Hakekat Kehidupan di Alam Barzah - (Bagian Satu)
KEHIDUPAN
DI ALAM BARZAKH
=============================
A. BARZAKHIYYAH : KEHIDUPAN YANG HAKIKI
1. Kehidupan di alam Barzakh
Kehidupan di alam barzakh
sebagai suatu kehidupan yang hakiki diisyaratkan oleh beberapa nash Al-Qur’an
dan Hadis Shahih. Kehidupan hakiki di alam barzakh ini tidak
bertentangan dengan persoalan kematian
manusia, sebagaimana firman Allah swt
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ
مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ(34)
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun
sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?”
(QS Al-Anbiya’,[21] : 34)
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ
مَيِّتُونَ(30)
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan
mati (pula).” (QS Az-Zumar,[39] : 30)
Yang
dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah sebagai kehidupan Hakiki adalah
suatu kehidupan yang benar-benar nyata, dan
bukan suatu kehidupan yang bersifat utopia, khayalan atau hanya ada di
angan-angan, sebagaimana yang diyakini oleh kaum atheis dan materialis yang
berpikiran sempit yang hanya percaya kepada hal-hal yang bersifat empiris, serba nampak dan langsung dapat ditangkap
indera manusia, yang tidak percaya pada hal-hal yang bersifat ghaib dan yang
tidak dapat ditangkap oleh pikiran serta indera manusia.
Banyak
Hadis Nabi dan Atsaryang menjelaskan tentang kemampuan pendengaran,
pengelihatan, pengetahuan dan perasaan orang-orang yang sudah wafat, baik yang
mukmin maupun yang kafir.
Imam
Bukhary dan Muslim didalam kitab Ash-Shahihain mengetengahkan Hadis Nabi
dari jalur sanad yang beragam, dari Abu Thalhah, dari Umar dan juga dari Ibnu
Umar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw memerintahkan para sahabat agar
kedua puluh empat mayat tentara kafir Quraisy yang tewas di tengah pertempuran
Badar dilemparkan saja kedalam salah satu sumur di situ. Selanjutnya beliau saw
memanggil nama mereka satu persatu : “Hai Umayyah bin Khalaf…! Hai Utbah bin
Rabi’ah…! Hai Syaibah bin Rabi’ah…! Hai Fulan bin Fulan…! …(dan seterusnya)
…Apakah kalian sudah menemukan apa yang telah dijanjikan “tuhan-tuhan” yang kalian sembah? Sementara aku benar-benar
sudah menemukan apa-apa yang dijanjikan Tuhanku (Allah swt ) kepadaku !”.
Menyaksikan
prilaku “aneh” Rasulullah saw tersebut, Umar bin Khatthab ra bertanya: “Apakah
engkau berbicara dengan jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa lagi ?”.
Beliau saw menjawab : “Demi Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya!
Sesungguhnya kalian tidak lebih mampu mendengar terhadap apa yang telah aku
ucapkan kepada mereka tadi. Hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya”.
Demikianlah Hadis yang diketengahkan
oleh imam Bukhary dan Muslim dari jalur Ibnu Umar. Senada dengan di atas, ada
beberapa hadis lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari jalur Anas bin
Malik ra, dari Thalhah; Imam Muslim meriwayatkannya dari jalur Anas bin Malik ra, dari Umar bin Khatthab;
At-Thabrany meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih dan dari
Abdullah bin Saidan, yang didalamnya
terdapat teks hadis : “Ya Rasulullah! Apakah mungkin mereka mampu
mendengar!”. “Mereka mampu mendengar sebagaimana kalian mendengar. Hanya saja
mereka tidak mampu menanggapi atau menjawabnya”, jawab beliau saw.
Al-Bazzar
meriwayatkan hadis yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, bersumber dari Ismail
bin Abdurrahman as-Sadiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah
saw bersabda : “Sesungguhnya mayit itu dapat mendengarkan suara ketukan sandal
para pelayat yang pulang dari penguburannya”.
Imam Bukhary meriwayatkan hadis didalam
kitab Shahih-nya pada bab Al-Mayyit Yasma’u Khalqan-ni’al, dari
jalur Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw bersabda : “seorang mayit jika
sudah diletakkan di liang kuburnya, dia dapat mendengar suara ketukan sandal
para pelayat yang pulang meninggalkannya. Sementara ia didatangi oleh dua
malaikat (Munkar dan Nakir) dan didudukkannya”.
Kemampuan
mayit mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang kembali dari penguburan
tersebut diisyaratkan oleh bebarapa hadis selain di atas, di antaranya hadis
yang menceritakan tentang
adanya pertanyaan kubur, disertai materi pertanyaan dan jawabannya.
Juga diisyaratkan oleh beberapa hadis yang memerintahkan para peziarah kubur
agar mengucapkan Salam kepada ahli kubur dengan ucapan :
السَّـلاَمُ عَـلَيْـكُمْ دَارَ
قَـوْمٍ مُـؤْمِنِـيْنَ
“Salam sejahtera semoga dilimpahkan Allah swt kepada kalian,
wahai penghuni kubur kaum mukminin!”.
Ibnu
al-Qayyim mengatakan bahwa ucapan Salam dengan lafazh seperti di atas
hanya disampaikan kepada orang yang bisa mendengar lagi berakal. Jika tidak
demikian, berarti ucapan Salam itu sama dengan disampaikan kepada orang
dan barang (benda padat) yang tidak ada. Hal ini jelas tidak masuk akal. Dengan
kata lain, Ahli Kubur yang diberi ucapan Salam seperti ucapan di atas
jelas menunjukkan bahwa ia bisa mendengar. Jika tidak mampu mendengar, tentulah
tidak ada perintah salam kepada Ahli Kubur dengan shighat salam seperti
di atas. Para ulama Salaf bersepakat terhadap persoalan ini. Banyak Atsar-atsar
yang mutawatir dari mereka yang menjelaskan bahwa mayit mampu mengetahui
dan mendoakan baik kepada setiap orang yang menziarahinya.
Abdurrazzaq meriwayatkan hadis
tentang persoalan ini dari Zaid bin Aslam, ia
menjelaskan bahwa Abu Hurairah ra
bersama-sama dengan temannya melewati sebuah pekuburan, kemudian ia bilang kepada
temannya: “Ucapkan salam!”. Temannya bertanya : “Apakah aku akan
mengucapkan salam kepada penghuni kubur?”. Jawab Abu Hurairah ra : “Jika ia diberi
kesempatan kembali hidup di dunia ini barangkali sehari saja,
tentu ia akan mengenalimu sekarang ini!”. (HR Abdurrazzaq didalam kitabnya,
Al-Mushannif , juz 3, hal. 577).
Itulah keyakinan dan akidah yang
dimiliki oleh kaum Salaf, yakni golongan Ahlussunnah wal Jamaah.
Hanya saja saya tidak mengerti, kenapa orang-orang yang mengaku dirinya sebagai
kelompok dan pengikut ulama salaf, justru lupa, melupakan, atau mungkin
pura-pura lupa terhadap kenyataan adanya
kehidupan Barzakhiyah ini.
Ibnul Qayyim secara panjang
lebar menguraikan persoalan ini didalam kitabnya yang berjudul Ar-Ruh. Dan
pada kesempatan ini, kami mencoba menukil fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dari bukunya, Al-Fatawa al-Kubra”, yang menjelaskan
bahwa ia pernah ditanya orang : “Apakah mayit-mayit itu mengetahui dan
mengenal orang yang sedang menziarahi kuburannya? Apakah mereka juga mengenal
mayit yang baru saja datang dari alam dunia ini, apakah ia masih keluarganya
ataukah bukan?” Dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang sejenis.
Ibnu Taimiyah menjawab : “Alhamdulillah.
Benar, bahwa mereka mengenal. Banyak Atsar-atsar yang menjelaskan kebenaran
tentang bertemunya mayit yang sudah lama menghuni alam barzah dengan mayit yang
baru saja datang dari alam dunia dan menjadi penghuni baru alam barzah.
Mayit-mayit yang sudah lama bertanya kepada mayit yang baru saja datang,
tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, dan juga
diceritakan kepadanya tentang kiriman doa dan pahala amal shaleh dari
keluarganya yang masih hidup di alam dunia. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnul Mubarok yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshary: “Bila seorang mukmin
wafat, sesampainya di alam kubur, ia ditemui orang-orang yang sudah lama wafat,
sama halnya seperti mereka yang bertemu secara langsung di alam dunia. Mereka
menyambut kedatangan mayit yang baru datang dan menanyakan segala hal
kepadanya. Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan kepada sebagian yang
lain : “Lihatlah saudaramu yang baru saja datang ini! Dia nampaknya sedang
istirahat”, atau ada yang mengatakan : “Sesungguhnya ia sedang bingung dan
nampaknya sangat susah sekali”. Selanjutnya mereka sama mendatanginya dan
menanyakan tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia,
tentang keadaan teman-teman yang mereka kenal di alam dunia, atau juga, tentang
apakah si Fulan atau Fulanah sudah menikah ataukan belum”.
Mengenai persoalan apakah mayit
dapat mengenal siapa yang datang menziarahi kuburannya dan mengucapkan Salam
kepadanya, telah dijelaskan oleh hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas ra ,
bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang melewati suatu
pekuburan saudara mukminnya yang pernah ia kenal di dunia, lalu mengucapkan salam kepadanya, melainkan
saudaranya (yang sudah wafat) itu tentu mengenalnya dan akan menjawab salamnya”.
Ibnul Mubarok mengatakan: “Hadis
tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Abdul Haq, seorang penulis
kitab Al-Ahkam menilainya Shahih”. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24,
hal. 331).
Pada kesempatan yang berbeda,
Ibnu Taimiyah pernah ditanya : “Apakah mayit dapat mendengarkan pembicaraan dan
melihat pribadi orang yang menziarahinya? Apakah saat itu ruh si mayit
dikembalikan kepada jasadnya? Ataukah pada saat itu dan pada saat yang lain
ruhnya bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas kuburannya? Apakah ruh orang yang baru saja
wafat akan bertemu dan berkumpul atau bergaul dengan ruh-ruh para karib
kerabatnya yang sudah lama wafat?”
Jawaban Ibnu Taimiyah : “Alhamdulillahi
rabbil ‘alamiin. Benar katamu. Secara global, mayit itu mampu
mendengar, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab hadis “Ash-Shahihain”, dari
Rasulullah saw : “Mayit mampu mendengar suara sandal para pelayat yang
kembali dari penguburannya”.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah
mengemukakan beberapa hadis yang menjelaskan persoalan kehidupan barzakhiyah
ini, dan ia menambahkan : “Nash-nash hadis ini menjelaskan bahwa mayit mampu
mendengar secara global pembicaraan orang yang masih hidup di alam dunia. Namun
hal ini bukan suatu kemestian. Terkadang mayit tersebut dapat mendengar pada
suatu saat dan tidak dapat mendengar pada saat yang lain, disebabkan terhalang
oleh hal-hal tertentu. Yang dimaksud dengan “Mendengar” dalam persoalan
ini adalah dalam pengertian “memahami apa yang didengarnya”, bukan dalam
pengertian “mendengar secara khayalan atau kiasan”. Hanya saja,
pendengaran mayit tersebut tidak diikuti dengan kemampuannya untuk
menyahuti atau membalas dengan suatu ucapan tertentu, sehingga orang lain (yang
masih hidup) balik dapat mendengar ucapan si mayit.
Allah swt berfirman :
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar “ (QS An-Naml,[27] : 80)
Yang
dmaksud “mendengar” didalam ayat di atas adalah dalam pengertian mendengar untuk menyambut
dan mentaati perintah Allah swt, karena Allah swt menjadikan orang Kafir sama
seperti Mayit yang tidak dapat menyahuti dan menuruti ajakan
orang yang mengajaknya, dan bagaikan Hewan yang tidak mampu mendengarkan
suara orang dan tidak mampu menangkap makna pemahaman yang terkandung
didalamnya. Sementara Mayit, kalaupun ia dapat mendengar, ia pun juga
dapat memahaminya, hanya saja ia tidak mampu menjawab orang yang mengajaknya
bicara dan tidak mampu mentaati apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi
apa yang dilarang untuknya, sehingga tidak berguna mengajak ber-amar makruf dan nahi munkar kepada
mayit, sebagaimana tidak bergunanya mengajak orang Kafir untuk beramar makruf
dan nahi munkar, meskipun ia mampu mendengar pembicaraan
atau ucapan ajakan dan mampu memahami isi pembicaraan orang.
Allah
swt berfirman :
وَلَوْ عَلِمَ اللَّهُ
فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ
مُعْرِضُونَ(23)
“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka,
tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan
mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka
memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS Al-Anfal,[8] : 23)
Sedangkan
persoalan kemampuan mayit untuk dapat “Melihat”, dijelaskan didalam
beberapa Atsar yang bersumber dari Aisyah ra dan sahabat lainnya.
Pertanyaan
mengenai Apakah Ruh si mayit dikembalikan ke jasadnya pada waktu itu,
ataukah Ruhnya itu bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas pekuburannya
pada waktu itu dan pada waktu yang lain?, Ibnu Taimiyah menjawab, bahwa Ruh
si mayit saat itu dan pada saat yang lain memang dikembalikan kepada jasadnya,
sebagaimana yang dijelaskan didalam beberapa hadis Nabi. Ruh dan badan si mayit
dapat bersatu kapan saja, bila Allah swt menghendakinya, yakni pada saat
malaikat hendak menemuinya, atau sewaktu ia hendak mengembara di atas bumi,
atau pada saat ia menemui dalam mimpi orang yang sedang tidur.
Beberapa
Atsar menjelaskan tentang keberadaan Ruh-ruh orang yang
sudah wafat didalam kuburnya. Mujahid mengatakan : “Ruh-ruh berada didalam
liang kuburnya selama tujuh hari sejak dimakamkannya, dan tidak lepas dari itu.
Namun hal ini terkadang tidak demikian, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh
Malik bin Anas : “Telah sampai kepadaku suatu riwayat bahwa para arwah
keluar dari kuburnya dan mengembara sekehendaknya. Dan hanya Allah swt yang
lebih tahu”. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24,
hal. 362)
Ibnu
Taimiyah pada suatu kesempatan mengatakan, bahwa kehidupan para syuhada’
dan kenikmatan yang mereka terima, sebenarnya telah dijelaskan oleh beberapa
nash Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Di antaranya adalah sebuah hadis Shahih yang
menjelaskan bahwa Arwah mereka
keluar-masuk sorga. Segolongan ulama berpendapat, bahwa para syuhada’ memang
benar-benar diberi kesempatan memasuki calon surganya. Dan ini hanya khusus
para syuhada. Sedangkan bagi kaum shalihin, shiddiqin dan lainnya, mereka tidak
diberi kesempatan untuk memasukinya. Pendapat yang benar adalah pendapatnya
para Imam dan mayoritas pengikut Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan,
bahwa kehidupan, rizki, kenikmatan dan kesempatan memasuki surga, bukanlah
monopoli para syuhada’ saja. Bisa jadi hal itu juga diberikan kepada selain
mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa nash-nash yang ada. (Majmu’
Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 332).
2. Jangan Sakiti Mayit
Rasulullah saw pernah melihat
seseorang yang sedang menyandarkan tubuhnya di atas suatu makam, lalu beliau
saw bersabda : “Anda jangan menyakiti
penghuni kubur itu”.
Hadis tersebut diketengahkan
oleh Ibnu Taimiyah didalam bukunya, Al-Muntaqa, juz 2, hal. 104 dan ia
mengaitkannya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal
dalam Musnad-nya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany
menyebutkannya didalam kitabnya, Fathul Bary, juz 3, hal. 178 dengan
sanad Shahih.
Ath-Thahawy mengetengahkan
sebuah hadis didalam bukunya, Ma’anil Atsar, juz 1, hal 296 yang
bersumber dari Ibnu ‘Amr bin Hazm yang artinya : “Rasulullah saw melihat aku
yang sedang berada di atas pekuburan seseorang, lalu bersabda : ‘Turunlah
dari kuburan itu! Jangan sakiti penghuninya (mayit), karena ia tidak
menyakitimu’”. (Majma’ az-Zawaid, juz 3, hal. 61).
3. Makna kehidupan Barzakhiyyah
Perlu kami jelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah adalah suatu kehidupan yang
sama sekali berbeda dengan kehidupan duniawiyah, bahkan merupakan suatu
kehidupan yang khas yang sangat sesuai dengan kondisi para penghuninya
(para arwah).
Dalam kehidupan duniawi, manusia
masih diharuskan melakukan aktifitas-aktifitas seperti ibadah, adab sopan
santun, adat istiadat, berbudaya, bernegara, ketaatan, serta melaksanakan Hak
dan Kewajiban tertentu, baik terhadap diri sendiri, keluarganya,
masyarakat, maupun terhadap Tuhannya. Dalam kehidupan duniawi, suatu saat
manusia dalam keadaan suci dan pada saat lain dalam keadaan yang sebaliknya;
suatu saat ia berada di masjid, dan pada saat yang berbeda ia didalam kamar
kecil. Manusia tidak mengetahui, kapan ia berakhir menjalani hidup di dunia
ini. Terkadang jarak antara dirinya dan surga hanya sehasta. Tadinya ia mukmin
dan tergolong calon penghuni surga, lalu tiba-tiba berbalik menjadi Kafir dan
menjadi calon penghuni neraka. Begitu sebaliknya, sepanjang hidupnya ia nampak
seperti calon penghuni neraka, dan tanpa diduga beberapa saat menjelang
kematiannya, ia justru berbalik menjadi orang yang beriman dan bertaubat,
sehingga ia menjadi calon ahli surga.
Sementara selama dalam kehidupan
Barzakhi ini, jika termasuk orang yang beriman, ia akan melewati
tahapan-tahapan ujian dan cobaan, yakni siksa kubur yang tidak akan selamat
melewatinya kecuali Ahlus-Sa’adah. Dia pun bebas dari beban
menjalankan syariat. Dia menjadi Ruh yang bercahaya, suci, dapat berfikir,
dapat berkelana ke tempat-tempat yang dikehendakinya, bahkan berjalan dan berkeliling ke seluruh wilayah Kerajaan
Allah swt , yang meliputi alam syahadah dan alam ghaib. Dia
selalu riang gembira, serta tidak
mengenal susah payah dan sedih, karena ia tidak terikat atau butuh
kepada dunia, harta, emas dan perak, sehingga dia tidak mengenal irihati,
hasud, melakukan kejahatan, dan juga tidak mengenal dendam antara yang satu
dengan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar