Candi
Singasari
Candi Singasari terletak di Desa Candi Renggo,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, kurang lebih 9 Km dari kota
Malang ke arah Surabaya.
Candi ini juga dikenal dengan nama Candi Cungkup atau Candi Menara,
nama yang menunjukkan bahwa Candi Singasari adalah candi yang tertinggi
pada masanya, setidaknya dibandingkan dengan candi lain di
sekelilingnya. Akan tetapi, saat ini di kawasan Singasari hanya candi
Singasari yang masih tersisa, sedangkan candi lainnya telah lenyap tak
berbekas.
Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur
yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan
Candi Singasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga
merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa
di halaman candi.
Bangunan Candi Singasari terletak di tengah halaman. Tubuh candi berdiri di atas batur kaki
setinggi sekitar 1,5 m, tanpa hiasan atau relief pada kaki
candi. Tangga naik ke selasar di kaki candi tidak diapit oleh pipi
tangga dengan hiasan makara seperti yang terdapat pada candi-candi lain.
Pintu masuk ke ruangan di tengah tubuh candi menghadap ke selatan,
terletak pada sisi depan bilik penampil (bilik kecil yang menjorok ke
depan). Pintu masuk ini terlihat sederhana tanpa bingkai berhiaskan
pahatan. Di atas ambang pintu terdapat pahatan kepala Kala yang juga
sangat sederhana pahatannya. Adanya beberapa pahatan dan relief yang
sangat sederhana menimbulkan dugaan bahwa pembangunan Candi Singasari
belum sepenuhnya terselesaikan.
Di kiri dan kanan pintu bilik pintu, agak ke
belakang, terdapat relung tempat arca. Ambang relung juga tanpa bingkai
dan hiasan kepala Kala. Relung serupa juga terdapat di ketiga sisi lain
tubuh Candi Singasari. Ukuran relung lebih besar, dilengkapi dengan
bilik penampil dan di atas ambangnya terdapat hiasan kepala Kala yang
sederhana. Di tengah ruangan utama terdapat yoni yang sudah rusak bagian
atasnya. Pada kaki yoni juga tidak terdapat pahatan apapun.
Sepintas bangunan Candi Singasari terlihat seolah
bersusun dua, karena bagian bawah atap candi berbentuk persegi,
menyerupai ruangan kecil dengan relung di masing-masing sisi. Tampaknya
relung-relung tersebut semula berisi arca, namun saat ini kempatnya
dalam keadaan kosong. Di atas setiap ambang 'pintu' relung terdapat
hiasan kepala Kala dengan pahatan yang lebih rumit dibandingkan dengan
yang ada di atas ambang pintu masuk dan relung di tubuh candi. Puncak atap sendiri berbentuk meru bersusun, makin ke atas makin mengecil. Sebagian puncak atap terlihat sudah runtuh.
Candi Singasari pernah dipugar oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1930-an, terlihatan dari pahatan catatan di kaki
candi. Akan tetapi, tampaknya pemugaran yang dilakukan hasilnya belum
menyeluruh, karena di sekeliling halaman candi masih berjajar tumpukan
batu yang belum berhasil dikembalikan ke tempatnya semula.
Di halaman Candi Singasari juga terdapat beberapa
arca yang sebagian besar dalam keadaan rusak atau belum selesai dibuat,
di antaranya arca Syiwa dalam berbagai posisi dan ukuran, Durga, dan
Lembu Nandini.
Sekitar 300 m ke arah barat dari Candi Singasari,
setelah melalui permukiman yang cukup padat, terdapat dua arca
Dwarapala, raksasa penjaga gerbang, dalam ukuran yang sangat besar.
Konon berat masing-masing arca mencapai berat 40 ton, tingginya mencapai
3,7 m, sedangkan lingkar tubuh terbesar mencapai 3,8 m. Letak kedua
patung tersebut terpisah sekitar 20 m (sekarang dipisahkan oleh jalan
raya).
Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas
Negeri Malang (UM), kedua arca Dwarapala itu semula menghadap ke arah
timur, yaitu ke arah Candi Singasari, namun saat ini arca di sisi
selatan sudah berubah arah menghadap agak ke timur laut. Pergeseran arah
tersebut terjadi saat pengangkatannya dari dalam tanah. Sampai akhir
1980-an patung yang berada di sisi selatan masih terbenam dalam tanah
sampai sebatas dada. Di belakang arca yang berada di selatan terdapat
reruntuhan bangunan batu yang nampak seperti tembok. Diduga kedua arca
ini merupakan penjaga gerbang masuk ke istana Raja Kertanegara
(1268-1292) yang letaknya di sebelah barat (dibelakangi) kedua patung
tersebut.
Legenda sekitar Dinasti Singasari
Beberapa candi di Jawa Timur, terutama yang
terletak di sekitar kota Malang, mempunyai kaitan sejarah yang erat
dengan Kerajaan Singasari. Dinasti Singasari merupakan keturunan Ken
Dedes dengan kedua suaminya, Tunggul Ametung akuwu (kepala pemerintahan
setingkat kecamatan) Tumapel dan Ken Arok, rakyat kebanyakan yang
membunuh, mengambil alih kekuasaan, dan sekaligus merebut istri Tunggul
Ametung.
Sejarah Kerajaan Singasari ini melahirkan legenda
tentang keris buatan Mpu Gandring yang sangat terkenal di kalangan
masyarakat Jawa Timur. Menurut legenda, Ken Arok adalah anak hasil
hubungan gelap seorang wanita Desa Panawijen, bernama Ken Endog, dengan
Batara Brahma. Tak lama setelah dilahirkan, bayi Ken Arok dibuang oleh
ibunya di sebuah pekuburan, kemudian ditemukan dan dibawa pulang oleh
seorang pencuri ulung. Dari ayah angkatnya inilah Ken Arok belajar
tentang segala siasat dan taktik perjudian, pencurian dan perampokan.
Setelah dewasa ia dikenal sebagai perampok yang sangat ditakuti di
wilayah Tumapel. Suatu saat Ken Arok berkenalan dengan seorang brahmana
bernama Lohgawe yang menasihatinya agar meninggalkan dunianya yang
hitam. Atas dorongan Lohgawe, Ken Arok berhenti menjadi perampok lalu
mengabdikan diri sebagai prajurit Tumapel.
Pada masa itu yang menjadi akuwu di Tumapel,
wilayah Kerajaan Kediri, adalah Tunggul Ametung. Sang Akuwu memperistri
Ken Dedes, putri Mpu Purwa yang tinggal di Panawijen. Dari perkawinan
tersebut lahir seorang putra bernama Anusapati. Pada suatu hari, Ken
Dedes pulang ke Panawijen untuk menjenguk ayahnya. Ketika Ken Dedes
turun dari kereta kerajaan, bertiuplah angin kencang yang menyingkap
bagian bawah kain panjangnya. Pada saat itu, Ken Arok yang bertugas
mengawal kereta Ken Dedes sempat melihat sekilas betis istri Tunggul
Ametung tersebut. Di mata Ken Arok, betis Ken Dedes memancarkan sinar
yang menyilaukan. Pemandangan tersebut tak mau hilang dari benak Ken
Arok. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Mpu Purwa. Sang Mpu menjelaskan
bahwa sinar yang dilihat Ken Arok merupakan pertanda bahwa Ken Dedes
ditakdirkan sebagai wanita yang akan menurunkan raja-raja di Pulau Jawa.
Ken Arok kemudian memesan sebuah keris kepada
seorang Mpu di Tumapel yang bernama Mpu Gandring. Untuk membuat sebuah
keris yang dapat diandalkan keampuhannya, diperlukan waktu yang cukup
lama untuk menempa, membentuk dan menjalankan ritual yang diperlukan.
Karena keris yang dipesan tak kunjung selesai, Ken Arok menjadi sangat
marah. Ia merebut keris yang belum selesai tersebut lalu menikamkannya
ke tubuh pembuatnya. Menjelang ajalnya, Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken
Arok pun akan mati di ujung keris yang sama dan keris itu akan meminta
korban tujuh nyawa.
Keris buatan Mpu Gandring tersebut oleh Ken Arok
dipinjamkan kepada temannya yang mempunyai watak suka pamer, yaitu Kebo
Ijo. Kebo Ijo memamerkan keris itu kepada teman-teman prajuritnya dan
mengatakan bahwa keris itu adalah miliknya. Setelah banyak orang yang
mengetahui keris itu milik sebagai milik Kebo Ijo, ken Arok lalu
mencurinya dan menggunakannya untuk menikam Tunggul Ametung. Dengan
sendirinya tuduhan jatuh kepada kebo Ijo, sementara Ken Arok berhasil
menggantikan kedudukan Tunggul Ametung sebagai akuwu dan menikahi Ken
Dedes.
Setelah berhasil menjadi akuwu, Ken Arok kemudian
menaklukkan Kerajaan Kediri, yang kala itu diperintah oleh Raja yang
kala itu diperintah oleh Raja Kertajaya (1191-1222), dan mendirikan
Kerajaan Singasari. Ia menobatkan dirinya menjadi raja Singasari yang
pertama dengan gelar Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi. Dari Ken Dedes,
Ken Arok berputra seorang, bernama Mahisa Wongateleng, sedangkan dari
Ken Umang ia juga mendapatkan seorang putra bernama Tohjaya. Kutukan Mpu
Gandring mulai berlaku. Ken Arok dibunuh dan digantikan kedudukannya
oleh Anusapati. Anusapati dibunuh dan digantikan kedudukannya oleh
Tohjaya. Tohjaya dibunuh dan digantikan oleh Ranggawuni, anak Anusapati.
Ranggawuni kemudian dinobatkan sebagai raja dengan gelar
Jayawisnuwardhana dan memerintah Singasari mulai pada tahun 1227 hingga
1268. Jayawisnuwardhana digantikan oleh putranya, Joko Dolog yang
bergelar Kertanegara (1268-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari yang terakhir.
Pemerintahannya ditumbangkan oleh Raja Kediri, Jayakatwang. Namun
Jayakatwang berhasil dikalahkan oleh menantu Kertanegara yang bernama
Raden Wijaya. Raden Wijaya yang merupakan keturunan Mahisa Wongateleng
dan Raja Udayana di Bali ini kemudian mendirikan kerajaan Majapahit dengan pusat pemerintahan di Tarik (Trowulan).
sumber:http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/singasari/singasari.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar