Menjawab Stereotipe Pesantren Oleh ABDULLAH HAMID Pimpinan Pesantren Budaya Asmaulhusna (Sambua) Lasem
================
Stereotipe adalah
penilaian terhadap sesuatu hanya berdasarkan persepsi. Stereotipe
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh
manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam
pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa
prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan
untuk melakukan tindakan diskriminatif.
Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.
Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial.
Para humanis berorientasi psikoanalisis (misal Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur. (Wikipedia)
Nah, pesantren dalam hal ini menerima stereotipe negatif. Salah satunya pesantren dituding seolah-olah pabrik kemiskinan. Mereka tidak mencari akar atau penyebab kemiskinannya, cenderung mengkambinghitamkan pondok pesantren.
Yang tak bisa dipungkiri, ulama melalui basis-basisnya di pesantren telah membentuk kebudayaan Indonesia. Yaitu dunia pesantren telah mempengaruhi keyakinan dan pola perilaku kehidupan masyarakat di desa-desa di Indonesia sehingga kental dengan penghayatan religiositas, berjalan secara damai. Menemukan jalan damai kebudayaannya sendiri. Kehidupan itu menjadi fakta di depan mata yang tidak bisa ditutup-tutupi. Itulah peradaban yang merupakan produk sejarah suatu bangsa yang telah dipersembahkan dunia pesantren.
Pasca kemerdekaan, sayangnya paradigma pendidikan pemerintah Indonesia terlalu berkiblat ke Barat (western minded); meneruskan sistem pendidikan peninggalan masa Hindia Belanda. Tidak mencoba berorientasi kepada hasil penelitian pendidikan berbasis lokal yang telah berurat-berakar dengan menggali tradisi yang telah turun temurun di Indonesia seperti pesantren dengan penyesuaian kurikulum sesuai sasaran pendidikan.
Keberadaan pesantren memang diakui di dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sebagaimana di dalam pasal 13 disebutkan jalur pendidikan nasional terdiri atas pendidilan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Selanjutnya dalam pasal 26 diterangkan pendidikan nonformal dapat berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal. Jelas, dapat disimpulkan kedudukannya sejajar.
Namun tetap saja dalam implementasinya terjadi dikhotomi dunia pendidikan formal-informal akibat ambivalensi tersebut. Tidak adanya pengakuan akademik, membuat lulusan pesantren tidak memenuhi persyaratan administratif melanjutkan jenjang pendidikan dan pasar kerja. Jadi tersingkir oleh struktural, bukan karena hasil tes masuk. Diskriminasi tersebut harus dihapus dengan pendekatan pendidikan yang mengakui kebhinekaan.
Pendidikan agama di pesantren merupakan pendidikan profesi; suatu jabatan atau pekerjaan juga, dalam arti tidak bisa dikatakan menghasilkan pengangguran atau non job. Masalahnya pekerjaan tersebut kurang diapresiasi atau dihargai oleh masyarakat atau pemerintah. Lulusannya berupa guru ngaji, guru Madin, imam rowatib masjid, da’i ke kampung-kampung seharusnya mendapatkan status yang sama seperti guru swasta yang mendapat tunjangan sertifikasi, atau dalam formasi PNS seperti guru mapel agama, penyuluh agama, penghulu, guru olahraga, guru tari, pustakawan.
Hal tersebut sebagai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah, tidak konsekuen memasukkan pesantren (pendidikan informal) dalam sistem pendidikan nasional dan kepegawaian; Tidak memasukkan jabatan dari lulusan pesantren dalam alokasi anggaran nasional. Maka tidak heran pesantren mengalami pemiskinan oleh struktur yang dzalim, tidak adil/ proporsional.
Melihat kenyataan ini dunia pesantren memerlukan jiwa kewirausahaan, termasuk kewirausahaan ini juga kemampuan kiai pesantren atau wakilnya memformulasikan aspirasi agar kepentingannya dimasukkan dalam ranah kebijaksanaan publik atau perundang-undangan Disini lah pendidikan politik santri diperlukan, mengajarkan rakyat keterampilan mendapatkan hak-hak kesejarahannya. Sekaligus bentuk pengejewantahan kedaulatan bangsa, rakyatnya dapat berpikir bebas alias merdeka.
Pondok Pesantren adalah rumah besar pendidikan Indonesia. Merupakan sistem nilai yang bertumpu pada pendidikan karakter manusia Indonesia seutuhnya; memiliki kemandirian, sistem, tradisi dan filosofi. Semua kalangan pendidikan dapat mengadopsi. Institut Ilmu Pemerintahan (IPDN) semestinya dapat melakukan studi banding sekolah sistem asrama, mencari solusi tindak kekerasan yang rawan dilakukan kakak senior, agar tidak terjadi tradisi balas dendam.
Ke depan dan telah dilakukan sebagian pesantren, pondok pesantren dapat melakukan diversifikasi jurusan umum dan agama karena tuntutan kebutuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, bukan karena tekanan administrasi formal pendidikannya atau persaingan. Jadi syah-syah saja pesantren menghasilkan sarjana umum namun tetap harus proporsional sesuai tujuan utamanya memiliki sejumlah lulusan pesantren yang murni mencetak ulama yang mumpuni ilmu agama dan berakhlak mulia.
Dengan demikian tidak perlu lagi ada kekhawatiran masuknya modernisasi pesantren atau intervensi pemerintah atau asing akan melakukan penyusutan pelajaran agama bahkan pendangkalan aqidah/ agama, karena pesantren telah memiliki ketahanan, otonomi, kemandirian dan konsep pengembangan dirinya .
Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.
Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial.
Para humanis berorientasi psikoanalisis (misal Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur. (Wikipedia)
Nah, pesantren dalam hal ini menerima stereotipe negatif. Salah satunya pesantren dituding seolah-olah pabrik kemiskinan. Mereka tidak mencari akar atau penyebab kemiskinannya, cenderung mengkambinghitamkan pondok pesantren.
Yang tak bisa dipungkiri, ulama melalui basis-basisnya di pesantren telah membentuk kebudayaan Indonesia. Yaitu dunia pesantren telah mempengaruhi keyakinan dan pola perilaku kehidupan masyarakat di desa-desa di Indonesia sehingga kental dengan penghayatan religiositas, berjalan secara damai. Menemukan jalan damai kebudayaannya sendiri. Kehidupan itu menjadi fakta di depan mata yang tidak bisa ditutup-tutupi. Itulah peradaban yang merupakan produk sejarah suatu bangsa yang telah dipersembahkan dunia pesantren.
Pasca kemerdekaan, sayangnya paradigma pendidikan pemerintah Indonesia terlalu berkiblat ke Barat (western minded); meneruskan sistem pendidikan peninggalan masa Hindia Belanda. Tidak mencoba berorientasi kepada hasil penelitian pendidikan berbasis lokal yang telah berurat-berakar dengan menggali tradisi yang telah turun temurun di Indonesia seperti pesantren dengan penyesuaian kurikulum sesuai sasaran pendidikan.
Keberadaan pesantren memang diakui di dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sebagaimana di dalam pasal 13 disebutkan jalur pendidikan nasional terdiri atas pendidilan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Selanjutnya dalam pasal 26 diterangkan pendidikan nonformal dapat berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal. Jelas, dapat disimpulkan kedudukannya sejajar.
Namun tetap saja dalam implementasinya terjadi dikhotomi dunia pendidikan formal-informal akibat ambivalensi tersebut. Tidak adanya pengakuan akademik, membuat lulusan pesantren tidak memenuhi persyaratan administratif melanjutkan jenjang pendidikan dan pasar kerja. Jadi tersingkir oleh struktural, bukan karena hasil tes masuk. Diskriminasi tersebut harus dihapus dengan pendekatan pendidikan yang mengakui kebhinekaan.
Pendidikan agama di pesantren merupakan pendidikan profesi; suatu jabatan atau pekerjaan juga, dalam arti tidak bisa dikatakan menghasilkan pengangguran atau non job. Masalahnya pekerjaan tersebut kurang diapresiasi atau dihargai oleh masyarakat atau pemerintah. Lulusannya berupa guru ngaji, guru Madin, imam rowatib masjid, da’i ke kampung-kampung seharusnya mendapatkan status yang sama seperti guru swasta yang mendapat tunjangan sertifikasi, atau dalam formasi PNS seperti guru mapel agama, penyuluh agama, penghulu, guru olahraga, guru tari, pustakawan.
Hal tersebut sebagai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah, tidak konsekuen memasukkan pesantren (pendidikan informal) dalam sistem pendidikan nasional dan kepegawaian; Tidak memasukkan jabatan dari lulusan pesantren dalam alokasi anggaran nasional. Maka tidak heran pesantren mengalami pemiskinan oleh struktur yang dzalim, tidak adil/ proporsional.
Melihat kenyataan ini dunia pesantren memerlukan jiwa kewirausahaan, termasuk kewirausahaan ini juga kemampuan kiai pesantren atau wakilnya memformulasikan aspirasi agar kepentingannya dimasukkan dalam ranah kebijaksanaan publik atau perundang-undangan Disini lah pendidikan politik santri diperlukan, mengajarkan rakyat keterampilan mendapatkan hak-hak kesejarahannya. Sekaligus bentuk pengejewantahan kedaulatan bangsa, rakyatnya dapat berpikir bebas alias merdeka.
Pondok Pesantren adalah rumah besar pendidikan Indonesia. Merupakan sistem nilai yang bertumpu pada pendidikan karakter manusia Indonesia seutuhnya; memiliki kemandirian, sistem, tradisi dan filosofi. Semua kalangan pendidikan dapat mengadopsi. Institut Ilmu Pemerintahan (IPDN) semestinya dapat melakukan studi banding sekolah sistem asrama, mencari solusi tindak kekerasan yang rawan dilakukan kakak senior, agar tidak terjadi tradisi balas dendam.
Ke depan dan telah dilakukan sebagian pesantren, pondok pesantren dapat melakukan diversifikasi jurusan umum dan agama karena tuntutan kebutuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, bukan karena tekanan administrasi formal pendidikannya atau persaingan. Jadi syah-syah saja pesantren menghasilkan sarjana umum namun tetap harus proporsional sesuai tujuan utamanya memiliki sejumlah lulusan pesantren yang murni mencetak ulama yang mumpuni ilmu agama dan berakhlak mulia.
Dengan demikian tidak perlu lagi ada kekhawatiran masuknya modernisasi pesantren atau intervensi pemerintah atau asing akan melakukan penyusutan pelajaran agama bahkan pendangkalan aqidah/ agama, karena pesantren telah memiliki ketahanan, otonomi, kemandirian dan konsep pengembangan dirinya .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar