Eksistensi Bangsa di Dunia Maya
=========================
Situs Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia yang beralamat www.heritage.gov.my menjadi sasaran cyber warrior Indonesia. Saat NU Online mengunjungi halaman situs tersebut, Kamis (29/11/2007), yang tampil hanya halaman berwarna putih dan beberapa tulisan.
Peretas yang telah berhasil
menjadikan salah satu situs pemerintah Malaysia sebagai bulan-bulanan
ini meninggalkan 3 tuntutan untuk Malaysia:
1. Hentikan pencurian kesenian dan kebudayaan dari Indonesia
2. Adili pelaku kekerasan terhadap WNI yang berada di Malaysia
3. Bubarkan Pasukan Rela
Saat diakses, isi situs yang
sejatinya berisi informasi tentang kebudayaan dan kesenian Negeri Jiran
tersebut telah berubah total. Tampaknya, aksi deface ini merupakan
ungkapan kemarahan anak bangsa Indonesia terhadap Malaysia.
Bisa jadi, aksi peretasan ini
merupakan ungkapan lanjutan dari kekecewaan para cyber warrior Indonesia
kepada “ulah” Malaysia yang dianggap telah mencuri kesenian dan
kebudayaan Indonesia: Rasa Sayange yang dijadikan jingle kampanye
pariwisata Malaysia, Reog Ponorogo yang mereka namakan Barongan, Batik
yang telah mereka claim hak ciptanya, dan masih banyak lagi atau juga
kekerasan yang kerap dilakukan Malaysia terhadap warga negara Indonesia
yang berada disana. Hacker juga menuntut agar pasukan Rela dibubarkan.
Aksi peretasan ini adalah
tindakan konkrit dari para aktivis dunia maya Indonesia yang sudah
sangat kesal terhadap tindakan pemerintah Malaysia dan juga jenuh
menunggu aksi dari pemerintah Indonesia yang tidak juga melakukan
pembelaan diri ataupun usaha-usaha untuk mempertahankan eksistensi
budayanya, pemerintahan Indonesia justru sibuk dengan hal-hal yang
kurang signifikan dan sibuk mengemban misi dari negara-negara barat
seperti mengangkat isu global warming dan sebagainya, padahal
jelas bahwa penyebab global warming sendiri adalah negara maju seperti
Amerika tapi justru negara-negara berkembang seperti Indonesia yang
disuruh bertanggungjawab.
Sampai dengan artikel ini
ditulis, Selasa (11/12/2007) situs www.heritage.gov.my yang telah
diperbaiki dan sudah dapat kembali diakses masih mencantumkan Reog
Ponorogo sebagai kebudayaan mereka dengan nama Tari Barongan, dapat
dilihat pada link berikut
http://www.heritage.gov.my/kekkwa/index.php?bahan=viewbudaya.php?id=458
Apa yang telah dilakukan oleh
peretas-peretas Indonesia ini merupakan refleksi dari sikap nasionalisme
yang selama ini terpendam, sebagian besar masyarakat mengganggap bahwa
hacker hanyalah perusak yang merugikan, mereka kaum marginal, tapi
ternyata justru para hacker inilah yang dengan nyata telah menunjukkan
sikap nasionalismenya. Lalu kemanakah orang-orang yang mengaku beradab,
mengaku warga negara Indonesia, sudah jelas jiwa nasionalisme mereka
patut dipertanyakan. Karena pada umumnya mereka adalah tipe orang-orang
oportunis yang tidak lagi punya kepedulian terhadap tanah airnya.
Sebagai contoh lagi, tindakan
Malaysia mengklaim "kepemilikan" ekspresi produk budaya tradisional
Indonesia tak cuma terjadi pada bidang kesenian saja. Melalui kalangan
akademispun mereka mengincar naskah-naskah Melayu klasik Nusantara
hingga kepelosok Indonesia. Dalam rapat kerja Asosiasi Tradisi Lisan
(ATL) di Jakarta pada 10-11 Desember 2007, terungkap bahwa upaya-upaya
Malaysia dalam mencuri hak intelektual Indonesia sudah berlangsung
beberapa tahun terakhir. Bahkan ratusan hasil penelitian seorang
budayawan Tenas Effendi di atas tradisi lisan dan naskah-naskah Melayu
klasik yang dihimpunnya selama bertahun-tahun sebagian besar kini sudah
berada di universitas terkenal di Kuala Lumpur.
Sepertinya obsesi Malaysia
beberapa dekade terakhir untuk menjadi pusat tolehan budaya Melayu
sedunia semakin gencar, ditambah lagi semangat kapitalisme yang menyebar
luas pada masyarakat. Buktinya adalah bahwa perburuan seni dan
kebudayaan mereka hingga ke pelosok daerah Indonesia bukan tanpa modal,
seperti yang terjadi di Sumatera Barat, ada beberapa oknum yang berani
membayar sebuah naskah dari penduduk setempat seharga Rp 50 juta hingga
Rp 60 juta.
Saat ini Malaysia juga sedang
getol mengejar teknologi rekayasa produksi gaharu temuan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA), Malaysia
pernah mengirim direktur jenderal lingkungan dan peranian ke P3HKA dan
mereka meminta dapat mengadopsi temuan itu tetapi ditolak karena
khawatir akan diklaim sebagai temuan mereka juga.
Terlepas dari sudut pandang
hukum yang menyatakan bahwa peretasan adalah tindakan melawan hukum,
aksi yang dilakukan peretas Indonesia terhadap situs pemerintah Malaysia
ini adalah sedikit contoh dari percikan api nasionalisme yang
bergejolak melihat eksistensi bangsanya terusik. Peretasan memang
perbuatan melawan hukum, tapi perbuatan yang masuk dalam kategori “Bela
Bangsa” juga wajib hukumnya. Tapi anehnya, justru orang-orang yang
mengaku melek hukum dan sibuk bergumul dengan politik justru tidak dapat
melihat hal ini.
Indonesia dan Malaysia
seringkali disebut-sebut sebagai bangsa serumpun, bertetangga, memiliki
jumlah warga negara yang beragama Islam terbanyak dan sebagainya. Lalu
apakah tidak ada cara lain yang lebih sopan dan beradab dalam menjalin
hubungan selain merebut seni dan kebudayaan. Saling mencemooh dan saling
menjatuhkan, bukankah persatuan dan kesatuan itu lebih baik daripada
perpecahan demi ego masing-masing. Hanya persatuan dan kesatuan yang
dapat merapatkan barisan dan menjalin ukhuwah Islamiyah, sehingga alam
dapat berputar dengan harmonis. Karena Islam itu sudah pasti Rahmatan
Lil Alamin.
Jadi, sekarang kita semua dapat melihat sendiri dari bukti nyata yang sudah terjadi kesekian kalinya ini. Siapa yang lebih memiliki sikap nasionalis dan berani mengambil tindakan tegas untuk mempertahankan eksistensi bangsanya sebelum punah dan siapa yang menjadi kaum kapitalis dan oportunis sehingga tidak lagi peduli dengan budaya bangsanya, bukankah bangsa yang besar itu adalah bangsa yang mampu menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Dan pahlawan ada hanya kalau ada pengabdian. (Ardyan Novanto Arnowo)
2. Adili pelaku kekerasan terhadap WNI yang berada di Malaysia
3. Bubarkan Pasukan Rela
Jadi, sekarang kita semua dapat melihat sendiri dari bukti nyata yang sudah terjadi kesekian kalinya ini. Siapa yang lebih memiliki sikap nasionalis dan berani mengambil tindakan tegas untuk mempertahankan eksistensi bangsanya sebelum punah dan siapa yang menjadi kaum kapitalis dan oportunis sehingga tidak lagi peduli dengan budaya bangsanya, bukankah bangsa yang besar itu adalah bangsa yang mampu menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Dan pahlawan ada hanya kalau ada pengabdian. (Ardyan Novanto Arnowo)
sumber:http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,14-id,10778-lang,id-c,teknologi-t,Eksistensi+Bangsa+di+Dunia+Maya-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar