Nikah dan Jual-Beli Melalui Internet
=========
Kemajuan teknologi
dan informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia yang
lebih mudah. Sehingga merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat.
Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang
dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil
maupun besar. Yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi
paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan
istilah Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.
Kontrak elektrik
adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.
Maka jelas, kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet
semata. Tetapi dapat juga dilakukan melalui medium facsimile, telegram,
telex, dan telpon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi
dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jualbeli (bai’), seperti
sighat, ijabqabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap
hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui
tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak,
pembayaran, dan ganti rugi akibat kerusakan. Bahkan, akad nikah pun
sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telpon atao Cybernet,
seperti yang terjadi di Arab Saudi.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media telpon, e-mail,
atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad nikah? Sahkan pelaksanaan
akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah?
Hukum akad jualbeli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum
transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang
diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya,
serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Hal ini berdasar pada pendapat Muhammad Ibn Syihabuddin al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, yang artinya:
(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah
fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual
beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang
bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus
sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun
barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya
secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti
keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya
tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut
kajian yang kuat.
Bahkan Sulaiman bin Muhammad al-bujairomi dalam Hasyiyah al-Bujairami
‘ala al-Khatib menjelaskan adanya tuntutan menyaksikan mabi’ secara
langsung tanpa adanya penghalang walaupun berupa kaca.
Muhammad Syaubari al-Khudhri berkata: “Termasuk padanan
kasus tercegah melihat mabi’-barang yang dijual- adalah melihat mabi’
dari balik kaca. Cara demikian tidak mencukupi syarat jual beli. Sebab,
standarnya adalah menghindari bahaya ketidakjelasan mabi’, yang tidak
bisa dipenuhi dengan cara tersebut. Sebab, secara umum barang yang
terlihat dari balik kaca terlihat beda dari aslinya. Demikian keterangan
dari syarh al-Ramli.”
Namun untuk nikah aqad semacam ini dianggap tidak sah. hal
ini sesuai keterangan Muhammad bin Ahmad as-Syatiri dalam Syarh al-Yaqut
al-Nafis, yang artinya:
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya,
bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan
semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas). Sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar). Begitu pula pelaksanaan akad nikah yang berada di majlis terpisah tidak sah.
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi tidak hadir di majlis akad; (c) di dalam akad nikah disyaratkan lafal yang sharih (jelas). Sedangkan akad melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar). Begitu pula pelaksanaan akad nikah yang berada di majlis terpisah tidak sah.
Sebagaimana diterangkan al-Bujairomi dalam Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib yang artinya:
Ungkapan al-Khatib al-Syirbini (Dan hafal), maksudnya hafal
ucapan wali istri dan suami. Maka tidak cukup hanya mendengar ucapan
mereka dalam tempat gelap. Sebab, suara yang satu dengan yang lainnya
itu mirip. Bagi dua orang saksi nikah sebaiknya juga menghapal jam akad
untuk menentukan nasab anak (dari pasangan tersebut). Ungkapan al-Khatib
al-Syirbini (Bahkan lebih dari enam syarat) … Dan bagi masing-masing
dari dua saksi nikah disyaratkan mampu mendengar, melihat, menghafal dan
mengetahui bahasa dua orang yang berakad.
Selain itu satu hadits dari al-Daruquthni dalam Sunan al-Daruquthni sangat jelas mengenai hal ini, yang artinya:
“Dari ‘Aisyah, ia berkata: Nabi bersabda: “Dalam nikah
harus ada empat orang, yaitu wali, calon suami, dan dua orang saksi.”
Abu al-Khashib tidak diketahui. Namanya adalah Nafi’ bin Maisarah. (HR.
Daruquthni)
Disarikan dari Hasil Keputusan Muktamar NU
ke-XXXII di Asrama Haji Sudiang Makassar Tanggal 7-11 Rabi’ul Akhir
1431 H/22 – 27 Maret 2010 M
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,37930-lang,id-c,syariah-t,Nikah+dan+Jual+Beli+Melalui+Internet-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar