Al-Syeikh Abu Bakar Asy-Syibli, Sang Sufi yang Hendak “Membakar” Neraka
Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia
rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan.
Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi
juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan
jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.
Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly.
Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota
Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad
atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di
lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang
menjadi seorang yang cerdas.
Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok
terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena
perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke
rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87
tahun.
Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab
Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan
keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan
kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya
melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun.
Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.
Dalam buku ajaran dan teladan para sufi, Dr. HM. Laili Mansur menulis:
“Bersama dengan seorang pejabat baru, Abu Bakar Asy-Syibli dilantik oleh Khalifah dan secara resmi dikenakan seperangkat jubah pada dirinya. Setelah pulang, di tengah jalan pejabat baru itu bersin dan batuk-batuk seraya mengusapkan jubah baru itu ke hidung dan mulutnya. Perbuatan pejabat tersebut dilaporkan kepada Khalifah. Dan Khalifah pun memecat serta menghukumnya.”
Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang
bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini
membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah
dan berkata:
“Wahai Khalifah, engkau sebagai manusia tidak suka bila jubah jabatan diperlakukan secara tidak wajar. Semua orang mengetahui betapa tinggi nilai jubah itu. Sang Maharaja alam semesta telah menganugerahkan jubah kepadaku di samping cinta dan pengetahuan. Bagaimana dia akan suka kepadaku jika aku menggunakannya sebagai sapu tangan dalam pengabdianku pada manusia?”
Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat.
Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia
tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing
spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual
Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi
terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi
perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai
gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.
Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.
Maka Junaid pun menjawab:
“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika
kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya
engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang
aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat
dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu
sendiri.”
Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”
Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”
Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota
Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun
lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:
“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam
pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah
engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara,
dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang
kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang
pernah engkau rugikan.”
Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya
untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya.
Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi.
Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”
Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru. “Setiap
kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan
Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam
hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.
Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”
Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai
Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?”
Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang
terhina di antara semua makhluk Allah.”
Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada
nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan
janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”
Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”
Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa
hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan
“Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak
berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”
Membakar Surga
Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa
obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak
membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang
memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.
Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di
kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung
kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga
manusia hanya mengabdi karena Allah.
Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana
ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang
ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan
gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham
dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku
akan penuhi mulutnya dengan emas.”
Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan
menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah,
akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.
Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula
dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”
Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa
mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku
tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”
Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah.
Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus
berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati,
carilah pemiliknya!”
Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli.
Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya
cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing
mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.
Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia
menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan
daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa
berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah
melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun
angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat.
Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.
Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api,
yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah
sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang
lain.”
Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”
Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga
Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan
semakin jauh dan jauh lagi!”
Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.
“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah
jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”
Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.
“Siapa kalian?” pekiknya.
“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.
Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.
Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari
sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa
kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan
sahabatku!”
***
DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan
diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar
ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.
Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”
“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.
Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.
“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.
“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,”
jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia
berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”
As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat
kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan
tongkat-tongkat itu.
Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.
As-Syibli
selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya
yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan
selain Allah.”
As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku
mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan
“Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.
Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.
Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan
Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti
orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.
“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.
As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api
cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras
disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah
sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama
lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang
mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti
jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar
tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?
“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah.
“Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga
aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”
Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta
segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.
“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:
“Aku iri kepada Iblis. Di sini aku duduk dalam dahaga, tapi dia memberi nikmat kepada yang lain. Allah telah berfirman: “Sesungguhnya laknat-Ku kepadamu hingga hari kiamat (QS, 38:78). Aku iri karena Iblislah yang mendapatkan kutukan Allah itu. Meskipun berupa kutukan, bukanlah kutukan itu dari Dia dan dari kekuasaan-Nya?”
Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu?
Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan
membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli
permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan
gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika
pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan
tampak sebagai manik dari kaca.”
Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.
Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin
kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus
oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang
terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah
angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan
tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih
payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak
ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih
berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari
seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000
dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk
bersuci!”
Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.
Sumber Kisah Alkisah Nomor 09 / 25 April – 8 Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar