Merebut Kembali Negara: Menuju Kepemimpinan Kaum Muda
========================
Dalam salah satu artikelnya, On The State Question,
Marx pernah menulis bahwa negara pada akhirnya menjadi “kerumunan ular
buas” yang memangsa pawangnya. Proses ini disebabkan karena dua hal. Pertama, menguatnya kaum borjuasi (saudagar) di posisi pemerintahan.
Para saudagar inilah pemain utama yang menggunakan negara sebagai instrumen untuk mendapatkan keuntungan buat dirinya dan bukan buat masyarakat luas. Kedua, melemahnya kaum proletar (rakyat) dalam memahami fungsi-fungsi “kepemilikan” dan hak ecosoc sehingga dengan mudah digerus oleh kepentingan kapital-neoliberal.
Para saudagar inilah pemain utama yang menggunakan negara sebagai instrumen untuk mendapatkan keuntungan buat dirinya dan bukan buat masyarakat luas. Kedua, melemahnya kaum proletar (rakyat) dalam memahami fungsi-fungsi “kepemilikan” dan hak ecosoc sehingga dengan mudah digerus oleh kepentingan kapital-neoliberal.
Dua argumen inilah titik penting untuk mendiskusikan kembali state responsibility
(tanggungjawab negara) terhadap rakyatnya terkait dengan “makin
banyaknya orang mati kelaparan” di negara kita. Sebagaimana diberitakan
banyak media, warga di kabupaten Yohokimo Papua sebanyak 55 orang mati
kelaparan, 112 sakit parah dan sekitar 55.000 terancam bahaya yang sama
(Kompas, 9/12) adalah bukti bahwa negara telah “gagal” bertanggungjawab
terhadap fungsinya sebagai “panitia sekaligus penjamin kesejahteraan
rakyat.”
Apa pasal sehingga negara gagal menjamin kesejahteraan rakyatnya? Ada dua jawaban yang dapat kita kemukakan. Pertama, gerakan reformasi masih menyisakan tradisi dan bentuk mitos state
pada kita semua. Dalam negara mitos, aparatus negara hidup dengan
cara-cara skriptural, eskatologis, melankolis, dan romantis. Hidup dalam
skripturalisme artinya para aparatus negara kita hanya mengandalkan
“catatan laporan” tanpa sidak ke lapangan. Padahal, catatan laporan para
bawahan seringkali dibuat “asal bapak senang (ABS).” Dus, hidup dalam
fase skripturalisme pada akhirnya menyerahkan akal pada laporan,
menitipkan masa depan pada masa lalu, lebih mempercayai “antek” daripada
intelek, menggantungkan keselamatan pada “benda mati,” dan merasa sempurna dalam perasaan tanpa tahu apakah sesungguhnya yang harus dilakukan agar sampai pada cita dan idealitasnya kemanusiaan.
Tradisi eskatologis artinya, ketika negara mendapat bahaya dan
bencana, para aparatus negara hanya dapat menjelaskan bahwa itu semua
berasal dari Tuhan. Lewat nyanyian, doa dan fatwa, para ulama dan artis
diajak ikut mengkampanyekan “tuhan mulai bosan” bersahabat dengan kita,
tanpa pernah ditemukan siapa penanggung jawab yang harus mengatasi
bahaya dan bencana tersebut.
Sikap melankolis artinya, aparatus negara lebih suka kampanye dan
bicara tanpa banyak bekerja. Seakan-akan dengan mengiklankan diri di
media, seluruh persoalan negara sudah teratasi. Sedang tindakan romantis
artinya, jika ada tuntutan untuk segera menyelesaikan problem-problem
negara, para aparatus negara meminta waktu yang panjang dan tak
berkesudahan sambil melempar tanggungjawab dan mengatakan bahwa
“kesalahan itu” bukan hanya darinya melainkan juga merupakan warisan
rezim masa lalu.
Kedua, gerakan reformasi baru mempraktekkan materialism state.
Karakter dasar dari negara material adalah “meminta rakyat banyak
berkorban” yang diimbangi dengan gaya hidup “high class” para aparatus
negara. Kenaikan gaji legislatif dan eksekutif yang sangat mencolok
disertai “banyaknya orang mati antri dapat BLT” adalah buktinya. Pada
fase negara material ini yang dikembangkan baru gagasan individualisme,
unitarian, simbolik dan profanitas. Yang sakral, kerumunan dan abstrak
memang telah berkurang dan diganti dengan hal-hal baru yang lebih
efisien-subtansial.
Problemnya, fase negara material ini tidak dibarengi dengan pembangunan karakter dan etos kerja. Padahal pembangunan karakter (character building) adalah prasyarat bagi pembangunan negara secara menyeluruh (nation-state building).
Itu artinya, tanpa karakter yang kuat niscaya etos kerja dan martabat
negara tidak akan “hadir” di keseharian kita. Ketika etos kerja melemah
maka sinetron kita diisi dengan cerita setan dan episode “lawakan” serta
uacapan Tuhan yang diulang-ulang, ritual ibadah yang berlebihan. Ketika
kerja tidak dibudayakan maka korupsi menjadi jawaban.
Tentu saja semua problem di atas harus segera diselesaikan, sebab
dengan surplus kekayaan yang sebenarnya melimpah ruah, kita masih
sengsara karena kemiskinan dan penjajahan oleh bangsa sendiri. Baik
miskin spiritual, kapital maupun intelektual. Suatu kemiskinan akibat
bukan hanya nalar dan nasib yang belum matang tetapi juga karena
kejamnya kapitalisme global. Meminjam istilah Marx, bangsa kita sedang
mengalami “appropriation of surplus value” (perampokan surplus nilai oleh para kapitalis-borjuis). Di sinilah ironi kehidupan kita.
Sesungguhnya, manusia adalah hewan pembuat sejarah. Sayangnya, di atas kanvas panjang sejarah politik Indonesia, kita adalah homo-historikum
yang gemar menorehkan sapuan-sapuan gelap, jahat dan liar. Sedemikian
rupa parahnya, sehingga sejarah politik negeri ini terlalu kriminal dan
patologis untuk diajarkan kepada generasi muda. Sejarah bangsa ini
hanya menjadikan rakyatnya budak, murid, pasien, pasar bahkan kelinci
percobaan yang tak kunjung selesai dari para penjajah.
Agar sejarah bangsa ini martabatif dan segera selesai penderitaan
rakyat banyak, negara kita harus direbut kembali dari “kaki-tangan asing
neoliberal.” Negara harus dimerdekakan kembali untuk yang kedua
kalinya. Karena itu, politik prioritas gerakan perebutan kembali negara (reclaiming state) harus mulai mengembangkan kemerdekaan total dan tidak menjadi hemisphere atau sphere of influence
dari politik negara-negara kapitalis. Sebaliknya menjadi penyeimbang
yang kuat dan wibawa. Karena itu, politik baru harus punya cetak biru
dan jejak langkah national building yang berkarakter kuat [strong character building]
dalam pemihakan pada rakyat. Politik baru harus berangkat dari
kesadaran dan usaha untuk menuntaskan hubungan universal-egaliter antara
negara dan antara civil society, pembentukan formasi sosial sipil baru, pengentasan kemiskinan (poverty), perluasan pendidikan rakyat (massif education), kemerdekaan baru, penciptaan teks baru, penghilangan perasaan marginal (pariferal syndrom) yang dialami oleh banyak identitas di Indonesia, penegakan hukum dan jaminan rasa aman siang malam.
Untuk itu masyarakat di negara post-kolonial harus memulai
dialektikanya dengan mendekonstruksi wilayat teritorial, dekonstruksi
personal [anti kultus], dekonstruksi mitos-sejarah dan peniscayaan
masyarakat organik, negara adil-radikal, investasi tinggi di bidang
sosial, agama yang membebaskan, lembaga-lembaga yang sehat, keberpihakan
pada nilai, perdamaian abadi dan penuntasan the Indonesian Dream (cita-cita seluruh rakyat) sebagaimana tercantum dalam UUD-45.
Ketika yang lama sedang sekarat, yang baru belum kuat karena
mandeknya reformasi, maka saatnya kita semua bergandengan tangan untuk
merasionalisasi otoritas secara lebih luas, bahwa hanya dengan bersama
bergotong royong, berdisiplin, berhemat, berkeyakinan, bertekad secara
antusias, cita-cita negara akan segera kesampaian.
Karena itu peningkatan partisipasi politik dan diferensiasi profesi
adalah keniscayaan. Pendidikan adalah ruh dan tulangnya, serta ideologi
kerakyatan adalah darah segarnya. Dengan kesadaran menyeluruh inilah,
masa depan aparatus negara kita akan diisi oleh mereka yang berprestasi,
bukan karena darah dan kolusi. Generasi inilah yang akan merebut negara
untuk memakmurkan rakyatnya, bukan hanya untuk diri sendiri, partai dan
keluarganya.
Kaum Muda Memimpin?
Agar tidak panjang kutukan dan amanat/cita-cita Proklamasi, para Founding Father
dan reformasi tidak dilupakan, diskursus kepemimpinan perlu dikaji
ulang. Yatu sebuah pencarian pemimpin yang bisa menjalankan amanat
reformasi, menjalankan kewarasan dan asketisme serta pembaruan. Dan itu,
bukan dari kaum tua atau elite sekarang. Kaum tua dianggap tak lebih
dan tak bukan “anak kandung dan anak ideologis” orla dan orba yang telah
menyengsarakan rakyat. Mereka gagal membawa kita pada kehidupan
merdeka, di mana rakyat berdaulat. Mereka tak akan sanggup menegakkan
hukum untuk semua. Sebalinya tebang pilih adalah langgamnya.
Di luar itu semua, alasan kepemimpinan kaum muda adalah; Pertama, evaluasi terhadap jalannya reformasi yang disimpulkan “mati muda.” Kedua, munculnya distrust society
yang semakin hari semakin menguat di masyarakat yang ditujukan pada
sejumlah elit. Baik elite dan tokoh partai, agama, pemerintah maupun
akademisi. Ketiga, kesadaran bahwa kaum muda adalah
“penanggungjawab” yang paling sah terhadap reformasi dan bangsa ini.
Ketiga alasan ini kemudian merangkumkan kaum muda untuk membentuk satu bloc historis yang menjalankan beberapa agenda.
Intinya adalah, menyadari bahwa politik sebagai suatu karsa untuk
menegakkan moralitas dan rasionalitas publik yang bertanggungjawab.
Sebab, tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan
salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik,” tulis Arendt, “berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi, persuasi, bahkan radikal-revolusioner yang unviolence.”
Hanya kaum muda yang akan sanggup menjalankan misi tersebut. Hanya
kaum muda yang sungguh-sungguh bekerja pada kemajuan bangsa. Betapa
peristiwa-peristiwa besar bangsa ini dilakukan oleh kaum muda, kata
Pramudya Ananta Toer. Bukan militer, Polri, Kiyai, Profesor, Petani,
Pedagang apalagi avonturir politik. Karena itu, memilih kaum muda untuk
memimpin bangsa ini bukan mimpi di siang bolong. Sebaliknya kewajiban
bersama agar Jakarta pada khususnya, Indonesia pada umumnya tidak
tenggelam oleh amuk kejahatannya sendiri. Yang muda, pembaharu, sipil
dan berdedikasi pada rakyat luas harus maju. Siapa tahu ini saatnya!
*ABDUL GHOPUR>Penulis adalah kader Muda NU; pendiri Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB), menulis Buku "Sumber Daya Alam Indonesia Salah Kelola: Kritik Pengelolaan SDA Rezim Pasca-kolonial", 2012
sumber:http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,45271-lang,id-c,kolom-t,Merebut+Kembali+Negara++Menuju+Kepemimpinan+Kaum+Muda-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar