Pengagungan Terhadap Nabi SAW : Antara Peribadatan dan Sopan Santun
Oleh: Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
Banyak orang yang salah
paham terhadap hakekat pengagungan atau penghormatan di satu sisi, dan hakekat
penyembahan atau pengkultusan di sisi lain. Mereka mencampuradukkan pemahaman
terhadap kedua hakekat tersebut. Mereka beranggapan bahwa berbagai bentuk
pengagungan, penghormatan, atau penyanjungan merupakan suatu bentuk
pengkultusan, penyembahan atau peribadatan kepada orang yang diagungkan.
Misalnya sikap berdiri untuk menghormat, mencium tangan, menghormati Rasulullah
saw dengan panggilan “Sayyidina” (tuan, penghulu, pemimpin kami) atau “Maulana”
(tuan kami), berdiri dengan sikap hormat
dan merunduk di depan makam beliau sewaktu menziarahinya, dan
sikap-sikap penghormatan lainnya. Mereka berpandangan bahwa semuanya tadi
merupakan sikap dan prilaku yang berlebih-lebihan yang dapat
mengantarkan pelakunya kepada penyembahan atau pengkultusan kepada sesuatu
selain Allah swt. Pandangan semacam itu, pada hakekatnya, merupakan cermin kebodohan dan ketololan yang tidak disukai Allah swt dan Rasul-Nya,
serta bentuk pemaksaan diri yang tidak diharapan oleh Syariat Islam.
Nabi Adam as adalah manusia
pertama, sekaligus hamba Allah yang shaleh pertama kali. Allah swt
memerintahkan para malaaikat
agar bersujud kepada sebagai wujud penghormatan disebabkan ilmu yang dimiliki
beliau, sekaligus sebagai pengakuan mereka kepada beliau selaku makhluk pilihan
Allah swt. Allah swt berfirman :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا
إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا
(61)
قَالَ
أَرَأَيْتَكَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ عَلَيَّ
“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis.
Dia berkata,"Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari
tanah?". Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah orangnya
yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh
kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan
keturunannya, kecuali sebahagian kecil". (QS
Al-Isra’,[17] : 61)
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ
خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Iblis berkata: "Aku
lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia
Engkau ciptakan dari tanah". (QS Shaad,[38] : 76)
فَسَجَدَ
الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ(30)إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى أَنْ يَكُونَ مَعَ
السَّاجِدِينَ
“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama,
kecuali iblis. Ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu.” (QS Al-Hijr,[15] : 30)
Para malaikat menghormati orang yang dimuliakan Allah swt. Sementara itu, Iblis merasa takabbur, sehingga ia enggan sujud menghormat kepada manusia Adam yang diciptakan dari tanah. Oleh karenanya, iblis adalah makhluk pertama yang mencoba mengukur kebenaran agama dengan pendapatnya, sebagaimana yang tercermin dalam ucapannya: “Aku lebih baik darinya”, disertai dengan suatu alasan bahwa dia diciptakan dari api, dan manusia Adam diciptakan dari tanah.
Dengan kata lain, iblis memandang rendah
manusia Adam yang dimuliakan Allah swt tersebut, lalu ia menolak perintah-Nya
untuk bersujud hormat kepada Adam. Atas sikapnya ini, iblis merupakan makhluk
pertama yang menyombongkan diri dan enggan menghormati manusia Adam yang telah
dihormati Allah swt, sehingga dengan sendirinya dia menjauhkan diri dari
rahmat-Nya. Pada hakekatnya, sikap takabburnya iblis tersebut sama artinya
dengan takabbur kepada Allah swt selaku Pencipta manusia Adam. Sementara itu,
sikap bersujud hormat kepada manusia Adam, pada hakekatnya, sama artinya dengan
bersujud hormat kepada Allah swt, disebabkan bahwa bersujud tersebut adalah
atas dasar perintah dari-Nya. Dengan kata lain, sikap bersujud kepada Adam
dijadikan sebagai tolok ukur penghormatan dan pemuliaan mereka kepada Allah
swt. Konon iblis adalah termasuk golongan makhluk yang bertauhid,
namun sayang bahwa ketauhidannya tidak
membawa kemanfaatan dan kemaslahatan bagi dirinya. Na’udzu billahi min dzalik.
Tentang pengagungan kepada
orang-orang shaleh, Allah swt mengetengahkan fenomena sujud-nya saudara-saudara
Yusuf as kepadanya didalam firman-Nya :
وَرَفَعَ
أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (QS Yusuf,[12] : 100)
Mengenai
pengagungan kepada Nabi Muhammad saw, Allah swt menjelaskan hak-hak beliau
dalam beberapa firman-Nya :
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا(8)لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan, Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi,
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,” (QS Al-Fath,[48] : 8-9)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” (QS Al-Hujurat,[49]
: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ
فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ
لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ(2)إِنَّ
الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ
امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى
لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya
(suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus
(pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang
merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah
diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (QS Al-Hujurat,[49] : 2-3)
لَا
تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain).” (QS An-Nur,[24] : 63)
Selain di
atas, Allah swt juga melarang para
sahabat menghadap kepada Rasulullah saw dengan ucapan yang tidak sopan dan
mendahaului pembicaraan beliau. Sahal bin Abdullah ra berkata, “Jangan
berbicara sebelum beliau saw berbicara, atau jangan berbicara mendahului
beliau. Jika beliau sudah memulai berbicara, dengarkan pembicaraannya dengan
tekun”. Katanya lagi, “Ayat di atas adalah sebagai larangan mendahului beliau
saw dalam memutuskan suatu persoalan sebelum beliau memutuskannya dan larangan
mengeluarkan fatwa, misalnya fatwa yang berkaitan dengan pembunuhan dan
persoalan keagamaan lainnya, kecuali atas perintah beliau. Dan juga berisi
larangan memberi nasehat, dakwah, amar makruf dan nahi munkar yang bertentangan
dengan sunnah beliau”.
Sedangkan akhir ayat 1 QS
al-Hujurat: “ … dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”, As-Sulamy menafsirkannya : “Takutlah kepada Allah swt
dalam hal menyepelekan hak-hak-Nya, karena Dia Maha Mendengar terhadap semua
ucapanmu dan Maha Melihat terhadap sepak terjangmu”.
Selanjutnya, ayat di atas juga
menjelaskan larangan Allah swt terhadap kaum muslimin, agar mereka tidak
meninggikan suaranya melebihi suara Rasulullah saw dan tidak mengeraskan
ucapannya sebagaimana yang biasa dilakukan sebagian orang kepada sebagian yang
lain, seperti memanggil beliau dengan menyebut namanya.
Abu
Muhammad al-Makky berkata, “Jangan mendahului beliau saw dalam berbicara, atau
berbicara kepada beliau secara salah. Jangan memanggil beliau seperti panggilan
sebagian orang kepada sebagian yang lain. Akan tetapi bersikaplah kepada beliau
dengan penuh penghormatan, pemuliaan dan rendah hati, serta memanggilnya dengan
panggilan yang disukai beliau, seperti dengan panggilan : Ya Rasulullah, Ya
Nabiyyallah…. Hal ini senada dengan firman Allah : “Janganlah kamu jadikan
panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada
sebahagian yang lain” (QS An-Nur,[24] : 63).
Ulama lainnya
menjelaskan, “Janganlah berbicara kepada Rasulullah saw kecuali dengan maksud
untuk bertanya atau memohon penjelasan”.
Kemudian akhir ayat 2 QS al-Hujurat menjelaskan tentang ketakutan dan
kekhawatiran mereka kepada Allah swt, dengan suatu harapan agar amal perbuatan
mereka tidak terhapus pahalanya ketika itu.
QS
Al-Hujurat,[49] : 1-3 di atas turun sewaktu sekelompok orang menghadap kepada
beliau saw seraya memanggil, “Hai Muhammad ! Keluarlah kepada kami”,
lalu Allah swt mencela ketololan dari kelakuan mereka tersebut dan menjelaskan
bahwa sebagian besar mereka adalah tidak berakal, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ
أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“… Sesungguhnya
orang yang memanggil kamu dari luar kamarmu, kebanyakan mereka tidak berakal”
(QS Al-Hujurat : 4)
Amr bin Ash ra
berkata, “Tidak seorang pun yang aku cintai dan lebih aku hormati di depan
mataku selain diri Rasulullah saw. Aku tidak mampu memenuhi mataku untuk
memandang beliau disebabkan keagungannya.
Sekiranya aku ditanya dan diminta untuk menjelaskan tentang diri beliau,
tentu aku tidak mampu untuk menjelaskannya dengan sempurna, karena aku tidak
mampu memenuhi mataku untuk menatap beliau secara langsung”. (HR Muslim).
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan
hadis dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw pernah keluar menemui para
sahabat muhajirin dan anshar. Mereka duduk bersama beliau. Di sana ada Abu
Bakar dan Umar. Tidak seoang pun di antara mereka yang berani mengangkat
kepalanya untuk sekedar menatap wajah beliau, selain Abu Bakar dan Umar. Kedua
sahabat dekatnya tersebut memandang wajah beliau, dan beliau pun memandang kedua
sahabatnya itu. Mereka berdua tersenyum kepadsa beliau, dan beliau pun
tersenyum kepada mereka berdua.
Usamah
bin Syuraik ra menceritakan, bahwa dirinya pernah datang sowan menemui
Rasulullah saw. Para sahabat yang ada di sekeliling beliau sama anteng tak
bergerak, seakan-akan di atas kepala mereka bertengger seekor burung. Bila
beliau saw mulai berbicara, mereka diam seribu bahasa untuk mendengarkan
pembicaraan beliau seraya menundukkan kepalanya, seakan-akan bertengger seekor
burung di atas kepala mereka.
Urwah bin
Mas’ud ra menceritakan pengalamannya, bahwa sewaktu diutus oleh suku Quraisy
untuk menghadap kepada Rasulullah saw pada tahun qadhiyyah, dia melihat
suatu pemandangan yang menakjubkan, betapa para sahabat sangat menghormati dan
mengagungkan beliau. Setiap kali beliau wudhu, mereka saling berebutan
mendapatkan air sisa wudhunya, seakan-akan mereka hendak bertarung untuk
memperebutkan sesuatu. Beliau saw tidak meludah dan berdahak, melainkan mereka
berebutan menyediakan telapak tangannya untuk menampung air ludah dan dahak
beliau, lalu diusap-usapkan ke wajah dan sekujur tubuh mereka. Tidak sehelai
pun rambut beliau yang jatuh, melainkan mereka saling berebutan untuk
mengambilnya. Bila beliau saw mengeluarkan perintah, mereka sangat antusias
untuk melaksanakannya. Bila beliau berbicara, mereka rendahkan suaranya,
menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap wajah beliau, karena rasa
hormatnya kepada beliau.
Setelah
kembali kepada suku Quraisy, Urwah berkata kepada kaumnya, “Hai sekalian kaum
Quraisy ! Aku pernah mendatangi Kisra Persia di keratonnya, pernah menemui
Kaisar Romawi di istananya, bahkan pernah menghadap kepada Raja Najasyi (Negus)
di istananya. Demi Allah, aku belum pernah melihat seorang pun raja di tengah-tengah rakyatnya yang
sepadan dengan Muhammad di tengah-tengah para sahabatnya”. Menurut riwayat yang
lain, Urwah berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku sama sekali tidak pernah
melihat seorang pun raja yang sangat dihormati dan disanjung-sanjung rakyatnya,
melebihi Muhammad. Aku benar-benar menyaksikan suatu kaum (yakni kaum muslimin)
yang tidak akan begitu saja menyerahkan pemimpinnya (yakni Nabi Muhammad saw)
untuk selamanya”.
Imam at-Thabrani dan Ibnu
Hibban dalam kitab “Shahih”-nya menuturkan sebuah hadis dari Usamah bin Syuraik
ra, bahwa ia berkata: “Kami sedang duduk-duduk di samping Rasulullah saw
seakan-akan di atas kepala kami bertengger seekor burung. Tidak seorang pun di
antara kami yang berani berbicara sewaktu
sekelompok orang datang menemui beliau seraya berkata, “Siapa orangnya yang
paling dicintai Allah swt ?”. Beliau menjawab, “Orang yang paling baik budi
pekertinya”. Demikianlah yang tertulis
didalam kitab “At-Targhib” juz 4, halaman 187.
Al-Baihaqi
mengetengahkan hadis dari Az-Zuhri, katanya: “Aku diberi tahu orang Anshar yang
tidak tinggal di Tihamah, bahwa Rasulullah saw bila berwudhu, berdahak dan
meludah, para sahabat berebut sisa air wudhu, dahak dan air ludahnya, lalu
diusap-usapkan pada wajah dan kulit tubuh mereka. Beliau saw bersabda, “Kenapa
kalian lakukan ini ?”. Mereka jawab, “Dengan perbuatan ini, kami ingin
mendapatkan keberkahannya” Selanjutnya beliau saw bersabda, “Barangsiapa yang
ingin dicintai Allah swt dan Rasul-Nya, hendaklah ia berkata jujur, menunaikan
amanat dan tidak menyakiti tetangganya”.
Walhasil.
Dalam pembahasan di sini, ada dua persoalan besar yang perlu mendapatkan
perhatian khusus. Pertama: Wajibnya mentauhidkan ke-rububiyah-an Allah disertai
I’tiqad bahwa Allah Maha Esa dalam Dzat, Sifat dan Af’al-Nya dari
sekalian makhluk-Nya. Siapa saja yang beri’tiqad bahwa pada diri makhluk
terdapat kesekutuan, keidentikan dan keserupaan dengan Dzat, Sifat dan Af’al
Allah swt, maka ia benar-benar melakukan kesyirikan. Seperti I’tiqadnya kaum
musyrikin jahiliyah yang menganggap bahwa dalam diri setiap berhala terdapat
sifat-sifat uluhiyyah (“Ketuhanan”) dan menganggap bahwa berhala
tersebut berhak menerima peribadatan.
Demikian pula orang yang mengurangi, menyepelekan dan merendahkan
martabat Rasulullah saw, ia benar-benar telah melakukan kemaksiatan dan
kekufuran. Kedua: Wajibnya menghormati dan mengagungkan Rasulullah saw,
meninggikan derajat, status dan martabat beliau di atas sekalian makhluk.
Mengenai orang
yang berlebih-lebihan dalam berbagai bentuk penghormatan dan pengagungan kepada
diri Rasulullah saw, namun tidak sampai memberikan kepada beliau sifat-sifat uluhiyyah
yang sebenarnya hanya pantas dimiliki Allah swt, maka tindakannya itu masih
dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama dan tidak keluar dari garis
risalah beliau saw. Jika pada diri kaum muslimin ditemukan suatu ucapan yang
disandarkan atau dinisbatkan kepada sesuatu selain Allah swt, maka ucapan
tersebut harus ditafsirkan sebagai ucapan “Majaz Aqli” yang juga sering
digunakan didalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis nabawi.
_________________________________________________
Sumber : Diambil dari salah satu bagian
dari kitab :
|
|
Judul Asli
|
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi
Al-Maliki
|
Alih Bahasa
|
: Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan
(PYPD)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar