SILSILAH SANAD ULAMA' AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (Termasuk NU) SAMPAI SANADNYA KE ROSULULLAH SAW
1. Nabi Muhammad SAW
2. Sayidina Ali
3. Muhammad (Putra Sayidina Ali, dari istri kedua Kaulah bin Ja’far)
4. Wasil bin Ato’
5. Amr bin Ubaid
6. Ibrohim Annadhom
7. Abu Huzail Al-Alaq
8. Abu Hasi Adzuba’i
9. Abu Ali Adzuba’i
10. Imam Abu Hasan Ala’asyari (Pendiri Faham “AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH”) 234 H Karangannya: Kitab Maqolatul Islamiyin, Al Ibanah, Al Risalah, Al-Luma’, dll
11. Abu Abdillah Al Bahily
12. Abu Bakar Al Baqilany, karangannya: Kitab At Tamhid, Al Insof, Al bayan, Al Imdad, dll.
13. Abdul Malik Imam Haromain Al Juwainy, karangannya : Kitab Lathoiful Isaroh, As Samil, Al Irsyad, Al Arba’in, Al kafiyah.
14. Abu hamid Muhammad Al Ghozali. Karnannya: Kitab Ihya Ulumuddin, Misyakatul Anwar, Minhajul Qowim, Minhajul Abidin dll.
15. Abdul hamid Assyeikh Irsani. Karangannya: kitab Al Milal Wannihal, Musoro’atul Fulasifah dll.
16. Muhammad bin Umar Fakhruraazi, Karangannya: Kitab Tafsir Mafatihul Ghoib, Matholibul ‘Aliyah, Mabahisul Masyriqiyah, Al Mahsul Fi Ilmil Usul.
17. Abidin Al Izzy, karangannya: Kitab Al Mawaqit Fi Ilmil Kalam.
18. Abu Abdillah Muhammad As Sanusi, Karangannya: Kitab Al Aqidatul Kubro dll.
19. Al Bajury, karangannya: Kitab Jauhar tauhuid Dll.
20. Ad Dasuqy, karangannya: Kitab Ummul Barohin, dll.
21. Ahmad Zaini Dahlan, karanggannya: Kitab Sarah jurumiyah, Sarah Al Fiyah, dll.
22. Ahmad Khotib Sambas Kalimantan, Karangannya: Kitab Fathul ‘Arifin, dll.
23. Muhammad Annawawi Banten Karangannya: Syarah Safinatunnaja, Sarah Sulamutaufiq, dll.
Yang Mayoritas Ulama Di Indonesia memakai Karangan Syeikh Nawawi Albantaniy sebagai Kitab Rujukan.
24. Mahfud Termas, muridnya:
– Arsyad Banjarmasin
– Syech Kholil Bangkalan Madura
– Abdi Shomad Palembang
25. Hasyim Asy’Ari (Pendiri NU)
Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil bangkalan
adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH
Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar
Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil
Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong
Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak
(Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai
Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai
Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan).
Dari sekian santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh
pesantren dan tokoh NU seperti Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan
Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama RI Soekarno, juga pernah
berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan
Selain berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai,
Syaikhona Kholil bangkalan adalah salah satu kiai yang menjadi penentu
berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama yang
disingkat (NU). Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan
mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim
Asy’ari melakukan shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut tidak jatuh ke tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona Kholil Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah
tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim
Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan
tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU).
para ulama pendiri NU jelas bukan sembarang ulama. Mereka orang-orang khos yang memiliki kualitas keimanan yang luar biasa di zamannya. Salah satu pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah, selain pendirian NU kepada kepada KH Hasyim Asy’ari, beliau meminta persetujuan waliyullah tanah Jawa. Yaitu Kanjeng Sunan Ampel.
mari berflashback awal mulanya berdirinya nahdlatul ulama
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu
muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan
ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah
wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk
urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok
pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan
sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga
masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh
lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi
Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di
Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran”
ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya
terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait
dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta
forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka
Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu
merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah.
Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang
terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari
jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim.
Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan
hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil
salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal
sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung
cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini
kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad
sambil menerima tongkat itu.
“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada
Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat
Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua
keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang.
Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai
Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya
erat-erat.
Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke
Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di
sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim.
Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad
merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan
Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat
ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang
wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah
selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada
pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab
As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan
kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak
keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk
mendirikan Jam'iyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah
terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai
Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan
jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya,
terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok
Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan)
dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin
Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie.
Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri
untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju
kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab
langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan
seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian
jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya,
melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan
agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah
uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para
anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan
perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama.
Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan
tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak
kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih
tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung
dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna
bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim
dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil
menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya
Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di
balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu.
Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan
isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan
niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi
sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya
orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir
sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa
dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang
sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak
bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma
Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa,
keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah
menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan
jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal
pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi”
yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU,
Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Abdullah untuk membuat lambangnya.
Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan
bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap
Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar
ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri
untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa
sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri.
“Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya
buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya
mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan
gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie
memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan
sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.”
Selain itu, Kiai Nawawie juga meminta supaya tali yang mengikat gambar
bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih
kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
subhAnaallah,
sahabatku yang dirahmati Allah
Rapat pembentukan NU diadakan di kediaman Kiai Wahab dan dipimpin
oleh Kiai Hasyim. September 1926 diadakanlah muktamar NU yg untuk
pertama kalinya yg diikuti oleh beberapa tokoh. Muktamar kedua 1927
dihadiri oleh 36 cabang. Kaum muslim reformis dan modernis berlawanan
dgn praktik keagamaan kaum tradisional yg kental dgn budaya lokal. Kaum
puritan yg lebih ketat di antara mereka mengerahkan segala daya dan upaya
utk memberantas praktik ibadah yang dicampur dgn kebudayaan lokal atau
yg lbh dikenal dgn praktik ibadah yg bid’ah. Kaum reformis mempertanyakan relevansinya bertaklid kepada kitab-kitab fiqh
klasik salah satu mazhab. Kaum reformis menolak taklid dan menganjurkan
kembali kepada sumber yg aslinya yaitu Alquran dan hadis yaitu dgn
ijtihad para ulama yg memenuhi syarat dan sesuai dgn perkembangan zaman.
Kaum reformis juga menolak konsep-konsep akidah dan tasawuf tradisional
yg dalam formatnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani pemikiran agama dan
kepercayaan lainnya. Bagi banyak kalangan ulama tradisional kritikan
dan serangan dari kaum reformis itu tampaknya dipandang sebagai serangan
terhadap inti ajaran Islam. Pembelaan kalangan ulama tradisional
terhadap tradisi-tradisi menjadi semakin ketat sebagai sebuah ciri
kepribadian
Mazhab Imam Syafii merupakan inti dari
tradisionalisme ini . Ulama tradisional memilih salah satu mazhab dan
mewajibkan kepada pengikutnya krn di zaman sekarang ini tidak ada orang
yg mampu menerjemahkan dan menafsirkan ajaran-ajaran yg terkandung di
dalam Alquran dan sunah secara menyeluruh.
nah, inilah kenapa kita harus bermazhab salah satu dari mahzab 4,
Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.
Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd. Gerakan ini dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dan populer dengan gerakan Wahabi. Dalam bahasa para ulama gerakan ini juga dikenal dengan nama fitnah al-wahhabiyah, karena dimana ada orang-orang yang menjadi pengikut gerakan ini, maka di situ akan terjadi fitnah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.
sahabatku semua yang dirahmati Allah, NU ADALAH SALAH SATU BENTENG AHLISUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA
Apa itu ASWAJA ?
Aswaja itu sebenarnya adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu, ada tiga kata yang membentuknya.
Ketiga kata itu adalah:
1. Ahl, yang berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang
telah diajarkan oleh Rasulullah Maksudnya, semua yang datang dari Nabi,
baik itu berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi
3. Al-Jama’ah, yang dimaksud dengan jama’ah
disini adalah apa yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi pada
masa Khulafaur Rasyidin (yaitu Khalifah Abu Bakr, Umar bin al-Khaththab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Kata al-Jama’ah ini diambil
dari sabda Rasulullah<
,مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ.
“Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga,
maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok mayoritas)”.
Coba Nanti kamu lihat dalam kitab al-Mustadrak Juz I hal. 77 atau
dalam Sunan Tirmiszi hadits no 2091. Hadits itu oleh Imam Hakim dianggap
shohih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi.Ditempat yang lain
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) juga menjelaskan
menjelaskan:
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ
الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ
أَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالبي طريق الحق، ج 1 ص 80)
“Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah (meliputi
ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama‘ah adalah
segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi pada
masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah
(mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua” (Lihat dalam
kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80).Lebih jelas
lagi, Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336
H/1871-1947) menyebut-kan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24)
sebagai berikut :
أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ
وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ
النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ
الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ
اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ
وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ وَمَنْ
كَانَ خَارِجًا عَنْ هَذِهِ الأَرْبَعَةِ فِي هَذَا الزَْمَانِ فَهُوَ مِنَ
الْمُبْتَدِعَةِ “
Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW
dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang
selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok
tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut
Madzhab al-Hanafi, al-Syafi’i, al-Maliki dan al-Hanbali. Sedangkan
orang-orang yang keluar dari madzhab empat tersebut pada masa sekarang
adalah termasuk ahli bid’ah.
”Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah
bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran
yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah
Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
saw dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh
para sahabatnya. Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah
mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf.
1. Dalam bidang aqidah atau tauhid tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
2. Dalam masalah amaliyah badaniyah terwujudkan dengan mengikuti
madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab
al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
3. Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297
H/910 M) dan Imam al-Ghazali Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku
sebagai penganut Ahlussunnah Wal-Jama’ah maka mereka harus
membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia bnar-benar telah
mengamalkan Sunnah rasul dan Sahabatnya.Sumber “fiqh Tradisionalis”
untuk itu menjadi pelajaran bagi kita agar selalu berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru,
Inilah kejahatan & kebohongan aliran yang mengklaim sebagai
Salafi, sesungguhnya mereka adalah Wahabi yakni ajaran yang dibawakan
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi an-Najdi :
namun meskipun demikian ahlussunnah waljamaah
tetap kelompok terkuat dimuka bumi, namun sekte sekte yang berusaha
menyesatkan tetap muncul dari kelompok yg menipu, atau yg tertipu, namun
selama mereka masih muslim, maka mereka adalah saudara kita, kita
berusaha mengobati kesalahan mereka semampunya, dg menyebarkan kebenaran
di dunia maya dan lainnya semampu kita, dan selebih dari itu, kita
terus berdoa agar Allah terus membantu pembenahan ummat ini
Pesan untuk para simpatisan, pengikut, bahkan da’i salafi/wahabi
; mohon luangkan waktu sebentar, renungkan barang sejenak. Bahwa hati
yang paling Allah kasihi ialah hati yang paling lembut terhadap
saudaranya, paling bersih dalam keyakinannya dan paling baik dalam
agamanya. InsyaAllah, jika hati tak sekeras batu, dada akan terasa
lapang, pikiran pun tidak beku dan buntu. Semoga kita semua mendapat
hidayah serta inayah dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Akeh kang apal Quran Hadise
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale
Banyak yang hafal Quran dan Hadist, suka mengkafirkan orang lain,
kafirnya sendiri tidak diperhatikan, (gara-gara) masih kotor hati dan
akalnya.
semoga Allah swt meluhurkan setiap nafas kita dg cahaya
istiqamah, dan selalu dibimbing untuk mudah mencapai tangga tangga
keluhuran istiqamah, dan wafat dalam keadaan istiqamah, dan berkumpul
dihari kiamat bersama ahlul istiqamah
semoga Allah swt menggantikan segala musibah kita dg anugerah, wahai
Allah sungguh firman Mu adalah sumpah Mu yg Kau sampaikan pada kami,
bahwa : SUNGGUH BERSAMA KESULITAN ADALAH KEMUDAHAN, DAN SUNGGUH BERSAMA KESULITAN AKAN DATANG KEMUDAHAN (Al Insyirah 6-7)
Disari dari beberapa sumber.
semoga bermanfa'at, Amiin
sumber :http://temonsoejadi.com/2013/01/07/peganglah-erat-ahlisunnah-waljamaah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar