Biografi Hadlrotus Syeikh KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta
1. Masa Kecil KH Ali Maksum
KH
Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH
Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem,
yang lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten
Rembang, di tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan
serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad,
mengembang-kan pemikiran irrasional semacam khurafat, takhayul dan
bid’ah, dan sulit diajak untuk maju.
mBah KH Maksum Lasem |
2. Menuntut Ilmu ke Pondok Tremas.
Setelah Ali memasuki usia remaja (usia 12 tahun), mBah Ma’shum berfikir untuk menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kiai lain yang terbilang masih temannya, yakni KH Dimyati yang memimpin pesantren Tremas Pacitan (1894 – 1934), karena tidak terbiasa orang tua mendidik anak kandungnya sendiri sampai dewasa. Pada saat itu, Pesantren Tremas yang terletak di pelosok Pacitan dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki beberapa lama ini merupakan pesantren yang cukup popular, terkenal dan berwibawa, disebabkan oleh tiga alasan : Pertama, pesantren Tremas secara tegas menolak dan menentang penjajah Belanda, serta berusaha menghindar dari pengaruh budayanya. Kedua, sebagian besar ahli bait (keluarga) pesantren Tremas tergolong sangat ‘alim, sehingga keberadaan Tremas saat itu sebagai gudangnya ilmu agama sangat diperhitungkan. Bukti kealiman mereka terukir dalam sejarah, dengan munculnya nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah, 1918 M) di Dunia Islam yang menjadi ulama besar berkaliber internasional di Tanah Haram, penulis produktif dan guru besar di bidang hadis Shahih Bukhari serta diberi hak untuk mengajar di Masjidil Haram. Ketiga, kegiatan ilmiah di Tremas sangat intensif, karena mendapatkan dorongan sepenuhnya dari kiai dan keluarganya. Bahkan kebebasan ilmiah yang dikembangkan pesantren Tremas berakibat pada munculnya “Madrasah” kontroversial didalam pondok pada tahun 1928 yang didirikan seorang santri senior bernama Sayyid Hasan Ba’bud, dengan tenaga pengajar yang kesemuanya berasal dari luar pesantren. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Tremas sangat bervariasi seperti Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim, Alfiyah Ibnu Malik, dll. Mubahatsah (pembahasan) kitab berjalan setiap malam. Di samping itu didukung oleh kebijakan kiai yang memberi kesempatan kepada para santri senior yang mampu untuk mengajari santri adik kelasnya. Kondisi seperti itu lalu menumbuhkan semangat para santri untuk berkompetisi di bidang keilmuan.[1]
Dengan
kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan
tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas
Pacitan untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyati, Ali Maksum
secara istimewa diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada
umumnya, akan tetapi tinggal di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga
KH Dimyati, satu kamar dengan Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh
at-Tarmasi. Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH Dimyati
kepada KH Maksum, karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi
saling menitipkan pendidikan putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini,
KH Maksum menitipkan putranya yang bernama Ali kepada KH Dimyati di
pesantren Tremas, sementara KH Dimyati sendiri menitipkan putranya yang
bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada KH Maksum di
pesantren Al-Hidayah Lasem.
Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih dikenal dengan panggilan Wak Ali ini,[2]
nampak paling menonjol diantara para santri yang lain dan sudah
menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh
kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan otaknya,
ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya,
penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan
pribadinya, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya.
Menurut
saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH Habib Dimyati, bahwa
Wak Ali setiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat
belajarnya hebat melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi
batas-batas yang ditetapkan pesantren. Wak Ali sering tidak tidur sampai
larut malam, sehingga tidak aneh jika kamarnya terlihat tidak rapi,
karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan
terbuka.
Gus
Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak
berguru kepada Wak Ali dalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun
lama bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada
ulumul Qur’an. Yang dipelajari Wak Ali bukan hanya terbatas pada
kitab-kitab mu’tabarah karya ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan
oleh kiainya, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ulama’
pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid Ridha murid
Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu
Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya.
Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kiai di beberapa
pesantren tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya.
KItab-kitab
para pembaharu tersebut diperoleh Wak Ali dari kiriman kawan-kawannya
di Tanah Haram, santri ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari
pergi haji. KH Dimyati selaku pengasuh pesantren sebenarnya mengetahui
hal itu, apalagi Wak Ali tinggal didalam komplek nDalem, akan tetapi
beliau sengaja mendiamkannya, karena Wak Ali dipadang memiliki
dasar-dasar tradisi pesantren yang kuat. Bahkan memperluas wawasan
dengan kitab-kitab tersebut bagi Wak Ali sangat diper-lukan sebagai muqabalah
(perbandingan). Barangkali karena latar belakang referensinya yang luas
inilah yang menjadikan Wak Ali sebagai seorang ulama’ yang berwawasan
luas, dalam, dan berpandangan lebih moderat bila dibanding dengan para
kiai alumni pesantren lainnya.
Wak
Ali sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Qur’an, yang nantinya
mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemula
di Indonesia. Demikian pula dalam ilmu bahasa arab, Wak Ali sangat
menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang terkenal. Julukan “Munjid berjalan”[3]
untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di bidang bahasa Arab
beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan keahlian inilah
yang mengantarkan KH Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru dalam
pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang
kemudian diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda
dengan metode shorof yang sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif
susunan Kiyai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang
berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.
Kegemaran
lain Wak Ali di bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari secara
intens syiir-syiir dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna
kelak ketika menjadi seorang ulama’ besar, dimana setiap ada kesempatan
dalam berpidato, berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan
lain-lain, sering keluar dari mulutnya untaian kalam hikmah dan
syiir-syiir tersebut.
Wak Ali Maksum yang sejak muda tidak gemar tirakat, puasa ngrowot dan perilaku nyeleneh lainnya
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian santri di pesantren-pesantren
salafiyah pada umumnya ini juga memiliki kegemaran musik. Beliau suka
memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya
untuk mengiringi alunan nyanyian, dan bahkan menyukai lagu-lagu
berbahasa inggris yang diiringi musik jazz. Kegemaran ini masih terbawa
ketika sudah menjadi seorang kiyai yang mengasuh pesantren Krapyak,
dimana lagu-lagu jazz tersebut sering diputar dan didengarkan didalam
kamar pribadinya sambil beliau dipijiti para santri, bahkan terkadang
suaranya sampai keluar melalui mic speaker sehingga para santri ikut
menikmati lagu-lagu tersebut. Dalam bidang olahraga, Wak Ali sama sekali
tidak memiliki kegemaran, kecuali gemar membersihkan lingkungan pondok
dari daun-daun kering, mengambili kertas-kertas bekas dan sampah kering
lainnya. Berbeda dengan Gus Hamid[4] dari Pasuruan yang gemar main sepakbola.
KH Abd. Hamid Pasuruan: Besan dan teman di Tremas |
Mengingat kejeniusannya, ketekunan belajarnya, kedalaman dan keluasan ilmunya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, dan bakat keulamaannya, Wak Ali dipercaya oleh KH Dimyati untuk mengajar para santri dalam usia yang sangat muda. Dalam menjalankan tugas mengajar, Wak Ali sangat menguasai materi kitab yang dibebankan kepadanya, tegas, disiplin dan simpatik. Oleh karenanya, beliau memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan keluarga pesantren dan santri.
Dikalangan
para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, Wak Ali adalah “simbol
keteladanan”. Beliau bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat
Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer
dengan sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide
segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Diantaranya
adalah ide dari Wak Ali tentang perlunya menerapkan sistem madrasi
dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari
dalam pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH Dimyati, karena
trauma dengan pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud.
Setelah konsep dari ide tersebut dipandangnya jelas dan mendukung
kemajuan pesantren, maka KH Dimyati mengijinkan berdirinya madrasah
tersebut, dengan Wak Ali Maksum sebagai direkturnya. Kesempatan ini
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wak Ali, yang ketika itu baru berusia
19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan
kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya
ulama modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah,
an-Nahwul Wadhih dan lain-lain.
Setelah Wak Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar, bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya meng-gunakan sistem pesantren ke sistem madrasi. [5]
Setelah Wak Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar, bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya meng-gunakan sistem pesantren ke sistem madrasi. [5]
3. Berguru ke Tanah Haram Makkah.
Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, KH Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip: Al-Muhafazhatu ‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
M. Rasyid Ridha |
Muhammad Abduh |
Jamaluddin Al-Afghani |
Umar Hamdan |
Alwi Abbas Al-Maliki |
4. Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta
KHR A. Afandi |
KHR Abd. Qodir |
Masjid PP Al-Munawwir Krapyak, tempo dulu |
Dari
fenomena ini sementara dapat disimpulkan bahwa kewibawaan dan
kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran
pesantren, dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya
selaku turunan langsung yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan
dan kharisma dari ayahnya. Kondisi ini membuat keluarga besar K.H.M.
Munawwir merasa resah dan khawatir terhadap kelestarian pesantren ke
depan. Maka pada tahun 1943, musyawarah keluarga Bani Munawwir
memutus-kan untuk mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M.
Munawwir), yang saat itu telah berhasil membenahi sistem pendidikan
pesantren ayahnya di Lasem dan mampu mendongkrak jumlah santri, agar
bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi krisis tersebut.
Namun ajakan ini ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum. Beberapa bulan
kemudian, datang lagi utusan ke Lasem. Kali ini yang datang adalah Nyai
Sukis sendiri (isteri K.H.M. Munawwir, ibu mertua Kiai Ali) dengan
didampingi K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir, yang mengharap dengan sangat
agar Kiai Ali bersedia diboyong ke Krapyak. Akhirnya kekerasan hati
Kiai Ali luluh dan menerima ajakan itu. Sejak kepindahan Kiai Ali ke
Krapyak ini (1943), pesantren Al-Munawwir di bawah kepemimpinan ”tiga
serangkai” dengan pembagian tugas sebagai berikut :
1).
K.H.R. Abdullah Affandi (putra, wafat 1968), dengan tugas sebagai
pimpinan umum, menangani urusan sarana-prasarana dan hubungan dengan
dunia luar pesantren
2). K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat 1961)), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
3).
K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran
kitab-kitab kuning dan pembenahan sistem pendidikannya.
Dari
ketiga pemimpin tersebut, Kiai Ali merupakan orang yang memiliki
kelebihan. Disamping keahlian, kedalaman dan keluasan wawasan di bidang
keilmuan, juga dipandang lebih mumpuni, lebih dewasa, lebih
berpengalaman dan lebih siap memimpin pesantren. Dengan bermodalkan
pengalaman dan potensi yang dimiliki selama menjadi santri di pesantren
Tremas dan membenahi pesantren ayahnya di Lasem, serta tugas berat
”amanah” yang dibebankan kepadanya tersebut, Kiai Ali mulai mencurahkan
segala tenaga dan pikirannya untuk mencari titik-titik lemah yang
menjadi sumber kemunduran beserta jalan keluarnya, kemudian menetapkan
beberapa langkah strategis, diantaranya: 1) perlunya kaderisasi ulama /
tenaga pengajar inti dari dalam pesantren, dan 2) perlunya pengembangan
sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum pesantren.
Selama
dua tahun pertama (antara tahun 1943 – 1944), aktifitas secara
intensif difokuskan pada usaha kaderisasi ulama, tenaga pengajar dan
pengelola dari lingkungan keluarga pesantren, dengan melibatkan seluruh
putra dan menantu K.H.M. Munawwir, serta tetangga. Sedangkan aktifitas
kepesantrenan (pengajaran Al-Qur’an) dan penerimaan santri dari luar
untuk sementara dibekukan.
Peserta
yang mengikuti pengkaderan terdiri dari : KHR Abdul Qodir Munawwir
(pengasuh), KH Zaini Munawwir, KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad
Munawwir, KH Dalhar Munawwir, KH A. Warson Munawwir, KH Nawawi Abdul
Aziz (menantu), KH Mufid Mas’ud (menantu), KH Habib Dimyati (Tremas), H.
Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan
KH. Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan).
Murid-murid
pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka yang
“melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian
berbagai macam kitab kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan,
sejak sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali
sekedar waktu untuk shalat dan makan, dan disiplin yang diterapkan
betul-betul sangat ketat, terutama yang diterapkan kepada peserta ahlul
bait (keluarga pesantren).[7]
KH Zainal Abidin |
KH Zaini |
KH Mufid Mas'ud |
KH Dalhar |
KH Ahmad Warson |
KH Nawawi Abd.Aziz |
Hasilnya,
seluruh peserta kaderisasi memiliki kesiapan dalam segala hal untuk
bersama-sama mengelola, memajukan dan mengembangkan pesantren. Mereka
menjalankan tugas, wewenang, dan aktifitas sesuai dengan bidang
keahliannya masing-masing. Maka dalam jangka waktu yang relatif singkat,
pesantren Al-Munawwir selama dalam kepengasuhan Kiai Ali mengalami
perkembangan pesat setahap demi setahap. Hal ini ditandai dengan :
a)
Berkembangnya sistem pendidikan yang tidak lagi dipusatkan pada
pengajaran Al-Qur’an, akan tetapi juga pada kajian kitab kuning, yang
keduanya dapat berjalan secara seimbang, sehingga menjadi aktifitas
utama sekaligus menjadi ciri khas pesantren.
b) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal/klasikal dalam bentuk madrasah, meliputi : 1).
Madrasah Ibtidaiyah putra 4 tahun (1946); 2) Madrasah Tsanawiyah Putra 3
tahun (1947) dan SMP Eksakta Alam (1951-1954); 3) Madrasah Banat
(1951); 4) M. Aliyah Salafiyah putra 3 tahun (1955); 5) Madrasatul
Huffazh (1955); 6) TK (1957); 7) Madrasah Diniyah (1960); 7) Tsanawiyah
6 tahun (1962-1986); 6) MTs dan Aliyah 3 tahun (1987);
c)
semakin bervariasi (santri takhassus, santri kalong, sekolah didalam
dan diluar pesantren) dan meningkatnya jumlah santri yang tertarik
belajar di pesantren Krapyak;
d) semakin terkenalnya nama pesantren di tingkat Nasional dan dunia internasional, terutama di negara-negara Timur Tengah,[8]
apalagi semenjak Kiai Ali menjadi Rois ’Am (1981-1984) dan menjadi tuan
rumah Muktamar NU ke-28 (1989), kepopuleran dan peran pesantren
Al-Munawwir diperhitungkan oleh berbagai pihak.
Disebabkan
oleh perannya yang begitu besar sebagai motivator, dinamisator,
katalisator, inspirator (penggagas) kaderisasi ulama dalam kepemimpinan
pesantren, dan sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya, serta
sebagai sumber pengetahuan, maka dari sudut ini, Kiai Ali dapat
dipandang sebagai sesepuh Krapyak, sekaligus sebagai pembangun pesantren
yang sebelumnya telah dirintis dan didirikan oleh K.H.M. Munawwir.
5. Pengabdiannya di Jam’iyyah NU
Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan pengasuh pesantren Al-Munawwir Krapyak, Kiai Ali sejak masa-masa awal sudah simpatik terhadap jam’iyyah NU. Terutama sekitar tahun 1950-an ketika suhu politik memanas akibat semakin nyaringnya suara kaum nahdhiyyin untuk keluar dari Masyumi, dan terealisir ketika Muktamar di Palembang tahun 1952 yang memu-tuskan NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai “NU” sendiri. Untuk menghadapi Pemilu pertama tahun 1955, Kiai Ali mulai aktif berkampanye untuk partai NU dengan cara tidak langsung turun ke lapangan sebagai jurkam, melainkan lewat pendidikan kader kepada para santri Krapyak dan melalui pembicaraan non formal dengan para tamu yang sowan ke rumahnya. Hasilnya, Partai NU memperoleh suara terbanyak rangking ketiga setelah PNI dan PKI. Dari Pemilu tersebut, Kiai Ali akhirnya terpilih menjadi anggota konstituante yang mewakili NU Yogyakarta.
KH Bisiri Sansuri |
KH Ahmad Siddiq |
DR. Hc.KH Idham Kholid |
KHR As'ad Samsul Arifin |
KH Makhrus Ali |
DR.Hc.KH Abdurrahman Wahid |
Diantara
jasa dan hasil capaian Kiai Ali selama memimpin NU adalah : 1) mampu
mengerem usaha menjerumuskan NU ke politik praktis yang lebih dalam; 2)
lahirnya keputusan NU kembali ke Khittah 1926; 3) menjaga jarak yang
sama antara NU dengan partai-partai politik; 4) mengangkat wibawa
ulama/syuriyah; 5) mulai terjadinya regenerasi dalam NU dengan
mendorong dan memasukkan generasi muda NU kedalam struktur kepengurusan;[10]
6) hilangnya perpecahan di tubuh NU, tidak ada lagi kubu Cipete dan
Situbondo, yang ada adalah kubu NU; 7) membuatkan bekal bagi pengurus
dan warga NU dalam meraih sukses organisasi.[11]
Setelah
Muktamar ke-27 di Situbondo, Kiyai Ali ditempatkan sebagai salah satu
anggota Mustasyar PBNU bersama-sama dengan KHR As’ad Syamsul Arifin, KH
DR. Idham Cholid, KH Mahrus Ali, dll.
6. Sifat Kepribadian KH Ali Maksum
Banyak
sifat-sifat kepribadian Kiai Ali yang dapat dijadikan sebagai suri
teladan terutama bagi para santri, dan sekaligus mempengaruhi tipologi
kepemimpinannya di PP Al-Munawwir, diantaranya adalah istiqomah
mengajarkan kitab kuning. Sekalipun kesibukan beliau bertumpuk-tumpuk,
seperti sebagai seorang muballigh, dosen di IAIN dan pengurus NU (Rois
‘Am) yang sering keluar kota, beliau jarang sekali meninggalkan
pengajian dan sorogan yang menjadi rutinitasnya sehari-hari, kecuali
dalam kondisi yang sangat mendesak, terutama di akhir hayatnya yang
sering sakit-sakitan.
Kiai Ali berpola hidup sederhana, zuhud,
tidak terkesan hidup mewah, dan tampil apa adanya. Hal ini ditunjukkan
oleh kondisi pakaiannya, tempat tinggal, kendaraan dan makanannya yang
sangat sederhana, tidak terkesan mewah, bahkan bisa dikatakan tidak
layak untuk ukuran dan statusnya sebagai seorang Kiai besar. Keseriusan
usahanya dalam pengembangan pesantren seperti pembiayaan pembelian tanah
untuk perluasan lokasi pesantren, pengadaan bangunan, fasilitas
pesantren dan kegiatan-kegiatan keagamaan (konsumsi majlis taklim, dll),
baik dengan dana pribadi maupun dana sumbangan dari berbagai pihak,
semua itu menunjukkan sikap kezuhudannya. Bahkan, jauh sebelum wafatnya
Kiai Ali sudah mempersiapkan untuk membagi-bagikan seluruh harta
kekayaannya tanpa diketahui oleh siapapun dengan cara membuat catatan
beberapa lembar kertas yang kemudian disimpan di lemari diantara
tumpukan pakaiannya. Isinya : 1) jumlah total berbagai jenis harta benda
yang dimiliki (tanah, rumah, pakaian, kendaraan, uang, dll) beserta
tempat penyimpanannya, 2/3 harta benda tak bergerak dihibahkan untuk
pesantren dan sisanya dihibahkan untuk anak-anaknya; 2) daftar nama
orang satu persatu dari kalangan masyarakat tetangga pesantren, para
sahabat dan kenalan, sanak kerabat dan putra-putrinya, lengkap dengan
angka nominal dan jenis harta yang akan diterimanya, sehingga pada saat
wafat, beliau sedikit pun tidak meninggalkan harta warisan. Sungguh,
tindakannya ini sesuai sekali dengan isi kandungan syi’iran sholawatan
berbahasa Jawa yang beliau gubah dan sering beliau lantunkan di tengah
atau akhir memberikan ceramah pengajian, antara sebagai berikut :
Kulo sowan nang Pangeran // Kulo miji tanpo rencang // Tanpo sanak tanpo kadang // Bondho kulo ketilaran //.
Yen manungso sampun pejah // Uwal saking griyo sawah // Najan nangis anak simah // Nanging kempal boten betah //.
Senajan berbondho-bondho // Morine mung sarung ombo // Anak bojo moro tuwo // Yen wis nguruk banjur lungo //.
Yen urip tan kebeneran // Bondho kang sa’ pirang-pirang // Ditinggal dienggo rebutan // Anak podho keleleran //.
Yen sowan kang Moho Agung // Ojo susah ojo bingung // Janji ridhone Pangeran // Udinen nganggo amalan.[12]
Pembawaan Kiai Ali yang tenang, santun
dan mengesankan, wataknya yang arif dan bijaksana, serta sifatnya yang
lemah lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah bergaul) dengan siapa saja
yang ditemui, tutur katanya yang manis, serta raut wajahnya yang selalu
ceria dan semringah dengan hiasan senyuman yang khas, menyebabkan
beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang
tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan apalagi dikultuskan,[13] suka memaafkan kesalahan orang,[14], serta jauh dari sifat pendendam dan dengki, menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.
Pergaulan KH Ali dengan Para Santri.
Kiai Ali sangat dekat hubungannya dengan para santri, dan begitu pula
sebaliknya. Kiai Ali hampir hapal semua nama santri, tempat tinggalnya
di lokasi pesantren, nama orang tuanya dan asal usul daerahnya. Di
hadapan para santri, Kiai Ali bukanlah sosok yang menakutkan. Pada
umumnya, para santri merasa takut dan lari atau bersembunyi ketika
bertemu dengan kiai, akan tetapi tidak demikian terhadap Kiai Ali.
Hubungan Kiai Ali dengan santri seperti layaknya hubungan bapak dengan
anak. Kedekatan hubungan ini ditunjukkan oleh kesukaannya bercanda dan
bergurau dengan para santrinya, baik secara individu maupun secara
jamaah di pengajian. Kalaupun ada santri yang lari atau takut ketika
berhadapan Kiai Ali, mereka justru akan dipanggil, baik secara langsung
maupun lewat microphone untuk sekedar diajak ngobrol sambil
mendengar-kan lagu-lagu kesayangannya atau menonton TV,[15]
diajak jalan-jalan keliling pondok sambil mengambili sampah-sampah
kering (kertas, plastik dan dedaunan), disuruh memijatnya, disuruh
menyapu atau membersihkan kamar pribadinya atau halaman rumahnya, dan
lain-lain, sehingga mereka tidak lagi merasa takut dan terasa begitu
dekat dengan Kiai Ali.
Kiai
Ali sangat rajin mendatangi kamar-kamar santri dan membangunkan mereka
untuk diajak shalat subuh berjamaah. Terhadap santri yang dipandang
malas dan bandel berjamaah tarawih setiap datangnya bulan Ramadhan, Kiai
Ali mengadakan “Tarawih Panggilan” di kediamannya dan diimami sendiri.
Ini bukan berarti memberi kesempatan atau peluang untuk bandel, akan
tetapi mendidik mereka bahwa dengan sering dipanggilnya mereka, maka
lama kelamaan mereka akan sadar dan malu dengan sendirinya.
Demikian
pula kedekatan Kiai Ali terhadap para alumninya, yang ditunjukkan oleh
seringnya beliau menitipkan salam kepada alumni lewat para tamu, wali
santri, atau santri yang kebetulan kenal dan dekat tempat tinggalnya
dengan alumni tersebut. Bahkan Kiai Ali sering mampir ke rumah alumni di
tengah perjalanannya ke luar kota.[16]
Terutama setiap ada event Haul KH Munawwir, para alumni selalu dikirimi
undangan untuk meng-hadiri Haul tersebut. Dari sini dapat dikatakan
bahwa kedekatan hubungan santri dengan Kiai tetap berlanjut sampai
menjadi alumni.
Dalam
soal ketaatan “mutlak” santri kepada kiyai hingga sampai pada tingkat
pengkultusan, adalah tidak sejalan dengan pandangan kiai Ali. Ketaatan
murid terhadap guru sebatas pada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at
dan dilakukan secara wajar.[17]
Kiai
Ali sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan pondok. Beliau sering
berjalan-jalan sambil mengelilingi pondok. Begitu melihat lingkungan
yang kotor dengan berbagai jenis sampah, langsung saja memanggil santri
yang ada di situ, terutama para santri yang tidak ikut sorogan untuk
diperintah mengambili sampah-sampah tersebut dengan tangannya, karena
beliau memang sangat “titen” (ingat, dan teliti) pada santri yang ikut
dan yang tidak ikut sorogan. Bahkan terkadang beliau sendiri yang
mengambilinya. Selain itu, beliau juga sangat peduli dengan kondisi
suatu bangunan yang rusak, kumuh, atau yang tidak layak huni, langsung
saja beliau mengerahkan, memimpin dan mengawasi para santri untuk kerja
bakti.[18]
Ulama Intelek dan Tokoh Modernis NU. Nama
KH Ali Maksum di kalangan masyarakat tidak asing lagi, karena perannya
yang begitu besar di berbagai sektor, sebagai pengasuh pesantren,
sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, sebagai tokoh organisasi Islam,
modernis NU, dan sebagai pemimpin lainnya.
Kiai
Ali merupakan tipe seorang Kiai yang memiliki semangat autodidak yang
tinggi. Bagi Kiai Ali, pameo “Belajar sendiri tanpa guru (misalnya
mengkaji sendiri kitab yang belum pernah dingaji-kan), maka gurunya
adalah syetan” dipandangnya salah kaprah dan tidak berlaku lagi. Pameo
itu sebenarnya hanya berlaku khusus pada murid thariqat yang sangat
membutuhkan bimbingan spiritual seorang mursyid dalam mendalami
ilmu-ilmu haqiqat. Sebab, jika ilmu hakekat didalami sendiri tanpa
bimbingan guru terkadang justru dapat menyesatkannya. Berbeda kondisinya
dengan para santri yang mendalami ilmu-ilmu syari’at, bahwa kitab-kitab
yang dikaji tersebut justru dipandang sebagai guru yang terbaik. tidak
pernah berbohong, paling sabar dan tidak pernah marah. Artinya,
kitab-kitab tersebut berbicara dengan bahasa tulis apa adanya, terbuka
untuk dikoreksi dan dikritik. Berbeda dengan guru manusia yang suka
menutupi kekurangannya dan menonjolkan kelebihannya.[19]
Pandangan inilah yang melandasi Kiai Ali memiliki semangat otodidak
tinggi, berwawasan luas dan dalam, serta berpandangan moderat. Bahkan
pandangannya ini sering kali dilontarkan kepada para santri di tengah
memberikan pengajian, sehingga mampu mendorong para santri untuk
memiliki semangat otodidak yang tinggi seperti yang dimiliki oleh Kiai
Ali.
Kiai-Kiai
yang seangkatan dengan beliau atau yang lebih sepuh lagi, dan juga
kalangan intelektual muda mengakui keluasan ilmunya. Beliau adalah ulama
ahli tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab beserta ilmu alatnya, dan
berbagai disiplin ilmu lainnya, serta menguasai berbagai macam kitab,
baik yang menjadi rujukan ulama tradisional maupun ulama modernis.
Bahkan penguasaannya terhadap kitab-kitab rujukan ulama modernis
tersebut (seperti karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Sayyid Quthub,
Hassan Al-Bana, Muhammad Abduh dan lain-lain) justru melebihi dari para
ulama kelompok modernis itu sendiri[20]. Julukan “Munjid Berjalan” oleh masyarakat untuk Kiai Ali Maksum menujukkan keluasan bidang keilmuan yang dikuasainya.
DR. KHA Mustofa Bisri |
KH Anwar Musaddad |
Prof. DR. Mukhtar Yahya |
RHA Soenarjo |
Meskipun dekat dengan kalangan akademisi dan intelektual, KH Ali tetap istiqomah mengajarkan kitab kuning kepada para santri Krapyak, dan hampir tidak ada waktu jeda untuk memberikan pengajian umum/ceramah agama kepada masyarakat, baik di pedesaan, didalam kota maupun luar kota Yogyakarta.[21]
KH Masdar F Mas'udi |
Mahbub Junaidi |
KH A. Muchid Muzadi |
Sejak
tahun 1943 Kiai Ali pindah ke Krapyak. Yang pertama kali dirasakan Kiai
Ali pada awal kepindahannya ini adalah kuatnya getaran gerakan
Muhammadiyah, maklum kota Yogyakarta adalah kota kelahirannya. Kiai Ali
yang dikalangan para kiai NU dikenal sebagai salah satu tokoh reformis
atau modernis NU ini tidak menunjukkan sikap yang konfrontatif, akan
tetapi dengan sikap penuh toleransi, kemudian gerak langkah
Muhammadiyah tersebut terus diikuti perkembangannya dengan seksama. Hal
ini yang mempengaruhi kebijakannya dalam memimpin pesantren Al-Munawwir,
yaitu dengan membuat seimbang antara pengajian Al-Qur’an dan pengajian
kitab-kitab kuning agar santri mengetahui ajaran-ajaran Islam ‘ala
Ahlussunnah wal Jamaah beserta dalil-dalinya secara proporsional untuk
dijadikan sebagai benteng dari pengaruh faham wahhabi yang disuarakan
oleh gerakan Muhammadiyah tersebut.
KH A. Mukti Ali |
Bahkan
dalam banyak hal pandangan Kiai Ali sejalan dengan pandangan kaum
pembaharu, diantaranya seperti masalah mencari ilmu yang harus diperoleh
melalui belajar (Innamal ‘ilmu bit-ta’allum) dan didukung dengan
makanan yang bergizi untuk meningkatkan kecerdasan, bukan dengan
mengandalkan semangat pencarian melalui laku spiritual (laduni), wirid,
perilaku ngrowot dan lelakon nyeleneh lainnya. Oleh karena itu Kiai Ali
hampir tidak pernah mengajak santrinya hidup prihatin atau tirakat
dengan menjauhi makanan tidak bergizi, selain ibadah puasa sunnah yang
disyari’atkan.
Latar
belakang kehidupan keilmuan Kiai Ali yang dinamis, berwawasan yang
sangat luas, dalam dan moderat, dengan dukungan referensi yang
multidisipliner, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi tersebut,
sedikit banyak tentu mempengaruhi pendidikan dan pengajaran yang
diberikannya kepada para santri. Tidak mengherankan jika para alumni
yang pernah mendapatkan didikan dari Kiai Ali tidak sedikit yang menjadi
tokoh masyarakat, intelektual, dan kiai-kiai pengasuh atau pendiri
pesantren yang berwawasan luas, mendalam dan moderat disebabkan
referensinya yang sangat luas, serta memiliki semangat otodidak yang
tinggi.
Para santri alumni didikan Kiyai Ali antara lain: Prof.DR.KH A Mukti Ali (Guru Besar Fak Usuluddin IAIN Yogya, mantan Menteri Agama RI), KH A. Mustofa Bisri (Rembang), KHM Cholil Bisri (Rembang), KH Maksum Ahmad (tanggulangin Sidoarjo : Pengasuh pesantren dan muballigh), KH A. Masduqi Mahfudh (Malang, mantan Rois Syuriyah PWNU Jatim) KH Abdul Aziz Masyhuri (Jombang: Pengasuh pesantren), KH A. Asrori Usman Al-Ishaqi (PP Al-Fithroh Sby, Mursyid Thoriqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah), KH Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta: penulis dan muballigh), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi Yusuf, Prof.DR. KH Said Agiel Siroj, MA, KH Drs. Muhd. Hasbullah SH, KH Drs. Masyhuri AU, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abdin Muanwwir (Pengasuh pesantren), KH Ahmad Warson Munawwir (Pengasuh pesantren, penulis Kamus Al-Munawwir), KH Drs, Asyhari Abta, M.Pd.I, KH Munawwir AF, KH Drs. Henry Sutopo, KH Drs, Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA., Drs. H. As'ad Said Ali (mantan Waka BIN, Waketum PBNU), dan lain-lain,
KH Munawir AF |
KH Drs. M. Hasbullah, SH |
KH Cholil Bisri |
Prof. DR. KH A.Malik Madani |
Para santri alumni didikan Kiyai Ali antara lain: Prof.DR.KH A Mukti Ali (Guru Besar Fak Usuluddin IAIN Yogya, mantan Menteri Agama RI), KH A. Mustofa Bisri (Rembang), KHM Cholil Bisri (Rembang), KH Maksum Ahmad (tanggulangin Sidoarjo : Pengasuh pesantren dan muballigh), KH A. Masduqi Mahfudh (Malang, mantan Rois Syuriyah PWNU Jatim) KH Abdul Aziz Masyhuri (Jombang: Pengasuh pesantren), KH A. Asrori Usman Al-Ishaqi (PP Al-Fithroh Sby, Mursyid Thoriqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah), KH Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta: penulis dan muballigh), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi Yusuf, Prof.DR. KH Said Agiel Siroj, MA, KH Drs. Muhd. Hasbullah SH, KH Drs. Masyhuri AU, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abdin Muanwwir (Pengasuh pesantren), KH Ahmad Warson Munawwir (Pengasuh pesantren, penulis Kamus Al-Munawwir), KH Drs, Asyhari Abta, M.Pd.I, KH Munawwir AF, KH Drs. Henry Sutopo, KH Drs, Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA., Drs. H. As'ad Said Ali (mantan Waka BIN, Waketum PBNU), dan lain-lain,
KH Asyhari Marzuki |
KH Idris Hamid |
Prof.DR. KH Said Aqil Siraj,MA |
KH Drs. Henry Sutopo |
KH A. Asrori |
KH Drs. Asyhari Abta, MPdI |
6. Wafatnya KH Ali Maksum
Ketika
dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak,
sebenarnya beliau sudah sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun
demikian, sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab atas sukses dan
tidaknya Muktamar, beliau masih sempat mengkomando panitia pelaksana
yang sebagian besar adalah santrinya lewat mick speaker dari kamarnya.
Ketika Presiden Soeharto dan beberapa menteri serta para kiai peserta
muktamar menjenguknya, Kiai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan
berbaring di kamarnya.
Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Beliau
wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah
Munawwir dan 8 orang putra-putri : 1) Adib (wft masih kecil), 2) KH
Atabik Ali, 3) H. Jirjis Ali, 4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali, 5) Nyai
Hj. Durroh Nafisah Ali, 6) Nafi’ah (wafat masih kecil), 7) M. Rifqi
Ali (Gus Kelik), dan 8) Hj. Ida Rufaidah Ali.
Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Makam KH Ali Maksum di Dongkelan Yogya, tanpa batu nisan |
Selain itu beliau juga meninggalkan :
1).
Lembaga pendidikan yang begitu besar (madrasah dll), yang pada masa
selanjutnya dikelola oleh Yayasan Ali Maksum Pondok Peantren Krapyak
Yogyakarta pimpinan KH Atabik Ali;
2). Karya tulis yang meliputi :
a. Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq
b. Ash-Shorful Wadhih, yang berisi kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah) dengan metode baru temuan KH Ali Maksum.
c. Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah,
berisi kajian dalil-dalil / argumentasi syar’iyyah yang dijadikan
sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau
tradisi ke-NU-an.
d. Jawami’ul Kalim : Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala hurufl hijaiyyah ka ashliha, berisi koleksi hadis-hadis pendek yang mengandung pemahaman yang luas dan dalam, yang dicuplik dari kitab al-Jami’us Shoghir.
e. Ajakan Suci : Pokok-pokok Pikiran tentang NU,
Pesantren dan Ulama, merupakan kumpulan makalah tulisan KH Ali Maksum
yang tersebar di Majalah Bangkit, surat kabar, forum seminar, dan media
cetak lainnya
f. Eling-eling Siro Manungso, yang berisi kumpulan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa gubahan KH Ali Maksum.
Catatan Kaki
[1] ) A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1989, cet.1, halm. 6-7
[2] ) Meskipun putra seorang kiyai besar, Ali Maksum tidak suka dipanggil “Gus” sebagaimana yang lazim digunakan untuk memanggil semua putra kiyai, melaikan lebih suka dipanggil “Wak”. Mungkin kata ini berasal dari “Uwak” yang lazim digunakan sebagai panggilan kehormatan untuk orang-orang yang dituakan
[3] ) “Munjid” merupakan judul buku kamus atau ensiklopedi bahasa arab terlengkap di dunia yang ditulis oleh Louis Ma’luf dari Libanon.
[4]
) Gus Hamid atau KH Abdul Hamid dari Pasuruan, yang lebih dikenal
dengan panggilan “mBah Hamid” ini merupakan seorang ulama’ kharismatik,
pengasuh sebuah pesantren di Jl. Jawa Pasuruan, oleh kaum muslimin pada
umumnya dipandang sebagai seorang Waliyullah yang memiliki banyak
karomah. Beliau adalah seangkatan KH Ali Maksum sewaktu nyantri di
pesantren Tremas, dan menjadi besannya dengan dinikahkannya Gus Nasikh
bin KH Hamid dengan Ny.Hj. Durroh Nafisah binti KH Ali Maksum.
[5] ) KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya, dalam A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan …., ibid., halm. Ix.
[6] ) A. Zuhdi Muhdlor, ibid. halm. 17 (wawancara A. Zuhdi Mukhdlor dengan KH Ali Maksum, 1 Oktober 1989).
[7]
) Semua peserta harus mentaati instruksi atau tata aturan Kiyai Ali.
Yang melanggar akan kena hukuman. KHA Warson pernah dihukum berdiri dan
diikat di tiang masjid sampai pengajian selesai, gara-gara beliau tidak
menghafalkan bait-bait alfiyah. (Wawancara dengan KHA Warson, 04-09-2010).
[8] ) A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 78-77.
Tentang
kemasyhuran nama KH Ali Maksum dan pesantren Al-Muanwwir di dunia
internasional, bahwa berkat jasa KH Ali Maksum atas kepeloporannya dalam
menolak dan menggagalkan rencana penyelenggaraan Konferensi Dewan
Gereja Se-Dunia di Indonesia. Kepeloporan ini ternyata gaungnya sangat
kuat di Negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi, sehingga Sekjen
Rabithah ‘Alam Islami, Syaikh Ali Al-Harakan mengirimkan utusan khusus
menemui beliau untuk mengucapkan terima kasih, bahkan Raja Faishal dari
Saudi Arabia memberi hadiah kenang-kenangan kepada beliau berupa gedung
bertingkat dua yang menyatu dengan kediamannya.
[9] ) A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 90-91
Diantara sambutannya berbunyi :
يَا
اَللَّهُ اِنَّنِيْ ذَلِيْلٌ فَأَعِزَنِيْ وَ اِنَّنِيْ فَقِيْرٌ
فَأَغْنِنِيْ وَ اِنَّنِيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِنِيْ يَا اَللَّهُ يَا اَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ. يَا
سَادَتِيْ اِنِّيْ قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ وَ
إِذَا رَاَيْتُمْ فِيَّ اِعْوِجَاجًا فَقَوِّمُوْنِيْ وَاعْزِلُوْنِيْ
وَاطْرَحُوْنِيْ فِى الْمِزْبَلَةِ
Artinya: “Ya
Alloh, sungguh kami ini hina, maka tinggikanlah kami. Kami ini fakir,
maka kayakanlah. Kami ini lemah, maka kuatkanlah. Ya Arhamarrohimin.
vWahai kawan-kawan, sungguh kalian telah memberi kami kekuasaan, padahal
kami bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Karena itu,jika
kalianmelihat kami berlaku bengkok, maka luruskanlah kami,
tinggalkanlah kami dan bahkan campakkan kami ke tempat kotoran….”
[10] ) Salah satu pidato Kiyai Ali yang monumental soal pentingnya regenrasi, sebagai berikut :
“ …. Marilah
kita terima kehadiran generasi muda, karena wujudnya generasi muda ini
adalah termasuk salah satu kewajiban yang harus kita wujudkan. KApan
mereka menjadi dewasa kalau tidak kita tuntun mulai sekarang, dan kapan
pula mereka mempunyai rasa tanggung jawab, kalau tidak mulai sekarang
kita latih untuk melaksanakan tugas perjuangan ini” (A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 89).
[11] ) A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 86-106
….
Begitu intens keterlibatan KH Ali Maksum dalam NU seolah NU menjadi
jiwanya. Bahkan dengan serius Kiai Ali membuatkan bekal bagi pengurus
dan warga NU dalam meraih sukses organisasi. Bekal yang dimaksud adalah
1) Ats-Tsiqotu bi Nahdlotul Ulama; 2) Al-Ma’rifatu wal Istiqon bi NU; 3) Al-Amalu bi Ta’limi NU; 4) Al-Jihadu fi Sabili NU; dan 5) Ash-Shobru fi sabili NU. (Ibid., halm. 98 – 106).
[12] ) Isi kandungan dari “syi’iran sholawatan”
gubahan Kiai Ali tersebut mengingatkan kaum muslimin tentang kondisi
kehidupan yang mesti dialami oleh setiap orang yang wafat. Ketika wafat,
seseorang akan berpisah dari keluarga dan harta bendanya. Setelah
mengantarkan ke kuburan, mereka akan meninggalkannya. Seluruh harta yang
ditinggalkannya tidak akan dibawa, kecuali selembar kain kafan, bahkan
hartan itu akan menjadi rebutan. sewaktu sowan kehadirat Alloh sendirian
dan tanpa ditemani seorang pun, kamu tidak perlu susah dan bingung.
Yang penting, kerjakan amal sholeh (selama masih hidup di dunia) untuk
meraih ridho Allah.
[13] ) Ke-tawadhu’-an dan tidak suka dihormati secara berlebihan nampak pada sikapnya yang lebih suka dipanggil “Pak Ali” daripada “KH Ali”, “mBah Kiai Ali”. Beliau tidak menyukai orang yang mencium tangannya sambil dibolak-balik ketika bersalaman, berjalan “ngesot”
ketika sowan sebagaimana yang dilakukan abdi dalem kepada rajanya di
Kraton, menundukkan kepala dan diam seribu bahasa seperti patung ketika
berhadapan dengan kiai dan lain-lain. Hal ini disamping untuk
menghindari pengkultusan juga menunjukkan sikap ketawadhu’annya dan
kedekatan hubungannya dengan para santri.
[14]
) Ketika terjadi kasus penganiayaan “pemukulan” yang dilakukan oleh
pemuda Dirman (mantan santrinya yang terganggu kejiwaannya), terhadap
Kiai Ali sesuai memberikan ceramah Haul almarhum KH Bisri Mustofa di
pondok Rembang, semua orang dari berbagai pihak (keluarga, para santri,
kaum muslimin khususnya nahdhiyyin, pemerintah, militer dll) merasa
gerah dan menginginkan agar pelakunya dihukum berat, namun beliau dengan
lapang dada justru memaafkannya tanpa satu pun syarat, bahkan ibunya
yang jualan di pasar Lasem diberi bantuan uang untuk tambahan modal,
sekalipun kasus tersebut berakibat fatal terhadap kesehatannya, dimana
sejak saat itu beliau sering sakit-sakitan sampai wafatnya. (Wawancara
dengan KH Atabik Ali (18-07-2010), KH. Munawwir AF (17-07-2010), dan
bandingkan dengan A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan ….., halm. 29-31
KH Said Agil Siroj |
[16]
) Pada bulan syawal tahun 1982, setelah menghadiri acara Halal Bihalal
di Surabaya, Kiyai Ali mengunjungi alumni angkatan 1970-an, H. Asa
Asy’ari dan Afif Chozin di Tambak Osowilangun Benowo Surabaya, kemudian
mampir ke rumah penulis dan sekaligus diajak kembali ke pesantren
Krapyak. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, beliau mampir
mengunjungi salah seorang pengurus PWNU Jatim, KH Hasyim Lathif di
daerah Sepanjang Sidoarjo, kemudian sesampainya di Solo beliau mampir
lagi mengunjungi KH Umar di PP Al-Muayyad Mangkuyudan Solo dan istirahat
beberapa jam, lalu melanjutkan perjalanannya.
[17] ) Wawancara dengan Drs. KH Henry Sutopo, 17-07-2010
[18] ) Wawancara dengan KH Asyhari Abta, M.Pd.I, 18-07-2010
[19] ) Wawancara tanggal 17 Juli 2010 dengan KH A. Warson Munawwir, KH Asyhari Abta, KH Munawwir AF, KH Heri Sutopo
[20] ) M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta : Gelegar Media Indonesia, 2009, cet.1, halm
[21] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 272
[22] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 280
[23]
) Kegemaran dan kecintaan Kiyai Ali dalam mengkaji kitab-kitab tersebut
terus berlanjut ketika menjadi pengasuh PP AL-Munawwir Krapyak. Hal ini
terlihat pada banyaknya kitab-kitab yang memenuhi lemari-lemari
perpustakaan pribadi di rumahnya. Saking cintanya terhadap kitab-kitab
pribadi tersebut membuat Kiyai Ali terbilang “bakhil”, yakni bakhil
dalam pengertian tidak akan meminjamkan kitab tersebut keluar rumah,
khawatir tidak dikembalikan, karena berkali-kali kitab beliau “hilang”
karena tidak dikembalikan oleh peminjamnya. Oleh karenanya, setiap
lemari perpustakaan pribadinya terdapat tulisan “Boleh dibaca, Haram Dibawa”. (Wawancara dengan Drs. KH Heri Sutopo, 17 Juli 2010).
[24] ) KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya, dalam A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan ….op.cit., halm. Ix.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar