Wasiat KH. Hasyim Asy’ari Untuk Menjaga Aqidah Kita
Al
Ghazali menceritakan sebuah kisah, bahwa disebuah perbukitan nan elok,
berdirilah sebuah rumah nan indah dan sedap dipandang mata. Disekeliling
rumah itu dirimbuni pelbagai pepohonan yang rindang. Halamannya penuh
dengan rerumputan dan bunga-bunga yang menebar keharuman. Begitu
mempesona dan memberikan rasa nyaman bagi siapapun yg menghuninya,
karena dirawat dengan perawatan yang alami.
Di
kesenjaan usianya, si empunya rumah tersebut berwasiat kepada anaknya
agar seantiasa menjaga dan merawat pohon dan rumput-rumput itu sebaik
mungkin. Begitu pentingnya, samapi-sampai ia berkata “Selama engkau
masih bertempat tinggal dirumah ini, jangan sampai pohon dan tanaman ini
rusak, apalagi hilang”.
Ketika
tiba saatnya si empunya rumah meninggal dunia, sang anak menjalankan apa
yang telah diperintahkan oleh mendiang ayahnya dengan sungguh-sungguh.
Rumah itu betul-betul dirawat, demikian pula pohon dan rumputnya. Tidak
hanya itu, si anak kemudian berinisiatif untuk mencari jenis tanaman
lain yang menurutnya lebih indah dan lebih harum untuk ditanam dihalaman
rumah. Maka, rumah itu semakin menggoda untuk dilihat dan dinikmati.
Si anak
berbunga bunga hatinya. Dibenaknya terlintas kebanggaan bahwa dirinya
telah berhasil menjalankan amanah dengan menjaga pepohonan dan
rerumputan yang menjadi penyejuk rumah lebih dari yang diperintahkan
oleh orang tuanya. Bahkan akhirnya, tumbuhan baru yang ditanam si anak
mengalahkan “rumput asli” baik dari segi keelokan maupun harumnya.
Namun yang
patut disayangkan, tanaman dan rumput yang pernah diwasiatkan oleh
ayahnya akhirnya ditelantarkan, sebab menurutnya sudah ada rumput dan
tanaman lain yang lebih bagus, lebih sejuk dipandang, lebih harum dan
sebagainya. Bahkan saat “rumput asli” tersebut rusak, tak ada rasa
penyesalan di hati si anak. “Toh sudah ada tanaman dan rumput yg lebih
bagus” pikirnya.
Tetapi
anehnya, ketika “rumput asli” peninggalan orang tuanya itu rusak dan
musnah tak tersisa, bukan kenyamanan dan ketentraman yg didapat. Karena
ternyata, rumah tersebut lambat laun menjelma menjadi tempat istirahat
yang menakutkan. Betapa tidak, rumah tersebut dimasuki berbagai macam
ular, baik besar maupun kecil yang membuat si anak terpaksa harus
meninggalkan rumah tersebut.
Mencermati kisah ini, Al Ghazali memaknai wasiat orang tua tersebut dengan dua hal:
Pertama,
agar si anak dapat menikmati keharuman rumput yang tumbuh disekitar
rumahnya. Dan makna ini dapat ditangkap dengan baik oleh nalar si anak.
Kedua,
agar rumah tersebut aman. Sebab aroma rumput dan tanamn tersebut dapat
mencegah masuknya ular kedalam rumah yang tentu berpotensi mengancam
keselamatan penghuninya. Namun makna ini tidak ditangkap oleh nalar si
anak. ( Qodliyyah al Tasawwuf al Munqidz min al Dlolal, 140 ).
Kisah ini
sangat relevan jika di analogikan dengan wasiat syaikh KH. Hasyim
Asy’ari untuk menghindari ajaran beberapa tokoh yg menurut beliau tidak
layak untuk dijadikan panutan oleh ummat islam indonesia, karena banyak
hal yang bertentangan dengan apa yang diyakini dan diamalkan oleh ummat
islam Indonesia yang dibawa oleh wali songo.
Kata
Syaikh Hasyim asy’ari, sebagaimana telah maklum bahwa kaum muslimin di
indonesia khususnya tanah jawa sejak dahulu kala menganut satu pendapat,
satu madzhab dan satu sumber. Dalam fiqih, menganut madzhab Imam
Syafi’i, dalam ushuluddin menganut madzhab Abu Hasan al Asy’ari dan Abu
Manshur al Maturidi, dan dalam tasawuf menganut madzhab imam Ghazali dan
Al junaidi.
Kemudian
pada tahun 1330 H, muncullah berbagai kelompok dan pendapat yang
bertentangan serta tokoh yang kontroversial yang berasal dari timur
tengah, khusunya dari saudi.
Untunglah
masih ada kelompok yang tetap konsisten dengan ajaran ulama salaf dan
berpedoman pada kitab kitab mu’tabaroh/representatif, mencintai ahlul
bait, para auliya, dan para sholihin, bertabaruk kepada mereka,
berziarah kubur, mebacakan talqin untuk mayyit, meyakini adanya
syafa’at, bertawasul dll . ( Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah: 9, Risalah
Sunnah wal Bid’ah: 19) .
Wasiat Syaikh Hasyim Asy’ari tersebut bisa dimaknai dengan :
- Agar kaum muslimin khusunya warga nahdliyyin dalam mengamalkan ajaran islam, selalu berpegang kepada madzhab yang Mu’tabaroh yang telah disepakati oleh para ulama
- Menjaga aqidah ummat islam agar tidak terpengaruh atau dimasuki faham yang bertentangan dengan ajaran ulama salaf yang sudah turun temurun diamalkan oleh ummat Islam dunia khususnya Indonesia dan Nahdliyyin.
(Dikutip dari Majalah Risalah NU edisi 07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar