larangan bersumpah atau berdoa kepada sesuatu selain Allah swt bersama-bersama
dengan-Nya. Misalnya ia berkata, “Demi Allah dan demi si fulan”.
Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang yang ‘alim misalnya, pada
kenyataannya ia tidak berdoa melainkan kepada Allah swt semata. Tawassul yang
ia lakukan pada hakekatnya hanyalah dengan perantaraan amal shaleh yang
dilakukan oleh sebagian hamba-hamba Allah swt, sama seperti praktek tawassul
yang dilakukan oleh ketiga orang yang terkurung didalam gua dengan perantaraan
amal shalehnya masing-masing
Demikian pula ayat 14 QS Ar-Ra’d[13] : “Hanya bagi
Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka
sembah selain daripada Allah itu tidak dapat mengabulkan sesuatu pun bagi
mereka …”, menjelaskan bahwa kaum kafir quraisy berdoa kepada
berhala-berhala yang sebenarnya tidak mampu mengabulkan doanya dan mereka tidak
berdoa kepada Allah swt yang sebenarnya mampu mengabulkannya. Sementara itu,
orang yang bertawassul dengan orang yang ‘alim misalnya, ia tidak dapat disamakan begitu saja dengan
prilaku kaum kafir quraisy yang berdoa kepada sesuatu selain Allah swt
tersebut. Ia sama sekali tidak berdoa kepada sesuatu selain Allah swt dan tidak
berdoa kepada selain Allah swt bersama-sama dengan-Nya.
Setelah anda
mengetahui cara penyimpulan mereka yang demikian itu itu, maka anda tidak perlu
ragu-ragu untuk menolak dan menyanggah pemahaman mereka tersebut, disebabkan
mereka menyalahi maksud nash Al-Qur’an dan sangat menyimpang dari konteksnya,
serta masih perlu diperdebatkan keabsahannya, sebagaimana penjelasan kami di
muka.
Demikian pula
konklusi mereka terhadap ayat 17-19 QA Al-Infithar,[82] :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ
الدِّينِ(17)ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا
يَوْمُ الدِّينِ(18)يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا
وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ(19)
“Tahukah kamu, apakah hari pembalsan itu? Sekali lagi tahukah
kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya
sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam
kekuasaan Allah”.
Sebenarnya ayat
di atas tiada lain merupakan isyarat bahwa Allah swt sendirilah yang berkuasa
atas semua urusan di hari kiamat. Sementara orang atau sesuatu selain Allah swt
tidak kuasa sama sekali untuk mengendalikan urusan di hari itu. Adapun orang
yang bertawassul dengan para Nabi atau salah seorang yang alim dari kalangan
ulama tidak tidak memiliki satu keyakinan bahwa orang yang dijadikan sarana
atau perantara didalam tawassulnya tersebut telah bersekutu dengan Allah swt
dalam mengendalikan semua urusan di hari kiamat. Jika ada yang berkeyakinan
seperti itu, maka sesatlah ia.
Ada lagi orang yang menolak dan melarang
tawassul dengan berhujjah pada ayat 128 surat Ali Imran[3] dan ayat 49 surat
Yunus[10] :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
“Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu” (QS Ali Imran[3]:128)
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ
اللَّهُ
“Katakan (Hai Muhammad): Aku tidak berkuasa mendatangkan
kemudaharatan dan tidak (pula) kemanfaatkan kepada diriku sendiri, melainkan
apa yang dikehendaki Allas” (QS Yunus, [10] : 49)
Kedua ayat diatas secara tegas menyatakan bahwa tidak sedikit pun campur tangan Rasulullah saw dalam urusan Allah swt. Beliau tidak kuasa mendatangkan kemadharatan dan kemanfaatan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain.
Kedua ayat di atas tidak terikat dengan larangan dan
terhalangnya bertawassul dengan
perantaraan Rasulullah saw atau lainnya, seperti para Nabi, auliya’, ulama,
maupun kaum shalihin lainnya. Allah swt benar-benar telah menempatkan beliau
pada kedudukan yang terpuji, yakni berkedudukan sebagai pemberi syafaat yang
agung dan Allah swt memerintahkan kepada seluruh umat manusia agar memohon
syafaat kepada beliau. Allah swt berfirman kepada beliau saw di hari kiamat
nanti, “Mintalah, kamu akan diberi, dan memohonlah syafaat, maka kamu akan
diberi syafaat”. Didalam Al-Qur’an
dijelaskan bahwa tiada yang mampu memberikan syafaat kecuali atas izin Allah
swt dan tiada syafaat kecuali bagi orang
yang mendapatkan keridhaan Allah swt.
Demikian pula tidak benar melarang bertawassul
dengan berdalil kepada hadis Nabi saw yang disabdakannya sewaktu turun ayat 214
surat asy-Syu’ara’,[26] :
وَأَنْذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ(214)
“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”
Rasulullah saw bersabda, “Hai fulan bin fulan ! Aku tidak kuasa sedikit pun untuk (membantu) kamu dalam urusan Allah swt. Hai fulanah binti fulanah ! Aku tidak kuasa sedikit pun untuk (membantu) kamu dalam urusan Allah swt”
Sabda beliau
saw di atas harus diartikan bahwa beliau tidak mampu menolong atau mendatangkan
kemanfaatan kepada orang yang oleh Allah swt dikehendaki tertimpa madharat, dan
tidak mampu memadharatkan orang yang oleh Allah swt dikehendaki mendapatkan
kemanfaatan. Demikian pula beliau tidak mampu sedikit pun memberikan kebaikan
atau keutamaan kepada kerabat dekatnya, apalagi kepada orang lain, selain Allah
swt sendiri yang mampu.
Pemahaman
seperti itu sudah diketahui oleh setiap orang islam dan didalamnya tidak ada
larangan untuk bertawassul kepada Allah swt melalui perantaraan Rasulullah saw.
Karena bertawassul itu pada dasarnya adalah mencari atau meminta sesuatu kepada
Dzat yang memiliki perintah dan larangan, yakni Allah swt.
4. Pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab pernah ditanya seseorang tentang suatu pendapat yang
memperbolehkan bertawassul dengan kaum shalihin dalam rangkan memohon turunnya
hujan dan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang memperbolehkan bertawassul
hanya melalui perantaraan Rasulullah saw, dalam kaitannya dengan pendapat
mereka bahwa tidak dibenarkan memohon prtolongan kepada makhluk.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjawab, “Perbedaannya
sangat jelas sekali. Dan sebenarnya pembicaraan ini bukan di sini tempatnya. Sebagian ulama
ada yang memperbolehkan bertawassul dengan kaum shalihin. Sebagian mereka ada
yang memperbolehkan bertawassul hanya khusus dengan Rasulullah saw . Dan
sebagian besar mereka melarang bertawassul yang demikian itu dan memakruhkannya.
Persoalan tawassul semacam ini merupakan sebagian dari persoalan fiqih (bukan
persoalan akidah dan lainnya). Meskipun yang benar menurut kita adalah
pendapatnya Jumhurul ulama (mayoritas ulama), bahwa tawassul adalah
makruh hukumnya. Karena itu, kita tidak boleh mengingkari orang yang
mempraktekkannya, dan tidak ada pengingkaran atau penolakan dalam persoalan
ijtihad. Akan tetapi yang kita ingkari adalah orang yang lebih banyak memohon
kepada makhluk daripada kepada Allah swt dan orang yang sengaja mendatangi
kuburan sambil meronta-ronta di samping kuburan syaikh Abdul Qadir al-Jilany
misalnya dan kuburan kaum shalin lainnya, disertai tujuan agar segera hilang
kesusahan dan kesempitan hidupnya. Mana mungkin praktek semacam ini dapat
dikatakan sebagai berdoa secara ikhlas dan murni ditujukan kepada Allah swt?
Akan tetapi seharusnya didalam doanya itu ada kata-kata : Aku memohon
kepada-Mu, Ya Allah, dengan perantaraan Nabi-Mu …, atau …dengan perantaraan para Nabi …, atau …dengan perantaraan para hamba-Mu yang
shaleh…. Atau sewaktu ia bermaksud mendatangi suatu kuburan yang dikenal
atau tempat lainnya itu, ia boleh berdoa di sampingnya, tetapi tidak boleh
berdoa memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah swt secara murni…”
Demikianlah fatwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang
dinukil dari buku Majmu’atul Mu-allafat (Kumpulan Karangan),
Bagian ketiga, halaman 68, yang diterbitkan dan disebarluaskan oleh
Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, Saudi Arabia.
Fatwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut secara
garis besar menjelaskan tentang bolehnya bertawassul. Hanya saja menurutnya,
tawassul itu dimakruhkan oleh jumhurul ulama. Makruh tidak sama dengan Haram,
apalagi sampai diartikan atau disamakan dengan bid’ah atau syirik. (Na’udzu billahi min dzalik – pent.)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab didalam sebuah Risalah-nya
yang lain, yang ditujukan kepada orang-orang yang lemah pikirannya dan suka
menyalah-nyalah secara berlebihan, menuliskan suatu bantahan terhadap mereka
yang secara sengaja mengatasnamakan dirinya untuk mengkafirkan orang yang
bertawassul dengan kaum shalihin:
Kata beliau, “Sulaiman bin Sahim menuduhkan kepadaku
sesuatu perkara yang aku tidak pernah mengatakannya, dan sebagian besar perkara
yang direkayasanya tersebut belum pernah terbayangkan dalam benakku, di
antaranya adalah bahwa aku (dituduh) mengkafirkan orang yang bertawassul dengan
kaum shalihin; aku dibilangnya telah mengkafirkan syaikh Al-Bushiri disebabkan
ucapannya “Wahai makhluk yang termulia” ; bahwa aku dituduh telah
membakar kitab Dalailul Khairat. Tanggapanku terhadap semua persoalan
tersebut, Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim, Maha Suci Engkau, Ya Allah, Ini adalah kebohongan yang
besar.
Sanggahan dan bantahan beliau tersebut diperkuat lagi
dengan Risalah lain yang ditulisnya untuk dikirim kepada anggota suatu
organisasi : “Jika Anda ingin klarifikasi atau membutuhkan Tabayyun dariku,
maka perlu aku tegaskan di sini, bahwa di antara persoalan keji, jahat dan
jelas-jelas suatu kebohongan adalah tuduhan mereka kepadaku, bahwa aku
dikatakan telah mengkafirkan orang yang bertawassul dengan kaum shalihin; aku
dibilangnya telah mengkafirkan Al-Bushiry …(dan seterusnya, sampai akhir
pembicaraannya). Tanggapanku atas tuduhan tersebut adalah “Sub-hanaka hadza buhtanun ‘azhim, Maha
Suci Engkau, Ya Allah. Ini benar-benar suatu kebohongan yang besar. (Lihat Risalah
yang pertama dan yang kesebelas dari buku Kumpulan Surat-surat
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bagian kelima, mulai halaman 12 sampai 64)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar