Akar Nasionalisme dari Pesantren
=================
Semarang, NU Online
Nasionalisme atau jiwa kebangsaan Indonesia, bukanlah kesadaran yang datang belakangan. Jiwa mencintai tanah air ini sudah mengakar jauh sebelum ada Indonesia. Dan akar itu ada di pesantren, di kalangan para ulama Nusantara.
Demikian disampaikan Katib Syuriyah PBNU KH Yahya Staquf salam sambutan pembukaan Konferensi Wilayah NU Jateng ke-14 di komplek sekolah Semesta Gunungpati, Semarang, Ahad (23/6).
Para kiai, sambung KH Yahya, sejak masa penjajahan sudah menyadari, mencintai dan membela tanah air adalah sebagian dari iman. Karena itu, nasionalisme adalah pengamalan syariat Islam. Jadi, semakin orang beriman, semakin cinta pada tanah airnya, dan semakin cinta pada bangsanya. Hal itu pula yang dijiwai oleh Hadlrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ari ketika mendirikan NU di tahun 1926 masehi.
Kiai muda yang biasa dipanggil Gus Yahya ini mengungkapkan, para ulama Aceh pada tahun 1886, dalam dokumen yang ditemukan oleh peneliti NU Jadul Maula pernah berfatwa, jika suatu masa ada kerajaan berdiri setelah merdeka dari jajahan Belanda, umat Islam di Aceh wajib menaati kerajaan tersebut.
“Fatwa Ulama Aceh itu terbukti dengan pengakuan rakyat Aceh terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Bung Karno, dan Aceh menjadi penyumbang sangat besar bagi berdirinya republik ini,” tuturnya.
NU, kata dia, ikut mendirikan republik ini. KH Abdul Wahid Hasyim yang menjadi anggota tim 9 (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia-PPKI), ikut menyusun piagam Jakarta dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945. Jadi NU sejak dulu dan sampai kapanpun akan menjadi penjaga NKRI.
Puncaknya, lanjut dia, pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Rais Am Syuriyah waktu itu, KH Ahmad Siddiq menegaskan, NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam menjalankan syariat agama.
“Semua sikap NU dalam mendirikan dan mengawal republik ini, itu berdasar syariat. Ketika pada Oktober 1945 Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad untuk membela tanah air, itu juga demi menjalankan syariat,” tuturnya.
Ia tegaskan, sikap NU yang seperti itu harus dikabarkan. Agar orang-orang tahu bahwa Islam itu bukan yang memusuhi NKRI, menuding Pancasila sebagai thoghut dan menganggap Indonesia negara kafir. Agar khalayak mengerti bahwa yang bersikap seperti itu tidak mewakili umat Islam.
Pembukaan Konferwil dihadiri sejumlah tokoh nasional, sesepuh NU pejabat pemerintah, politisi, pengamat dari luar negeri maupun tokoh ormas lain. Diantaranya mantan gubernur Jateng Ali Mufiz, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, mantan Wakil Gubernur H Ahmad, Dubes RI untuk Aljazair Ahmad Niam Salim.
Nasionalisme atau jiwa kebangsaan Indonesia, bukanlah kesadaran yang datang belakangan. Jiwa mencintai tanah air ini sudah mengakar jauh sebelum ada Indonesia. Dan akar itu ada di pesantren, di kalangan para ulama Nusantara.
Demikian disampaikan Katib Syuriyah PBNU KH Yahya Staquf salam sambutan pembukaan Konferensi Wilayah NU Jateng ke-14 di komplek sekolah Semesta Gunungpati, Semarang, Ahad (23/6).
Para kiai, sambung KH Yahya, sejak masa penjajahan sudah menyadari, mencintai dan membela tanah air adalah sebagian dari iman. Karena itu, nasionalisme adalah pengamalan syariat Islam. Jadi, semakin orang beriman, semakin cinta pada tanah airnya, dan semakin cinta pada bangsanya. Hal itu pula yang dijiwai oleh Hadlrotus Syaikh KH Hasyim Asy’ari ketika mendirikan NU di tahun 1926 masehi.
Kiai muda yang biasa dipanggil Gus Yahya ini mengungkapkan, para ulama Aceh pada tahun 1886, dalam dokumen yang ditemukan oleh peneliti NU Jadul Maula pernah berfatwa, jika suatu masa ada kerajaan berdiri setelah merdeka dari jajahan Belanda, umat Islam di Aceh wajib menaati kerajaan tersebut.
“Fatwa Ulama Aceh itu terbukti dengan pengakuan rakyat Aceh terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Bung Karno, dan Aceh menjadi penyumbang sangat besar bagi berdirinya republik ini,” tuturnya.
NU, kata dia, ikut mendirikan republik ini. KH Abdul Wahid Hasyim yang menjadi anggota tim 9 (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia-PPKI), ikut menyusun piagam Jakarta dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945. Jadi NU sejak dulu dan sampai kapanpun akan menjadi penjaga NKRI.
Puncaknya, lanjut dia, pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Rais Am Syuriyah waktu itu, KH Ahmad Siddiq menegaskan, NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam menjalankan syariat agama.
“Semua sikap NU dalam mendirikan dan mengawal republik ini, itu berdasar syariat. Ketika pada Oktober 1945 Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad untuk membela tanah air, itu juga demi menjalankan syariat,” tuturnya.
Ia tegaskan, sikap NU yang seperti itu harus dikabarkan. Agar orang-orang tahu bahwa Islam itu bukan yang memusuhi NKRI, menuding Pancasila sebagai thoghut dan menganggap Indonesia negara kafir. Agar khalayak mengerti bahwa yang bersikap seperti itu tidak mewakili umat Islam.
Pembukaan Konferwil dihadiri sejumlah tokoh nasional, sesepuh NU pejabat pemerintah, politisi, pengamat dari luar negeri maupun tokoh ormas lain. Diantaranya mantan gubernur Jateng Ali Mufiz, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, mantan Wakil Gubernur H Ahmad, Dubes RI untuk Aljazair Ahmad Niam Salim.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,45354-lang,id-c,daerah-t,Akar+Nasionalisme+dari+Pesantren-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar