Mbah Liem, Ulama' Nasionalis Sejati
=========================
Akhir Mei lalu,
tepat setahun meninggalnya seorang ulama asal Klaten yang kharismatik
nan nyentrik, KH Moeslim Rifa’i Imampuro atau yang biasa dikenal dengan
nama Mbah Liem. Mbah Liem dikenal sebagai ulama besar sekaligus
nasionalis sejati. Ia meninggal pada usia 91 tahun.
Mbah Liem lahir di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Pada 1959, ia mengasingkan diri ke gubuk kecil di pinggiran
kali di Desa Troso Kecamatan Karanganom Klaten.
”Tempat itulah yang kini jadi pesantren dengan ribuan alumnus,” papar Jazuli A Kasmani, menantu Mbah Liem, ketika itu.
Mbah Liem meninggalkan sembilan anak dan 18 cucu. Dia dikenal sebagai
kiai nasionalis sekaligus nyentrik. Nama Pesanteran Al Muttaqien
Pancasila Sakti dan Kampus Kader Bangsa (KKB) yang didirikannya adalah
bentuk kecintaannya kepada Ibu Pertiwi.
Kepada para santrinya, Mbah Liem selalu mewajibkan menyanyikan
Indonesia Raya sebagai lagu pembuka setiap kegiatan. Dia juga peduli
terhadap kerukunan antarumat beragama. Dia merintis Joglo Perdamaian
Umat Manusia Sedunia di kompleks pesantren.
Dia juga dikenal sebagai pribadi yang sederhana, ia senang memakai
topi saja atau topi dikalung sorban macam petani di desa-desa, gayanya
mirip petani dan rakyat biasa, ia senang berjalan-jalan dengan
sepedanya. Namun, jangan salah di dalam kesederhanaannya itu, Mbah Liem
merupakan tokoh yang disegani. Bahkan, setiap keruwetan politik penting,
banyak pejabat yang datang ke pesantrennya untuk minta pencerahan dari
Mbah Liem.
Weruh Sakdurunge Winarah
Sebagai seorang tokoh ulama, ia juga dikenal sedikit ‘nyentrik’.
Perilaku nyentrik ditunjukkan dengan banyak hal. Beberapa kali Mbah Liem
menyambut tamu dengan sarung dan baju lengan panjang murahan. Kadang
dia mengenakan topi usang kebanggaannya. Pernah pula dia dengan sepeda
motor tuanya memboncengkan musisi kondang Iwan Fals. Saat bersama Iwan
Fals di panggung, Mbah Liem berbaju koko, bersarung dan bersepatu boot.
Namun kenyentrikannya itu juga diimbangi dengan sikap beliau yang terkadang disebut orang sebagai weruh sakdurunge winarah
(tahu sebelum terjadi). Seperti halnya ketika menjelang Muktamar NU
ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta, saat itu Mbah Kiyai Hamid Kajoran tengah
sakit. Mbah Lim mengajak Gus Dur menengok ke kediaman beliau.
“Aku tak mati yo, Lim… (Aku mau mati nih, Lim),” kata Mbah Hamid.
“Ndak bisa ndak bisa ndak bisa….”, Mbah Lim dengan gayanya yang khas, “mau Muktamar kok mati… enak aja…”
“Lha gimana…?”
“Mati ya mati tapi nunggu Muktamar dulu!”
Tepat empat puluh hari sesudah hari itu, beberapa minggu sesudah Muktamar, Mbah Hamid Kajoran wafat.
Maut pula yang kemudian juga mempertemukannya kembali dengan Mbah
Hamid Kajoran. Mbah Liem wafat Kamis 24 Mei setahun silam. Jenazah Mbah
Liem dikebumikan di Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia di kompleks
pesantren pada Kamis pukul 20.00 WIB. Jenazah dikebumikan berdampingan
dengan makam istrinya Umi As’adah.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,45111-lang,id-c,tokoh-t,Mbah+Liem++Ulama+Nasionalis+Sejati-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar