HAKEKAT KEHIDUPAN BARZAKHIYAH
Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki |
KEHIDUPAN DI
ALAM BARZAKH
Kehidupan di alam barzakh sebagai
suatu kehidupan yang hakiki diisyaratkan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis
Shahih. Kehidupan hakiki di alam barzakh ini tidak bertentangan
dengan persoalan kematian manusia,
sebagaimana firman Allah swt
وَمَا
جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ(34)
“Kami
tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad),
maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (QS Al-Anbiya’,[21] :
34)
إِنَّكَ
مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ(30)
“Sesungguhnya
kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (QS Az-Zumar,[39]
: 30)
Yang dimaksud dengan kehidupan
barzakhiyah sebagai kehidupan Hakiki adalah suatu kehidupan yang
benar-benar nyata, dan bukan suatu
kehidupan yang bersifat utopia, khayalan atau hanya ada di angan-angan,
sebagaimana yang diyakini oleh kaum atheis dan materialis yang berpikiran
sempit yang hanya percaya kepada hal-hal yang bersifat empiris, serba nampak dan langsung dapat ditangkap
indera manusia, yang tidak percaya pada hal-hal yang bersifat ghaib dan yang
tidak dapat ditangkap oleh pikiran serta indera manusia.
Banyak Hadis Nabi dan Atsaryang
menjelaskan tentang kemampuan pendengaran, pengelihatan, pengetahuan dan
perasaan orang-orang yang sudah wafat, baik yang mukmin maupun yang kafir.
Imam Bukhary dan Muslim didalam kitab Ash-Shahihain
mengetengahkan Hadis Nabi dari jalur sanad yang beragam, dari Abu Thalhah,
dari Umar dan juga dari Ibnu Umar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw
memerintahkan para sahabat agar kedua puluh empat mayat tentara kafir Quraisy
yang tewas di tengah pertempuran Badar dilemparkan saja kedalam salah satu
sumur di situ. Selanjutnya beliau saw memanggil nama mereka satu persatu : “Hai
Umayyah bin Khalaf…! Hai Utbah bin Rabi’ah…! Hai Syaibah bin Rabi’ah…! Hai
Fulan bin Fulan…! …(dan seterusnya) …Apakah kalian sudah menemukan apa
yang telah dijanjikan “tuhan-tuhan” yang
kalian sembah? Sementara aku benar-benar sudah menemukan apa-apa yang dijanjikan
Tuhanku (Allah swt ) kepadaku !”.
Menyaksikan prilaku “aneh” Rasulullah
saw tersebut, Umar bin Khatthab ra bertanya: “Apakah engkau berbicara dengan
jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa lagi ?”. Beliau saw menjawab : “Demi
Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya! Sesungguhnya kalian tidak lebih
mampu mendengar terhadap apa yang telah aku ucapkan kepada mereka tadi. Hanya
saja mereka tidak mampu menjawabnya”.
Demikianlah Hadis yang diketengahkan
oleh imam Bukhary dan Muslim dari jalur Ibnu Umar. Senada dengan di atas, ada
beberapa hadis lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari jalur Anas bin
Malik ra, dari Thalhah; Imam Muslim meriwayatkannya dari jalur Anas bin Malik ra, dari Umar bin Khatthab;
At-Thabrany meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih dan dari
Abdullah bin Saidan, yang didalamnya
terdapat teks hadis : “Ya Rasulullah! Apakah mungkin mereka mampu
mendengar!”. “Mereka mampu mendengar sebagaimana kalian mendengar. Hanya saja
mereka tidak mampu menanggapi atau menjawabnya”, jawab beliau saw.
Al-Bazzar
meriwayatkan hadis yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, bersumber dari Ismail
bin Abdurrahman as-Sadiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah
saw bersabda : “Sesungguhnya mayit itu dapat mendengarkan suara ketukan sandal
para pelayat yang pulang dari penguburannya”.
Imam
Bukhary meriwayatkan hadis didalam kitab Shahih-nya pada bab Al-Mayyit
Yasma’u Khalqan-ni’al, dari jalur Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda : “seorang mayit jika sudah diletakkan di liang kuburnya, dia dapat
mendengar suara ketukan sandal para pelayat yang pulang meninggalkannya.
Sementara ia didatangi oleh dua malaikat (Munkar dan Nakir) dan didudukkannya”.
Kemampuan mayit mendengar suara
ketukan sandal para pelayat yang kembali dari penguburan tersebut diisyaratkan
oleh bebarapa hadis selain di atas, di antaranya hadis yang menceritakan tentang
adanya pertanyaan kubur, disertai materi pertanyaan dan jawabannya. Juga
diisyaratkan oleh beberapa hadis yang memerintahkan para peziarah kubur agar
mengucapkan Salam kepada ahli kubur dengan ucapan :
السَّـلاَمُ
عَـلَيْـكُمْ دَارَ قَـوْمٍ مُـؤْمِنِـيْنَ
“Salam
sejahtera semoga dilimpahkan Allah swt kepada kalian, wahai penghuni kubur kaum
mukminin!”.
Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa ucapan Salam dengan lafazh seperti di atas hanya disampaikan kepada orang yang bisa mendengar lagi berakal. Jika tidak demikian, berarti ucapan Salam itu sama dengan disampaikan kepada orang dan barang (benda padat) yang tidak ada. Hal ini jelas tidak masuk akal. Dengan kata lain, Ahli Kubur yang diberi ucapan Salam seperti ucapan di atas jelas menunjukkan bahwa ia bisa mendengar. Jika tidak mampu mendengar, tentulah tidak ada perintah salam kepada Ahli Kubur dengan shighat salam seperti di atas. Para ulama Salaf bersepakat terhadap persoalan ini. Banyak Atsar-atsar yang mutawatir dari mereka yang menjelaskan bahwa mayit mampu mengetahui dan mendoakan baik kepada setiap orang yang menziarahinya.
Abdurrazzaq
meriwayatkan hadis tentang persoalan ini dari Zaid bin Aslam, ia menjelaskan bahwa Abu Hurairah ra bersama-sama dengan temannya
melewati sebuah pekuburan, kemudian ia bilang kepada temannya: “Ucapkan
salam!”. Temannya bertanya : “Apakah aku akan mengucapkan salam kepada
penghuni kubur?”. Jawab Abu Hurairah
ra : “Jika ia diberi kesempatan kembali hidup di dunia ini
barangkali sehari saja, tentu ia akan mengenalimu sekarang
ini!”. (HR
Abdurrazzaq didalam kitabnya, Al-Mushannif , juz 3, hal. 577).
Itulah keyakinan dan akidah yang
dimiliki oleh kaum Salaf, yakni golongan Ahlussunnah wal Jamaah.
Hanya saja saya tidak mengerti, kenapa orang-orang yang mengaku dirinya sebagai
kelompok dan pengikut ulama salaf, justru lupa, melupakan, atau mungkin
pura-pura lupa terhadap kenyataan adanya
kehidupan Barzakhiyah ini.
Ibnul Qayyim secara panjang lebar
menguraikan persoalan ini didalam kitabnya yang berjudul Ar-Ruh. Dan
pada kesempatan ini, kami mencoba menukil fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dari bukunya, Al-Fatawa al-Kubra”, yang menjelaskan
bahwa ia pernah ditanya orang : “Apakah mayit-mayit itu mengetahui dan
mengenal orang yang sedang menziarahi kuburannya? Apakah mereka juga mengenal
mayit yang baru saja datang dari alam dunia ini, apakah ia masih keluarganya
ataukah bukan?” Dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang sejenis.
Ibnu Taimiyah menjawab : “Alhamdulillah.
Benar, bahwa mereka mengenal. Banyak Atsar-atsar yang menjelaskan kebenaran
tentang bertemunya mayit yang sudah lama menghuni alam barzah dengan mayit yang
baru saja datang dari alam dunia dan menjadi penghuni baru alam barzah.
Mayit-mayit yang sudah lama bertanya kepada mayit yang baru saja datang,
tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia, dan juga
diceritakan kepadanya tentang kiriman doa dan pahala amal shaleh dari
keluarganya yang masih hidup di alam dunia. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnul Mubarok yang bersumber dari Abu Ayyub al-Anshary: “Bila seorang mukmin
wafat, sesampainya di alam kubur, ia ditemui orang-orang yang sudah lama wafat,
sama halnya seperti mereka yang bertemu secara langsung di alam dunia. Mereka
menyambut kedatangan mayit yang baru datang dan menanyakan segala hal
kepadanya. Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan kepada sebagian yang
lain : “Lihatlah saudaramu yang baru saja datang ini! Dia nampaknya sedang
istirahat”, atau ada yang mengatakan : “Sesungguhnya ia sedang bingung dan
nampaknya sangat susah sekali”. Selanjutnya mereka sama mendatanginya dan
menanyakan tentang keadaan keluarga mereka yang masih hidup di alam dunia,
tentang keadaan teman-teman yang mereka kenal di alam dunia, atau juga, tentang
apakah si Fulan atau Fulanah sudah menikah ataukan belum”.
Mengenai persoalan apakah mayit dapat
mengenal siapa yang datang menziarahi kuburannya dan mengucapkan Salam kepadanya,
telah dijelaskan oleh hadis yang bersumber dari Ibnu Abbas ra , bahwa
Rasulullah saw bersabda : “Tiada seorang pun yang melewati suatu pekuburan
saudara mukminnya yang pernah ia kenal di dunia, lalu mengucapkan salam kepadanya, melainkan
saudaranya (yang sudah wafat) itu tentu mengenalnya dan akan menjawab salamnya”.
Ibnul Mubarok mengatakan: “Hadis
tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah saw. Abdul Haq, seorang penulis
kitab Al-Ahkam menilainya Shahih”. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24,
hal. 331).
Pada kesempatan yang berbeda, Ibnu
Taimiyah pernah ditanya : “Apakah mayit dapat mendengarkan pembicaraan dan
melihat pribadi orang yang menziarahinya? Apakah saat itu ruh si mayit
dikembalikan kepada jasadnya? Ataukah pada saat itu dan pada saat yang lain
ruhnya bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas kuburannya? Apakah ruh orang yang baru saja
wafat akan bertemu dan berkumpul atau bergaul dengan ruh-ruh para karib
kerabatnya yang sudah lama wafat?”
Jawaban Ibnu Taimiyah : “Alhamdulillahi
rabbil ‘alamiin. Benar katamu. Secara global, mayit itu mampu
mendengar, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab hadis “Ash-Shahihain”, dari
Rasulullah saw : “Mayit mampu mendengar suara sandal para pelayat yang
kembali dari penguburannya”.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan
beberapa hadis yang menjelaskan persoalan kehidupan barzakhiyah ini, dan ia
menambahkan : “Nash-nash hadis ini menjelaskan bahwa mayit mampu mendengar
secara global pembicaraan orang yang masih hidup di alam dunia. Namun hal ini
bukan suatu kemestian. Terkadang mayit tersebut dapat mendengar pada suatu saat
dan tidak dapat mendengar pada saat yang lain, disebabkan terhalang oleh
hal-hal tertentu. Yang dimaksud dengan “Mendengar” dalam persoalan ini
adalah dalam pengertian “memahami apa yang didengarnya”, bukan dalam
pengertian “mendengar secara khayalan atau kiasan”. Hanya saja,
pendengaran mayit tersebut tidak diikuti dengan kemampuannya untuk
menyahuti atau membalas dengan suatu ucapan tertentu, sehingga orang lain (yang
masih hidup) balik dapat mendengar ucapan si mayit.
Allah swt berfirman :
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Sesungguhnya
kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar “ (QS
An-Naml,[27] : 80)
Yang dmaksud “mendengar”
didalam ayat di atas adalah dalam
pengertian mendengar untuk menyambut dan mentaati perintah Allah swt, karena
Allah swt menjadikan orang Kafir sama seperti Mayit yang tidak
dapat menyahuti dan menuruti ajakan orang yang mengajaknya, dan bagaikan Hewan
yang tidak mampu mendengarkan suara orang dan tidak mampu menangkap makna
pemahaman yang terkandung didalamnya. Sementara Mayit, kalaupun ia dapat
mendengar, ia pun juga dapat memahaminya, hanya saja ia tidak mampu menjawab
orang yang mengajaknya bicara dan tidak mampu mentaati apa yang diperintahkan
kepadanya dan menjauhi apa yang dilarang untuknya, sehingga tidak berguna mengajak ber-amar makruf dan nahi munkar kepada
mayit, sebagaimana tidak bergunanya mengajak orang Kafir untuk beramar makruf
dan nahi munkar, meskipun ia mampu mendengar pembicaraan
atau ucapan ajakan dan mampu memahami isi pembicaraan orang.
Allah swt berfirman :
وَلَوْ عَلِمَ
اللَّهُ فِيهِمْ خَيْرًا لَأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَهُمْ
مُعْرِضُونَ(23)
“Kalau
kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan
mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar,
niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa
yang mereka dengar itu).” (QS Al-Anfal,[8] : 23)
Sedangkan persoalan kemampuan mayit
untuk dapat “Melihat”, dijelaskan didalam beberapa Atsar yang
bersumber dari Aisyah ra dan sahabat lainnya.
Pertanyaan mengenai Apakah Ruh si
mayit dikembalikan ke jasadnya pada waktu itu, ataukah Ruhnya itu
bergerak-gerak dan mengepak-epakkan di atas pekuburannya pada waktu itu dan
pada waktu yang lain?, Ibnu Taimiyah menjawab, bahwa Ruh si mayit saat itu
dan pada saat yang lain memang dikembalikan kepada jasadnya, sebagaimana yang
dijelaskan didalam beberapa hadis Nabi. Ruh dan badan si mayit dapat bersatu
kapan saja, bila Allah swt menghendakinya, yakni pada saat malaikat hendak menemuinya,
atau sewaktu ia hendak mengembara di atas bumi, atau pada saat ia menemui dalam
mimpi orang yang sedang tidur.
Beberapa Atsar menjelaskan
tentang keberadaan Ruh-ruh orang yang sudah wafat didalam
kuburnya. Mujahid mengatakan : “Ruh-ruh berada didalam liang kuburnya selama
tujuh hari sejak dimakamkannya, dan tidak lepas dari itu. Namun hal ini
terkadang tidak demikian, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Malik bin
Anas : “Telah sampai kepadaku suatu riwayat bahwa para arwah keluar dari
kuburnya dan mengembara sekehendaknya. Dan hanya Allah swt yang lebih tahu”. (Majmu’
Fatawa asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 362)
Ibnu Taimiyah pada suatu kesempatan
mengatakan, bahwa kehidupan para syuhada’ dan kenikmatan yang mereka
terima, sebenarnya telah dijelaskan oleh beberapa nash Al-Qur’an dan Hadis
Nabi. Di antaranya adalah sebuah hadis Shahih yang menjelaskan bahwa Arwah mereka keluar-masuk sorga.
Segolongan ulama berpendapat, bahwa para syuhada’ memang benar-benar diberi
kesempatan memasuki calon surganya. Dan ini hanya khusus para syuhada.
Sedangkan bagi kaum shalihin, shiddiqin dan lainnya, mereka tidak diberi
kesempatan untuk memasukinya. Pendapat yang benar adalah pendapatnya para Imam
dan mayoritas pengikut Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan, bahwa
kehidupan, rizki, kenikmatan dan kesempatan memasuki surga, bukanlah monopoli
para syuhada’ saja. Bisa jadi hal itu juga diberikan kepada selain mereka,
sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa nash-nash yang ada. (Majmu’ Fatawa
asy-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 24, hal. 332).
JANGAN SAKITI
MAYIT
Rasulullah saw pernah melihat
seseorang yang sedang menyandarkan tubuhnya di atas suatu makam, lalu beliau
saw bersabda : “Anda jangan menyakiti
penghuni kubur itu”.
Hadis tersebut diketengahkan oleh Ibnu
Taimiyah didalam bukunya, Al-Muntaqa, juz 2, hal. 104 dan ia
mengaitkannya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal
dalam Musnad-nya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany
menyebutkannya didalam kitabnya, Fathul Bary, juz 3, hal. 178 dengan
sanad Shahih.
Ath-Thahawy mengetengahkan sebuah
hadis didalam bukunya, Ma’anil Atsar, juz 1, hal 296 yang bersumber dari
Ibnu ‘Amr bin Hazm yang artinya : “Rasulullah saw melihat aku yang sedang
berada di atas pekuburan seseorang, lalu bersabda : ‘Turunlah dari kuburan
itu! Jangan sakiti penghuninya (mayit), karena ia tidak menyakitimu’”. (Majma’
az-Zawaid, juz 3, hal. 61).
MAKNA
KEHIDUPAN BARZAKHIYYAH
Perlu kami jelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kehidupan barzakhiyah adalah suatu kehidupan yang
sama sekali berbeda dengan kehidupan duniawiyah, bahkan merupakan suatu
kehidupan yang khas yang sangat sesuai dengan kondisi para penghuninya
(para arwah).
Dalam kehidupan duniawi, manusia masih
diharuskan melakukan aktifitas-aktifitas seperti ibadah, adab sopan santun,
adat istiadat, berbudaya, bernegara, ketaatan, serta melaksanakan Hak
dan Kewajiban tertentu, baik terhadap diri sendiri, keluarganya,
masyarakat, maupun terhadap Tuhannya. Dalam kehidupan duniawi, suatu saat
manusia dalam keadaan suci dan pada saat lain dalam keadaan yang sebaliknya;
suatu saat ia berada di masjid, dan pada saat yang berbeda ia didalam kamar
kecil. Manusia tidak mengetahui, kapan ia berakhir menjalani hidup di dunia
ini. Terkadang jarak antara dirinya dan surga hanya sehasta. Tadinya ia mukmin
dan tergolong calon penghuni surga, lalu tiba-tiba berbalik menjadi Kafir dan
menjadi calon penghuni neraka. Begitu sebaliknya, sepanjang hidupnya ia nampak
seperti calon penghuni neraka, dan tanpa diduga beberapa saat menjelang
kematiannya, ia justru berbalik menjadi orang yang beriman dan bertaubat,
sehingga ia menjadi calon ahli surga.
Sementara
selama dalam kehidupan Barzakhi ini, jika termasuk orang yang beriman, ia akan
melewati tahapan-tahapan ujian dan cobaan, yakni siksa kubur yang tidak akan
selamat melewatinya kecuali Ahlus-Sa’adah. Dia pun bebas dari
beban menjalankan syariat. Dia menjadi Ruh yang bercahaya, suci, dapat
berfikir, dapat berkelana ke tempat-tempat yang dikehendakinya, bahkan berjalan
dan berkeliling ke seluruh wilayah Kerajaan
Allah swt , yang meliputi alam syahadah dan alam ghaib. Dia
selalu riang gembira, serta tidak
mengenal susah payah dan sedih, karena ia tidak terikat atau butuh
kepada dunia, harta, emas dan perak, sehingga dia tidak mengenal irihati,
hasud, melakukan kejahatan, dan juga tidak mengenal dendam antara yang satu
dengan lainnya.
==============================================
*)
Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
|
|
Judul
Asli
|
:
مفـاهـيم يجب أن تـصحح
|
Penulis
|
:
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
|
Alih
Bahasa
|
:
Achmad Suchaimi
|
Judul
Terjemahan
|
:
Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar