Algoritma Perhitungan Posisi Matahari dan Bulan
Oleh Dhani Herdiwijaya
================
Matahari dan Bulan merupakan obyek langit yang
dipergunakan sebagai acuan perhitungan penanggalan. Secara fisis
keduanya mempunyai karakteristik yang jauh berbeda, yaitu massa, ukuran,
komposisi kimia, temperatur, kecerlangan dan jaraknya terhadap bumi.
Perbedaan massa dan jarak yang sangat besar akan berpengaruh terhadap
gaya gravitasi yang ditimbulkannya. Akibat interaksi gravitasi inilah
akan mengakibatkan kompleksitas lintasan atau orbit yang sudah
dipelajari dan diamati selama berabad-abad oleh para ahli astronomi di
seluruh dunia.
Kompleksitas muncul oleh karena semua planet
saling memberikan kontribusi, berupa gangguan atau perturbasi terhadap
bentuk orbit yang tidak seragam. Seiring dengan itu perkembangan
teknologi observasi dan metoda numerik berjalan cepat untuk saling
melengkapi dalam menyingkap tabir kompleksitas lintasan planet.
Faktor-faktor gangguan akan menyebabkan posisi relatif semua planet
berubah secara dinamis.
Matahari sebagai obyek langit terbesar dalam
sistem tata surya, mempunyai pengaruh gravitasi paling dominan terhadap
seluruh obyek langit dalam tata surya. Oleh karena itu semua planet
mempunyai orbit mengelilingi matahari (heliosentris). Secara umum dalam
perhitungan astronomi, posisi Matahari dapat ditentukan dengan akurasi
tinggi, yaitu ± 0.01º saat matahari berada di titik zenith. Walaupun
demikian tingkat akurasi tersebut hanya berlaku untuk periode tertentu,
yaitu tahun 1950-2050 (Michalsky, 1988).
Semakin tinggi tingkat akurasinya, semakin
pendek masa keberlakuannya. Kebutuhan tingkat presisi yang sangat tinggi
diperlukan untuk perhitungan lintasan satelit, kalibrasi peralatan atau
kebutuhan aplikasi khusus lainnya. Secara keperluan praktis dan
keseharian, presisi sangat tinggi tidak diperlukan. Akan tetapi
pengetahuan algoritma dasar perhitungan tersebut masih tetap diperlukan.
Bretagnon (1982) telah menyusun Variations Seculaires des Orbites
Planetaires Theory (VSOP) dan disempurnakan oleh Bretagnon dan Francou
tahun 1987 atau sering disebut VSOP87. Meeus (1998), berdasarkan
algoritma VSOP87 telah menyusun algoritma dalam perhitungan astronomi
dengan tingkat akurasi sangat tinggi (< ± 0.001º) dengan periode
lebih panjang. Tabel-tabel data yang diperlukan tidaklah ditampilkan
sepenuhnya dalam makalah ini, tapi dapat merujuk Meeus (1998).
Selain data-data ephemeris obyek-obyek langit
dalam VSOP87, terdapat banyak versi ephemeris yang dipergunakan. Secara
umum badan-badan antariksa, baik Amerika Serikat ataupun Eropa dapat
mengeluarkan data-data tersebut. Perolehan data-data ephemeris adalah
melalui observasi, baik dengan satelit di luar angkasa, peluncuran roket
ataupun pengamatan dari teleskop di bumi. Semakin banyak aktivitas
rutin observasi benda langit atau semakin sering satelit diluncurkan,
semakin baik (banyak) data yang diperoleh dan semakin akurat hasil
perhitungan. Sehingga dalam melakukan perhitungan komputasi perlu
disebutkan ephemeris yang dipergunakan.
Matahari dan Bulan Saat Terbit
Posisi Matahari dan Bulan saat terbit dan
tenggelam mempunyai ketinggian yang rendah terhadap medan pandang
sepanjang horizon. Pengaruh atmosfer dan kondisi lokal mengurangi
tingkat akurasi, seperti dibahas dalam bab sebelumnya. Efek refraksi,
gradien kerapatan atmosfer dan temperatur menyebabkan perbedaan indeks
bias setiap lapisan atmosfer. Sehingga posisi Matahari dan Bulan
merupakan posisi semu. Pengetahuan lengkap tentang hal ini sangatlah
sulit dalam hal akurasi tekanan, temperatur dan kerapatan atmosfer,
sehingga banyak dilakukan pendekatan ataupun memberi nilai rata-rata
tertentu yang berlaku di semua tempat.
Walaupun demikian, secara umum ketelitian dapat
mencapai kurang dari 2 menit waktu dengan penggunaan data ephemeris yang
sesuai melalui prosedur. Untuk lebih memperoleh data akurat tekanan dan
temperatur di satu tempat yang sudah dipilih adalah dengan meletakkan
instrumentasi meteorologi dan pengamatan obyek langit (bintang)
ketinggian rendah secara teratur. Dalam hal ini akan diperoleh pola-pola
bulanan dan tahunan kondisi lokal.
Tingkat akurasi bergantung terhadap pengetahuan
lengkap fisis fungsi gangguan semua obyek langit, khususnya planet
bermassa besar terhadap elemen orbit (dalam hal ini Bulan) dan kondisi
lokal atmosfer. Faktor lain adalah pendekatan terhadap fungsi matematis
atau seberapa banyak suku-suku dalam polinomial yang dipergunakan.
Kemudian tujuan melakukan perhitungan akan menentukan tingkat akurasi
yang diinginkan.
Misalkan momen gerhana matahari total, saat kita
hanya ingin tahu daerah mana yang terlewati bayangan bulan, maka
ketelitian 100 km masih memadai. Lain halnya jika seseorang memimpin dan
mengorganisasi ekspedisi gerhana matahari total, maka akurasi 1 km di
daerah tertentu harus dapat ditentukan. Demikian pula jika hanya ngin
diketahui waktu terbit dan tenggelam planet, maka ketelitian ± 0.01º
sudah memadai. Akan tetapi jika ingin merencanakan penerbangan ke Bulan,
maka ketelitian 1 detik busur harus dicapai dengan waktu komputasi jauh
lebih banyak.
Dhani Herdiwijaya adalah
Solar-Terrestrial Physics Research Group, Astronomy Division, faculty
Mathematics and Natural Sciences, Institut Teknologi Bandung. Makalah
disampaikan pada acara Diklat Nasional Pelaksana Rukyat Nahdatul Ulama,
oleh Lajnah falakiyah NU di Masjid Agung Jawa Tengah, 19 Desember 2006.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,14-id,8732-lang,id-c,teknologi-t,Algoritma+Perhitungan+Posisi+Matahari+dan+Bulan-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar