Diskusi Seputar Khilafah 2 (Tanggapan atas Tanggapan)
=================================
Alhamdulillah, saya senang sekali banyak yang memberikan respon pada artikel saya berjudul “Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah)”.
Saya tentu lebih senang lagi apabila para pemberi komentar menulis nama
dan alamatnya dengan lengkap agar di antara kita bisa terus
bersilaturrahmi. Tidak perlu menggunakan nama samaran agar tidak
terkesan takut menyampaikan kebenaran. Jika kita benar kenapa harus
takut? Sebagai seorang muslim yang beriman, yang harus kita takuti
hanyalah Allah SWT semata.
Beragam pemikiran yang telah disampaikan dalam
komentar, walaupun sebahagian berbentuk pertanyaan namun pada hakikatnya
adalah pemikiran yang sangat cerdas dan cemerlang baik yang pro maupun
yang kontra. Bagi yang sejalan dengan pemikiran saya tentu tidak perlu
saya respon dan saya mengucapkan terima kasih atas aplusnya, sedangkan
yang masih belum sepaham, mari kita lanjutkan berdiskusi.
Saya salut dengan ghirah islamiyahnya beberapa
saudara kita sehingga seolah-olah apa yang sudah diterapkan pada
permulaan zaman khilafah bersumber dari sistem atau hukum Islam 100%,
tidak pernah mengadopsi secuilpun hukum asing yang kufur. Tidak ada
hukum atau teori lain yang terinfiltrasi ke dalam sistem pemerintahan
khilafah.
Kalau saja kita mau jujur dan bersabar membaca referensi klasik seperti Adab Al-Kabir dan Adab Ash-Shaghir karya Ibn Al-Muqaffa’ (adab disini berarti tata pemerintahan) atau kitab Khudainamah /Siyar Muluk terjemahan Ibnul-Muqaffa’ tentang cerita raja-raja persia, Al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir , Al-Kaamil fit-Tarikh karya
Ibnu Al-Atsir, dan kitab-kitab sejarah yang lain bahwa sejak zaman para
sahabat r.a. banyak sekali sistem dari luar lingkungan Islam yang
kemudian diadopsi oleh sistem khlilafah seperti sistem diwan yang
digunakan oleh Sayyidina Umar r.a. untuk administrasi negara, itu
berasal dari persia, sistem wizarah (kementrian), hijabah (protokoler),
dan sistem-sistem lain umumnya itu berasal dari Persia, Romawi, Arab
kuno, dan lain-lain.
Jika memang benar-benar semua bagian sistem yang
digunakan oleh para khalifah itu berasal dari Islam sendiri, tentu kita
pasti bisa menemukan di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa sistem
pemerintahan yang diridahi Allah SWT itu bagaimana, serta tata cara
pemilihan khalifah seperti apa. Ternyata keterangan itu, tidak kita
temukan, yang ada hanya hasil ijtihad para ulama atau interpretasi dari
teks Al-Qur’an ataupun as-Sunnah bukan teks itu sendiri yang bisa saja
masih interpretible. Jika memang ada tek Al-Qur’an dan al-Hadist yang
menerangkan model khilafah mendunia tolong ditunjukkan!
Selanjutnya untuk beberapa saudara saya,
barangkali lebih tepat tidak menggunakan istilah kufur, sebutlah saja
dengan istilah kovensional, sistem madani, atau sistem umum. Jika semua
yang dari luar Islam dianggap kufur, bagaimana dengan apa yang sedang
kita lakukan saat ini, yaitu berkomunikasi melalui internet. Setujukah
anda? Anda menyatakan bahwa kita sedang berkomunikasi dengan cara yang
kufur? Karena yang menciptakan komputer, internet, dan lain sebagainya
itu adalah orang-orang Non Muslim bahkan Yahudi.
Ikhwan dan akhwat HTI yang saya hormati. Kalau
kita membuka lembaran sejarah di dalam piagam Madinah sebagai Dustur
Negara Madinah di situ tidak tertera ungkapan bahwa negara berasaskan
Al-Qur’an dan al-Hadits (syariat Islam). Yang ada hanya penjelaskan
bahwa baik orang Islam atau Yahudi dan Non Muslim yang lain semua adalah
umat yang harus menjalankan kewajiban dan menerima persamaan hak
kewarganegaraan sama-sama membela negara dari serangan musuh dan
sama-sama mendapatkan sanksi jika melanggar sesuai dengan kesepakatan.
Subhanallah, Nabi Muhammad SAW itu memang negarawan ulung. Bahwa menurut
beliau ada urusan duniawi dan ukhrawi, urusan duniawi ini diserahkan
kepada ahlinya antum a’lamu bi umuri dunyakum, tapi negara tetap
dinahkodai oleh nilai agama yang esensial dan prinsipil.
NU mentauladani sunnah politik Nabi Muhammad SAW
berdasarkan contoh dari Nabi SAW, para sahabat, dan Ulama yang diikuti
oleh kaum ahlussunnah tidak terlalu memusingkan sistem pemerintahan dan
negara, terserah mau pakai kerajaan terpusat, multi nation, multi
dinasti dan lain-lain, tetapi syariat tetap harus diterapkan secara
damai, bertahap, tanpa harus dipaksakan dan sesuai dengan kesepakatan
anak bangsa.
Maka dari itu, setiap negara yang mayoritas
penduduknya muslim menganut sistem fiqih yang berbeda –beda yang
disepakati anak bangsa atau keputusan negara, ada yang Hanafi, Syafii,
Hanbali dan Maliki. Ulama Indonesiapun termasuk NU memperjuangkan
eksistensi peradilan agama dan kementrian agama untuk mengurusi masalah
keislaman, bahkan tak sedikit kader NU yang menjabat kepala Kantor
Urasan Agama, Kakandepag, Kepala Pengadilan Agama, Kanwil Depag bahkan
ada yang menjadi menteri agama.
Tentang pernyataan bahwa “negara akan aman,
terentaskan dari kemiskinan, menghilangkan kejahatan dan lain-lain, jika
menganut sistem khilafah (Syariah Islam), dengan penuh kerendahan
hati,” terpaksa saya ajukan pertanyaan begini: Benarkan sistem khilafah
itu menjamin keamanan negara? Sementara dalam catatan sejarah pada masa
sayyidina Abu Bakar RA, Sayyidina Usman RA dan Sayyidina Ali RA terjadi
kekacauan politik yang luar biasa (chaos).
Bisakah dikatakan aman suatu negara apabila
kholifah atau presidennya mati terbunuh ditangan lawan politiknya, lihat
saja sayyidina Umar RA wafat tertusuk pedang oleh Abu Lu’luk al-Majusi,
sayyidina Usman RA wafat terbunuh sebagai syahid ditangan ribuan
demonstran yang menuduh beliau melakukan nepotisme, sayyidina Ali RA
wafat sebab tikaman belati oleh Abdurrahman Ibnu al-Muljam yang
sebelumnya terjadi dua kali perang saudara yaitu Perang Jamal dan Perang
Siffin yang telah menelan ribuan korban sahabat nabi wafat sebagai
syuhada karena membela ijtihadnya masing-masing?
Di masa sayyidina Umar terjadi fase kemiskinan
dan kelaparan yang dahsyat sampai dihentikan hukum potong tangan, belum
lagi cucu Rasulullah SAW Sayyidina Hasan RA, yang sangat kita cintai
diduga wafat karena diracun oleh lawan politiknya, begitu juga Sayyidina
Husain RA meninggal sebagai syahid dengan sangat mengenaskan karena
didzalimi oleh lawan politiknya yang sampai saat ini masih terasa
traumatik kesejarahannya. Pembunuhan sayyidana Husaen RA tersebut juga
dilakukan oleh Khalifah yang mengatasnamakan syariat Islam dan
berdasarkan hadits. Idza buyi’a likhalifataini faqtul al-akhar minhuma (apabila telah dibai’at dua orang khalifah bunuhlah salah seorang di antara keduanya) (HR Muslim No 3444).
Riwayat di atas semakin meneguhkan hati saya
bahwa dari catatan sejarah sistem apapun tidak akan menhilangkan
kejahatan secara total. Yang wajib bagi kita ialah amar ma’ruf nahi
munkar dan implementasinya sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing,
begitu juga mengentaskan kemiskinan dan lain sebaginya yang penting itu
bukan sistem tapi supremasi hukum atau penegakkan hukum.
Bagi saya Hulafa’ Al-Rurrasyidun itu
tidak bersalah karena mereka semua mujtahid yang berusaha menegakkan
hukum semampu mereka dalam pilihan ijtihat yang tegas, jelas dan
memperhatikan kemaslahahatan. Sudah barang tentu hukum itu harus
ditegakkan bukan diganti, maka NU terus berusaha menegakkan hukum ini
sesuai dengan kemempuan ijtihadnya. NU pun mengkampanyekan jihad melawan
korupsi, mencerdaskan umat Islam dengan mendirikan pesantren dan
sekolah bahkan sampai perguruan tinggi yang berjumlah ribuan lembaga
sepanjang untaian kepulauan nusantara. Di dalamnya dikaji Al-Quran dan
al-Hadits beserta ilmu-ilmu yang melengkapinya, ikhtiar mengamalkannya
secara optimal dimulai dari sholat berjmaah, meninggalkan maksiat dan
berakhlaqul karimah.
Dalam amar ma’ruf nahi mungkar NU menggunakan
cara pendekatan psikologis mendekati para napi, bromocorah, PSK untuk
diajak bertobat kepada Allah SWT, mengkampanyekan anti mo-limo: madon,
madat, maling dan lain sebagainya. Sistem apapun tidak mungkin
menghilangkan kejahatan manusia, sebab fitrah manusia itu memang bisa
berbuat salah dan sebagai buktinya ialah Allah SWT menyediakan neraka
walaupun juga menyediakan surga.
Menurut saya ini adalah tantangan bagi kita
untuk beramar makruf nahi munkar dan berdakwah sembari mencari strategi
yang efektif demi tumbuh kembangnya Islam dan pemancangan akarnya yang
kokoh di atas bumi sembari menyadari bahwa kita hanya berusaha dan Allah
jua yang menentukan. Innaka la tahdy man ahbabta walakinnallaha yahdy man yasya’ (Al-Qashash:
56). Kejahatan itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan, tapi didekati
dengan mauidhah hasanah dan mujadalah billaty hiya ahsan. Walau kunta Fadhdhan gholidhal qolbi lan fadhdhu min haulik (Ali Imran: 159). Kalau engkau keras, orang-orang yang kamu dekati akan lari, jadi harus lembut. Pelan tapi pasti. Basysyiru wa la tunaffiru (HR. Bukhari No 67). Berilah mereka kabar gembira, jangan buat mereka lari. Inilah prinsip ahlussunnah yang dipegang NU.
Tentang pernyataan bahwa pemilihan presiden yang
dianggap hanya berdasarkan pada hukum manusia dan khilafah berdasarkan
kepada hukum syara’, bukankah khalifah Abu Bakar RA dan Ali RA itu
dipilih oleh rakyat sebagaimana wa amruhum syura bainahum (dan persolan
mereka dimusyawarahkan di antara mereka pula), lantas apa perbedaannya
kalau dalam realita sama-sama dipilih oleh rakyat?
Tentang pernyataan bahwa sistem DPR, DPD yang
dianggap sistem kufur, saya kira ini keterlaluan, dan yang menyatakan
itu sepertinya merasa menjadi hakim dalam menkafirkan orang. Padahal
ketua MPR DPR DPD itu orang baik-baik, baik yang periode ini maupun
periode sebelumnya, bahkan untuk ketua DPD, KH. Mahmud Ali Zain, Saya
pernah berkumpul dengan beliau selama tujuh tahun. Dalam penilaian saya,
beliau itu termasuk orang shalih, baik ibadahnya yang komplit mulai
dari yang wajib sampai yang sunnah atau semangat juangnya yang terus
berkobar hingga saat ini. Beliau memperjuangkan kemajuan Pondok
Pesantren di Indonesia. Saya sebagai orang yang sama-sama tahu dari segi
pengamalan keagamaannya. Dan setahu saya tugas-tugas lembaga tersebut
adalah tugas mulia yang tidak bertentangan dengan Islam jika ada oknum
yang tidak menjalankan tugas dengan baik tentu tidak bisa di
generalisasi terhadap semua lembaga tersebut
Tentang harapan diadakannya dialog, alangkah
bahagianya andaikata yang mulia Ustadz Ismail Yusanto (Jubir HTI)
berkenan hadir dan berdiskusi dengan kami dan teman-teman kami di
Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jember sambil duduk santai, minum teh hangat
dan menikmati kurma ajwah (buah kurma yang konon pohonnya ditanam
langsung oleh Rasulullah SAW), dan membuka kitab-kita tafsir dan hadits
dengan pikiran jernih. Kami dengan senang hati dan tangan terbuka akan
menyambut beliau dengan penuh kehangatan sebagai ikhwan sesama muslim.
Mari kita lanjutkan. Saya selalu menungu respon dari semuanya.
KH Muhyiddin Abddusshomad
Penulis buku "Fiqih Tradisionalis" dan Ketua PCNU Jember
Penulis buku "Fiqih Tradisionalis" dan Ketua PCNU Jember
sumber:http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,10684-lang,id-c,syariah-t,Diskusi+Seputar+Khilafah+2++Tanggapan+atas+Tanggapan+-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar