Gus Dur dan Keadilan Ideologis
====================
Keadilan adalah
watak natural manusia, juga watak khas agama Islam. Tulisan ini akan
mengulas bagaimana konsep keadilan menurut KH Abdurrahman Wahid atau
akrab disapa Gus Dur.
Dalam kumpulan tulisan tokoh-tokoh Islam yang diedit oleh Budhy Munawar Rahman berjudul Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Mei: 1994), Gus Dur menulis tentang konsep keadilan menurut Islam. Menurut Gus Dur, konsep keadilan dalam Islam bermula dari Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Efek positif lanjutannya, al-Qur’an sebagai firman Allah juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan.
Dalam kumpulan tulisan tokoh-tokoh Islam yang diedit oleh Budhy Munawar Rahman berjudul Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Mei: 1994), Gus Dur menulis tentang konsep keadilan menurut Islam. Menurut Gus Dur, konsep keadilan dalam Islam bermula dari Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Efek positif lanjutannya, al-Qur’an sebagai firman Allah juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan.
Apa yang dikatakan Gus Dur jelas kebenarannya. Sistem dan pola hidup
adil adalah misi wahyu yang digariskan terhadap para nabi. Dalam surat
al-Hadid ayat 57, al-Qur’an menegaskan bahwa keadilan merupakan sesuatu
yang diturunkan bagi para rasul selain kitab suci. Dalam berbagai kitab
tafsir ditegaskan bahwa keadilan dituntut al-Qur’an diterapkan sejak
dari sikap batin, ucapan, sampai penyelesaian perselisihan. Alam
rayapun, ditegakkan berdasar keadilan. Gus Dur menyebut ada beberapa
wawasan keadilan dalam al-Qur’an sejak Qisth, Hukm sampai Adl sendiri.
Gus Dur memaklumi karena begitu vitalnya keadilan sehingga keadilan
dijadikan rukun iman oleh beberapa mazhab diluar sunni seperti Syiah dan
Muktazilah. Disinilah sikap pluralis Gus Dur terlihat. Gus Dur
menghormati eksistensi paham lain berdasar garis pandang vitalnya suatu
konsep. Bagi Gus Dur, keadilan merupakan suatu perintah agama bukan
hanya acuan etis atau dorongan moral belaka. Satu perintah agama yang
netral politik. Dalam sebuah tulisannya di Kompas ketika
meletus perang Teluk tahun 1991, Gus Dur menegaskan kritiknya terhadap
dua kubu ulama Arab, pembela Saddam maupun pembela Raja Fadh. Gus Dur
juga begitu antipati ketika seorang ulama Indonesia kala itu ikut
mendudukkan Saddam sebagai bughat (pemberontak) hanya berdasar persepsi
minor yang tak jelas.
Selain adl, keadilan juga disebut qisth. Konsep qisth
menundukkan arah pada diri pribadi sebelum langkah besar transformasi
masyarakat. Al-Qur’an berkata “Hai orang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan (qisth), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap
dirimu sendiri (An-Nisa’: 135). Secara tersirat ini menunjukkan
penerapan keadilan untuk diri sendiri, atau pendidikan adab bagi pribadi
sebelum menerapkan keadilan untuk masyarakat luas.
Gus Dur gusar jika keadilan yang sebenarnya murni watak agama menjadi
satu keadilan berdasar ideologi tertentu. Bagi Gus Dur, keadilan
ideologis memiliki pilar rapuh yang berbahaya karena keadilan ideologis
akan membuahkan tirani. Watak keadilan justru akan menjadi sikap
subversif apabila ideologi menyertai secara ketat. Di negeri ini,
terdapat kelompok yang berjuang atas dasar ideologi keadilan namun
justru watak keadilan yang didominasi ideologi cenderung untuk
dikotomis, berpikir sepihak berdasar kepada garis anutan ideologinya.
Keadilan menurut kelompok keadilan ideologis jatuh dalam lingkup
orientasi kontestasi dan pemenangan kekuasaan. Ambil contoh konsep
penerapan bernegara ala Ikhwanul Muslimin. Menurut Hasan Al Banna,
risalah penegakan daulah Islamiyah dimulai dari tahap islahul afrad (perbaikan diri sendiri), takwinul baitul muslim (membentuk keluarga muslim), takwinul mujtama’ul muslimin (membentuk masyarakat muslim), tahrirul wathan (pembebasan tanah air), islahul hukumah (perbaikan pemerintahan) dan terakhir iqamatud daulah (pembentukan negara Islam).
Di banyak negara, strategi ini diterapkan Ikhwanul Muslimin, namun
sebagaimana kata Gus Dur pasti ada kelindan tak disangka manakala
ideologisasi muncul mendominasi. Pada tahap islahul afrad, upaya
penegakan keadilan pada pribadi individual bisa dilakukan. Namun,
syahwat politik yang terlalu ambisius untuk menguasai pemerintahan
justru akan mengorbankan keadilan sendiri. Sulit dipilah mana keadilan
berdasar agama, mana pula berdasar kepentingan politik.
Menurut Gus Dur, keadilan juga berkait dengan kesejahteraan. Yatim
piatu, kaum miskin, serta zawil qurba yang membutuhkan pertolongan
merupakan pengejewantahan keadilan. Artinya, keadilan harus menjauhi
sejauh mungkin korupsi karena korupsi pada dasarnya sejenis kezaliman
massal terhadap seluruh rakyat utamanya rakyat kecil. Korupsi
menyebabkan pemberdayaan kaum miskin dan anak yatim menjadi terhambat.
Unsur transformasi sosial sedikit banyak yang merekatkan keadilan
sebagai watak struktural. Hal ini menjelaskan hubungan kerangka keadilan
untuk diri pribadi dengan keadilan untuk masyarakat. Artinya, keadilan
akan mampu ditegakkan manakala sistem adil hidup mandiri di masyarakat.
Bagi Gus Dur, keadilan memiliki keterbatasan. Pertama, keterbatasan
visi keadilan sendiri. Keadilan bisa dianggap selesai manakala keadilan
diterapkan, tapi justru dengan melanggar wawasan keadilan. Demi agama
islam, seseorang akan merasa absah jika harus merusak aset milik orang
lain. Seseorang akan merasa menegakkan keadilan, meski dengan
menghancurkan dan merusak. Padahal merusak adalah kegiatan yang
bertentangan dengan wawasan keadilan. Atas nama keadilan, suap terpaksa
dilakukan justru demi ideologisasi keadilan. Keadilan dan
kesejahteraanpun dijual demi demokrasi padahal keadilan justru watak
nomokrasi.
Menurut Gus Dur, wawasan keadilan juga rentan karena terikat konsep
berbalasan (kompensatoris). Demi keadilan ideologis, Islam berupaya
diarahkan menjadi daulah justru dengan meminta kompensasi dari
masyarakat. Keadilan ideologis terpaksa diperjuangkan dengan mengabaikan
nilai agama. Menjelang pemilu, menyuap pemilih terpaksa dilakukan.
Ongkos pemilu yang besar memaksa juga terjadinya korupsi. Keadilan
dirusak demi kepentingan keadilan yang diideologisasi. Gus Dur pun dulu
dijatuhkan oleh kelompok yang menyebut dirirnya pejuang keadilan.
Padahal menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan justru merupakan
pelanggaran keadilan konstitutif. Hari ini, mengembalikan fitrah
keadilan kepada kerangka dasar agama dan bukan ideologi politik terasa
penting untuk dilakukan. Kita merindukan keadilan yang obyektif. Bukan
keadilan ideologis.
*SYARIF HIDAYAT S Alumni Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember Pustakawan Buku dan Kitab Kuning
sumber:http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,45413-lang,id-c,kolom-t,Gus+Dur+dan+Keadilan+Ideologis-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar