Syariah
Hukum Bom Bunuh Diri
====================
Lagi-lagi bom
bunuh diri terjadi di Indonesia, tepatnya di Poso. Tidak terbayang di
benak bangsa ini ada tindak kekerasan dan teror semacam bom bunuh diri.
Mengingat posisi negara ini dalam keadaan damai dan bukan di tengah
peperangan. Apalagi jika menilik umur bangsa Indonesia ini yang memiliki
sejarah panjang semenjak Nusantara. Tentunya bangsa ini telah menginjak
masa dewasa dan bukan bangsa yang masih muda.
Akan tetapi itulah yang terjadi. bom bunuh diri meledak lagi. Hal ini menunjukkan kurangnya kedewasaan bangsa kita dalam menyikapi berbagai masalah yang ada. Seolah sudah tidak ada jendela kompromi dan solusi.
Kejadian semacam ini (kekerasan dan teror) sangat merugikan bangsa dan Negara, apalagi jika mempertimbangkan sektor ekonomi dan investasi yang sedang mencari format dan merayu kepercayaan dunia luar. Apapun alasannya hal ini tidak dapat dibenarkan begitu juga kaca mata fiqih memandangnya.
Seperti yang pernah dibahas oleh Bahtsul Masail NU dalam Munas Alim Ulama di Pondok Gede tahun tahun 2002 tentang hukum intihar (mengorbankan diri). Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa bom bunuh diri (intihar) yang dilakukan oleh para teroris tidak akan mengantarkan mereka kepada level syuhada. Karena sejatinya motiv mereka adalah adalah frustasi (putus asa) dalam menghadapi hidup. Artinya putus asa dalam mencari jalan solusi kehidupan yang benar.
Dalam keputusan itu dengan jelas diterangkan bahwa “Bunuh diri dalam Islam adalah diharamkan oleh agama dan termasuk dosa besar, akan tetapi tindakan pengorbanan jiwa sampai mati dalam melawan kezaliman, maka dapat dibenarkan bahkan bisa merupakan syahadah, jika 1) Diniatkan benar-benar hanya untuk melindungi atau memperjuangkan hak-hak dasar (al-dharuriyyat al-khams) yang sah, bukan untuk maksud mencelakakan diri (ahlak al-nafs). 2) Diyakini tidak tersedia cara lain yang lebih efektif dan lebih ringan resikonya. 3) Mengambil sasaran pihak-pihak yang diyakini menjadi otak dan pelaku kezaliman itu sendiri.”
Jika demikian adanya, sungguh bom bunuh di Poso dan berbagai macam teror yang lain sangatlah jauh dari syarat syahadah. Karena bom itu bisa dianggap mencelakkan diri dan menerjang hak asasi manusia. Dan sesungguhnya masih banyak jalan keluar untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Keputusan ini berdasar pada berbagai referansi yang semua menerangkan dibolehkannya bunuh dri dalam peperangan bukan dalam keadaan damai. Demkian seperti yang termaktub dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
Ibn Khuwaizin Mindad berkata: “Adapun jika seseorang berani menyerang musuh yang berjumlah seratus, sejumlah tentara musuh, sekelompok pencuri, penyerang dan pemberontak, maka untuk hal ini ada dua kondisi: Jika ia mengetahui dan menduga kuat dirinya akan menewaskan musuh yang diserangnya dan ia selamat, maka hal itu bagus. Demikian pula jika ia mengetahui dan menduga kuat ia akan mati, namun akan bisa membuat mereka kalah, kacau atau menimbulkan akibat yang menguntungkan kaum muslimin, maka hukumnya juga boleh. Telah sampai kepadaku kisah pasukan kaum saat melawan pasukan Persia (Iran), kuda-kuda kaum muslimin lari ketakutan dikarenakan gajah. Maka salah seoarang anggota pasukan bertekat membuat patung gajah dari tanah liat sehingga kudanya menjadi tenang dan terbiasa melihat gajah. Maka ketika berperang kudanya tidak takut lagi pada gajah sehingga berani menghadapi pasukan gajah menyerangnya. Lalu ia diingatkan: “Sungguh hal itu akan membuatmu terbunuh.” Lalu ia menjawab; “Tidak mengapa saya terbunuh tapi kaum muslimin mendapat kemenangan.” Begitu pula dalam perang Yamamah ketika Bani Hanifah bertahan di suatu kebun. Salah seorang pasukan muslimin berkata: “Letakkan aku dalam perisai, lalu lemparkan aku kepada mereka.” Kemudian para pasukan lain melakukannya dan ia melawan musuh sendirian serta berhasil membuka pintu kebun tersebut.”
Saya (al-Qurthubi) berkata: “Termasuk kasus serupa, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw.: “Bagaimana pendapat anda jika saya terbunuh dalam peperangan di jalan Allah dalam keadaan sabar dan mencari pahala?” Beliau menjawab: “Engkau mendapat surga.” Lalu laki-laki itu menceburkan diri di tengah-tengah musuh sehingga terbunuh. Dalam riwayat Shahih Muslim dari Anas bin Malik, sungguh pada hari perang Uhud Rasulullah Saw. terpojok seorang diri, dalam pasukan tujuh orang dari Anshar dan dua orang dari Quraisy. Ketika musuh mendekatinya, beliau bersabda: “Siapa yang bisa mengenyahkan mereka dariku? Dan ia mendapat surga.”, atau: “ “Dia menjadi sahabatku di surga.” Lalu salah seorang dari sahabat Anshar itu menyerang maju sampai terbunuh. Hal tersebut terus berlangsung sehingga ketujuh orang tersebut mati. Lalu beliau Saw. bersabda: “Kami belum memberi petunjuk teknik berperang kepada para sahabat kami.“ Begitu riwayatnya, kata أَنْصَفْنَا dengan sukun huruf fa’ dan kata أَصْحَابَنَا dengan dibaca fathah huruf ba’nya, yang berarti: “Kami belum memberi petunjuk teknik berperang kepada para sahabat kami.” Dan diriwayatkan dengan dibaca fathah huruf fa’nya dan dibaca raf’ huruf ba’nya (berarti: “Para sahabat kami tidak membela kami.”) Argumennya, riwayat itu kembali kepada para sahabat yang lari meninggalkan Nabi Saw. Wallahu a’lam.
Muhammad bin al-Hasan berpendapat: “Seandainya satu orang melakukan penyerangan kepada seribu musuh dengan sendirian, maka hal itu tidak mengapa jika ia dapat mengharap keselamatan diri atau mengalahkan musuh. Namun jika tidak demikian, maka hukumnya makruh. Karena berarti ia menjerumuskan diri sendiri dalam kematian yang tidak memberi manfaat pada kaum muslimin. Jika tujuannya adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin dalam melawan musuh sehingga mereka mau meniru tindakannya, maka hal itu tidak jauh dari kebenaran diperbolehkannya. Karena ada manfaatnya bagi kaum muslimin dari satu sisi. Adapun jika tujuannya untuk menimbulkan ketakutan pada musuh dan supaya musuh mengetahui militansi muslimin dalam membela agamanya, maka hal itu tidak jauh dari kebenaran diperbolehkannya. Ketika dalam tindakannya itu terdapat keuntungan bagi pasukan muslimin, lalu ia mati demi kemuliaan agama Allah dan menghina kekafiran, maka hal itu merupakan kedudukan mulia yang mendapat pujian dari Allah bagi para mukminin sebagaimana dalam firmanNya: “Sungguh Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa-jiwa mereka.” (QS. Al-Taubah: 111) Dan ayat-ayat lainnya yang menyebut pujian Allah kepada mereka yang rela mengorbankan jiwanya.
Hukum tersebut seharusnya berlaku pula pada hukum amr ma’ruf nahi munkar. Yaitu ketika seseorang mengharap keuntungan bagi agama, lalu ia mengorbankan diri untuk hal itu sampai mati, maka ia berada di jajaran tertinggi derajat para syuhada. Allah Swt. berfirman: “Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.” (QS. Luqman: 17) Ikrimah meriwayatkan dari Ibn Abbas Ra., dari Nabi Saw., sungguh beliau bersabda: “Syuhada’ yang paling utama adalah Hamzah bin Abdul Muttalib dan seseorang yang menyuarakan kebenaran kepada penguasa zalim sehingga ia membunuhnya.”
(sumber: Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423 Tentang Masail Maudhuiyyah As-Siyasiayh)
Akan tetapi itulah yang terjadi. bom bunuh diri meledak lagi. Hal ini menunjukkan kurangnya kedewasaan bangsa kita dalam menyikapi berbagai masalah yang ada. Seolah sudah tidak ada jendela kompromi dan solusi.
Kejadian semacam ini (kekerasan dan teror) sangat merugikan bangsa dan Negara, apalagi jika mempertimbangkan sektor ekonomi dan investasi yang sedang mencari format dan merayu kepercayaan dunia luar. Apapun alasannya hal ini tidak dapat dibenarkan begitu juga kaca mata fiqih memandangnya.
Seperti yang pernah dibahas oleh Bahtsul Masail NU dalam Munas Alim Ulama di Pondok Gede tahun tahun 2002 tentang hukum intihar (mengorbankan diri). Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa bom bunuh diri (intihar) yang dilakukan oleh para teroris tidak akan mengantarkan mereka kepada level syuhada. Karena sejatinya motiv mereka adalah adalah frustasi (putus asa) dalam menghadapi hidup. Artinya putus asa dalam mencari jalan solusi kehidupan yang benar.
Dalam keputusan itu dengan jelas diterangkan bahwa “Bunuh diri dalam Islam adalah diharamkan oleh agama dan termasuk dosa besar, akan tetapi tindakan pengorbanan jiwa sampai mati dalam melawan kezaliman, maka dapat dibenarkan bahkan bisa merupakan syahadah, jika 1) Diniatkan benar-benar hanya untuk melindungi atau memperjuangkan hak-hak dasar (al-dharuriyyat al-khams) yang sah, bukan untuk maksud mencelakakan diri (ahlak al-nafs). 2) Diyakini tidak tersedia cara lain yang lebih efektif dan lebih ringan resikonya. 3) Mengambil sasaran pihak-pihak yang diyakini menjadi otak dan pelaku kezaliman itu sendiri.”
Jika demikian adanya, sungguh bom bunuh di Poso dan berbagai macam teror yang lain sangatlah jauh dari syarat syahadah. Karena bom itu bisa dianggap mencelakkan diri dan menerjang hak asasi manusia. Dan sesungguhnya masih banyak jalan keluar untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Keputusan ini berdasar pada berbagai referansi yang semua menerangkan dibolehkannya bunuh dri dalam peperangan bukan dalam keadaan damai. Demkian seperti yang termaktub dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
اخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ فِي اقْتِحَامِ الرَّجُلِ فِي الْحَرْبِ وَحَمْلِهِ عَلَى
الْعَدُوِّ وَحْدَهُ. فَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُخَيْمَرَةَ وَالْقَاسِمُ
ابْنُ مُحَمَّدٍ وَعَبْدُ الْمَلِكِ مِنْ عُلَمَائِنَا: لاَ بَأْسَ أَنْ
يَحْمِلَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ عَلَى الْجَيْشِ الْعَظِيْمِ إِذَا كَانَ
فِيْهِ قُوَّةٌ، وَكَانَ لِلهِ بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
فِيْهِ قُوَّةٌ فَذَلِكَ مِنَ التَّهْلُكَةِ، وَقِيْلَ: إِذَا طَلَبَ
الشَّهَادَةَ وَخَلَصَتْ النِّيَّةُ فَلْيَحْمِلْ، لِأَنَّ مَقْصُوْدَهُ
وَاحِدٌ مِنْهُمْ، وَذَلِكَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنَ النَّاسِ وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ [الْبَقَرَةُ
207]
وَقَالَ ابْنُ
خُوَيْزٍ مِنْدَادٍ: فَأَمَّا أَنْ يَحْمِلَ الرَّجُلُ عَلَى مِائَةٍ أَوْ
عَلَى جُمْلَةِ الْعَسْكَرِ أَوْ جَمَاعَةِ اللُّصُوْصِ وَالْمُحَارِبِيْنِ
وَالْخَوَارِجِ فَلِذَلِكَ حَالَتَانِ: إِنْ عَلِمَ وَغَلَبَ عَلَى
ظَنِّهِ أَنَّهُ سَيَقْتُلُ مَنْ حَمَلَ عَلَيْهِ وَيَنْجُو فَحَسَنٌ
وَكَذَلِكَ لَوْ عَلِمَ وَغَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ سَيُقْتَلُ
وَلَكِنْ سَيَنْكِي نِكَايَةً أَوَ سَيُبْلِي أَوْ يُؤَثِّرُ أَثَرًا
يَنْتَفِعُ بِهِ الْمُسْلِمُوْنَ فَجَائِزٌ أَيْضًا. وَقَدْ بَلَغَنِيْ
أَنَّ عَسْكَرَ الْمُسْلِمِيْنَ لَمَّا لَقِيَ الْفُرْسَ نَفَرَتْ خَيْلُ
الْمُسْلِمِيْنَ مِنَ الْفِيْلَةِ، فَعَمِدَ رَجَلٌ مِنْهُمْ فَصَنَعَ
فِيْلاً مِنْ طِيْنٍ وَأَنِسَ بِهِ فَرَسُهُ حَتَّى أَلِفَهُ، فَلَمَّا
أَصْبَحَ لَمْ يَنْفِرْ فَرَسُهُ مِنَ الْفِيْلِ فَحَمِلَ عَلَى الْفِيْلِ
الَّذِيْ كَانَ يُقَدِّمُهَا فَقِيْلَ لَهُ: إِنَّهُ قَاتَلَكَ. فَقَالَ:
لاَ ضَيْرَ أَنْ أُقْتَلَ وَيُفْتَحُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَكَذَلِكَ يَوْمَ
الْيَمَامَةِ لَمَّا تَحَصَّنَتْ بَنُو حَنِيْفَةَ بِالْحَدِيْقَةِ، قَالَ
رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: ضَعُوْنِي فِي الْحَجَفَةِ وَأَلْقُوْنِى
إِلَيْهِمْ، فَفَعَلُوْا وَقَاتَلَهُمْ وَحْدَهُ وَفَتَحَ الْبَابَ.
قُلْتُ: وَمِنْ
هَذَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ r أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا؟ قَالَ r : فَلَكَ الْجَنَّةُ
فَانْغَمَسَ فِي الْعَدُوِّ حَتَّى قُتِلَ. وَفِيْ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r أُفْرِدَ يَوْمَ أُحُدٍ فِيْ
سَبْعَةٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ، فَلَمَّا
رَهِقُوْهُ قَالَ: مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ
رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ فَقَدِمَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَاتَلَ
حَتَّى قُتِلَ فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قُتِلَ السَّبْعَةُ، فَقَالَ
r: مَا أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا هَكَذَا الرِّوَايَةُ، أَنْصَفْنَا
بِسُكُوْنِ الْفَاءِ أَصْحَابَنَا بِفَتْحِ الْبَاءِ، أَيْ لَمْ
نَدُلُّهُمْ لِلْقِتَالِ حَتَّى قُتِلُوا. وَرُوِيَ بِفَتْحِ الْفَاءِ
وَرَفْعِ الْبَاءِ، وَوَجْهُهَا أَنَّهَا تَرْجِعُ لِمَنْ فَرَّ عَنْهُ
مِنْ أَصْحَابِنَا، وَاللهُ أَعْلَمُ.
وَقَالَ مُحَمَّدُ
بْنُ الْحَسَنِ: لَوْ حَمِلَ رَجُلٌ وَاحِدٌ عَلَى أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ وَهُوَ وَحْدَهُ، لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأْسٌ إِذَا كَانَ
يَطْمَعُ فِيْ نَجَاةٍ أَوْ نِكَايَةٍ فِي الْعَدُوِّ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
كَذَلِكَ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ، لِأَنَّهُ عَرَضَ لِنَفْسِهِ لِلتَّلَفِ فِيْ
غَيْرِ مَنْفَعَةٍ لِلْمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ كَانَ قَصْدُهُ تَجْرِئَةً
لِلْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَصْنَعُوْا مِثْلَ صَنِيْعِهِ فَلاَ
يَبْعُدُ جَوَازُهُ، وَلِأَنَّ فِيْهِ مَنْفَعَةً لِلْمُسْلِمِيْنَ عَلَى
بَعْضِ الْوُجُوْهِ. وَإِنْ كَانَ قَصْدُهُ إِرْهَابَ الْعَدُوِّ
وَلِيَعْلَمَ صَلاَبَةَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الدِّيْنِ فَلاَ يَبْعُدُ
جَوَازُهُ. وَإِذَا كَانَ فِيْهِ نَفْعٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ فَتَلِفَتْ
نَفْسُهُ لِإِعْزَازِ دِيْنِ اللهِ وَتَوْهِيْنِ الْكُفْرِ فَهُوَ
الْمَقَامُ الشَّرِيْفِ الَّذِيْ مَدَحَ اللهُ بِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ
قَوْلِهِ إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ الآيَةَ
[التَّوْبَةُ 111] إِلَى غَيْرِهَا مِنَ آيَةِ الْمَدْحِ الَّتِيْ مَدَحَ
اللهُ بِهَا مَنْ بَذَّلَ نَفْسَهُ
وَعَلَى ذَلِكَ
يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ حُكْمُ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ
عَنِ الْمُنْكَرِ أَنَّهُ مَتَى رَجَا نَفْعًا فِي الدِّيْنِ فَبَذَّلَ
نَفْسَهُ فِيْهِ حَتَّى قُتِلَ كَانَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الشُّهَدَاءِ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ
[لُقْمَانُ 17] وَقَدْ رَوَى عِكْرِمَةُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ
النَّبِيِّ r أَنَّهُ قَالَ: أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ
جَائِرٍ فَقَتَلَهُ.
Ulama berbeda pendapat tentang kenekatan seseorang di medan perang
dan menyerang musuh sendirian. Al-Qasim bin Mukhaimarah, al-Qasim bin
Muhammad dan Abdul Malik dari kalangan ulama kita (madzhab Malikiyah)
berkata: “Tidak mengapa seseorang sendirian menghadapi pasukan musuh
yang cukup banyak jika ia memiliki kekuatan dan niatnya ikhlas karena
Allah semata. Jika ia tidak memiliki kekuatan maka termasuk bunuh diri.
Dan suatu pendapat menyatakan: “(Meski ia tidak memiliki kemampuan)
namun jika ia mencari kesyahidan dan niatnya ikhlas, maka silahkan
melakukannya, karena yang diincar cuma salah satu dari musuh. Demikian
itu ada dalam firman Allah Swt.: ”Di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi untuk mendapatkan keridhaan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 207).”Ibn Khuwaizin Mindad berkata: “Adapun jika seseorang berani menyerang musuh yang berjumlah seratus, sejumlah tentara musuh, sekelompok pencuri, penyerang dan pemberontak, maka untuk hal ini ada dua kondisi: Jika ia mengetahui dan menduga kuat dirinya akan menewaskan musuh yang diserangnya dan ia selamat, maka hal itu bagus. Demikian pula jika ia mengetahui dan menduga kuat ia akan mati, namun akan bisa membuat mereka kalah, kacau atau menimbulkan akibat yang menguntungkan kaum muslimin, maka hukumnya juga boleh. Telah sampai kepadaku kisah pasukan kaum saat melawan pasukan Persia (Iran), kuda-kuda kaum muslimin lari ketakutan dikarenakan gajah. Maka salah seoarang anggota pasukan bertekat membuat patung gajah dari tanah liat sehingga kudanya menjadi tenang dan terbiasa melihat gajah. Maka ketika berperang kudanya tidak takut lagi pada gajah sehingga berani menghadapi pasukan gajah menyerangnya. Lalu ia diingatkan: “Sungguh hal itu akan membuatmu terbunuh.” Lalu ia menjawab; “Tidak mengapa saya terbunuh tapi kaum muslimin mendapat kemenangan.” Begitu pula dalam perang Yamamah ketika Bani Hanifah bertahan di suatu kebun. Salah seorang pasukan muslimin berkata: “Letakkan aku dalam perisai, lalu lemparkan aku kepada mereka.” Kemudian para pasukan lain melakukannya dan ia melawan musuh sendirian serta berhasil membuka pintu kebun tersebut.”
Saya (al-Qurthubi) berkata: “Termasuk kasus serupa, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw.: “Bagaimana pendapat anda jika saya terbunuh dalam peperangan di jalan Allah dalam keadaan sabar dan mencari pahala?” Beliau menjawab: “Engkau mendapat surga.” Lalu laki-laki itu menceburkan diri di tengah-tengah musuh sehingga terbunuh. Dalam riwayat Shahih Muslim dari Anas bin Malik, sungguh pada hari perang Uhud Rasulullah Saw. terpojok seorang diri, dalam pasukan tujuh orang dari Anshar dan dua orang dari Quraisy. Ketika musuh mendekatinya, beliau bersabda: “Siapa yang bisa mengenyahkan mereka dariku? Dan ia mendapat surga.”, atau: “ “Dia menjadi sahabatku di surga.” Lalu salah seorang dari sahabat Anshar itu menyerang maju sampai terbunuh. Hal tersebut terus berlangsung sehingga ketujuh orang tersebut mati. Lalu beliau Saw. bersabda: “Kami belum memberi petunjuk teknik berperang kepada para sahabat kami.“ Begitu riwayatnya, kata أَنْصَفْنَا dengan sukun huruf fa’ dan kata أَصْحَابَنَا dengan dibaca fathah huruf ba’nya, yang berarti: “Kami belum memberi petunjuk teknik berperang kepada para sahabat kami.” Dan diriwayatkan dengan dibaca fathah huruf fa’nya dan dibaca raf’ huruf ba’nya (berarti: “Para sahabat kami tidak membela kami.”) Argumennya, riwayat itu kembali kepada para sahabat yang lari meninggalkan Nabi Saw. Wallahu a’lam.
Muhammad bin al-Hasan berpendapat: “Seandainya satu orang melakukan penyerangan kepada seribu musuh dengan sendirian, maka hal itu tidak mengapa jika ia dapat mengharap keselamatan diri atau mengalahkan musuh. Namun jika tidak demikian, maka hukumnya makruh. Karena berarti ia menjerumuskan diri sendiri dalam kematian yang tidak memberi manfaat pada kaum muslimin. Jika tujuannya adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin dalam melawan musuh sehingga mereka mau meniru tindakannya, maka hal itu tidak jauh dari kebenaran diperbolehkannya. Karena ada manfaatnya bagi kaum muslimin dari satu sisi. Adapun jika tujuannya untuk menimbulkan ketakutan pada musuh dan supaya musuh mengetahui militansi muslimin dalam membela agamanya, maka hal itu tidak jauh dari kebenaran diperbolehkannya. Ketika dalam tindakannya itu terdapat keuntungan bagi pasukan muslimin, lalu ia mati demi kemuliaan agama Allah dan menghina kekafiran, maka hal itu merupakan kedudukan mulia yang mendapat pujian dari Allah bagi para mukminin sebagaimana dalam firmanNya: “Sungguh Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa-jiwa mereka.” (QS. Al-Taubah: 111) Dan ayat-ayat lainnya yang menyebut pujian Allah kepada mereka yang rela mengorbankan jiwanya.
Hukum tersebut seharusnya berlaku pula pada hukum amr ma’ruf nahi munkar. Yaitu ketika seseorang mengharap keuntungan bagi agama, lalu ia mengorbankan diri untuk hal itu sampai mati, maka ia berada di jajaran tertinggi derajat para syuhada. Allah Swt. berfirman: “Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.” (QS. Luqman: 17) Ikrimah meriwayatkan dari Ibn Abbas Ra., dari Nabi Saw., sungguh beliau bersabda: “Syuhada’ yang paling utama adalah Hamzah bin Abdul Muttalib dan seseorang yang menyuarakan kebenaran kepada penguasa zalim sehingga ia membunuhnya.”
(sumber: Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423 Tentang Masail Maudhuiyyah As-Siyasiayh)
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,44937-lang,id-c,syariah-t,Hukum+Bom+Bunuh+Diri-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar