Kopiah Sebagai Simbol Patriotisme
======================
KOPIAH
adalah tutup kepala yang terbuat dari beludru warna gelap dengan
ketinggian antara 6 sampi 12 Cm. Dari segi bentuk merupakan modifikasi
antara torbus Turki dengan peci India. Di tempat lain kopiah juga
disebut sebagai songkok ada juga yang menyebut peci. Kopia ini sudah
cukup lama dipakai oleh masyarakat Islam Nusantara terutama kalangan
pesantren.
Dikisahkan bahwa seorang santri Sunan Giri
Gresik dikenal sebagai raja cengkeh, karena kalau pulang ke kampung
halamannya Maluku selalu membawa kopiah, sambil menyiarkan Islam di
daerah yang dulu dikenal dengan nama Hitu itu membawa kopiah, setiap
sebuah kopiah diganti oleh masyarakat setempat dengan cengkih yang
banyak sekali, sehingga ketika kembali ke pesantren Giri santri tersebut
membawa cengkih yang amat banyak, yang sangat laku di Gresik. Demikian
juga santri Giri yang pulang ke daerah asalnya juga selalu membawa
kopiah, sehingga tutup kepala yang satu ini menyebar di seluruh penjuru
Nusantara.
Kalangan Islam pesantren mewajibkan tidak hanya
kalangan santri tapi pemeluk Islam pada umumnya untuk selalu memakai
tutup kepala yang digunakan sebagai bentuk kewiraian atau kezuhudan
seseorang, atau minimal sebagai bentuk kelaziman. Kitab
Ta’limulmuta’alim misalnya sangat menekankan untuk selalu memakai tutup
kepala dalam kehidupan. Oleh pesantren tidak diterjemahkandalam bentuk
sorban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah.
Oleh karena itu santri tidak pernah melepas
peci, demikian juga saat menjalankan sembahyang masyarakat Islam selalu
menggunakan kopiah, dianggap kurang utama bila menangalkannya. Bahkan
santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul
(tidak memakai tutup kepala) dan itu kemudian diidentikkan dengan santri
badung yang sering melangar tatakrama, aturan dan pelajaran. Dengan
demikian salah satu bentuk tradisi pesantren adalah tradisi memakai
kopiah hingga saat ini, walaupun beberapa pesantren modern mulai
meningalkannya.
Penggunaan kopiah sebagai identitas kiai itu
semakin marak sejalan dengana semakin meluasnya Islam baik oleh para
wali dan ulama maupun kiai di berbagai tempat, sehingga mereka yang
sudah santri itu meneguhkan identitasnya dengan emakai kopiah berwarna
hitam itu. Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa bagi santr atau orang
Islam yang belum menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan memakai peci
haji. Karena itu bila ada orang belum haji tentu sangat malu dan dicela
ketika memakai peci haji warna putih. Mereka itu tahu adat dengan
demikian mereka tetap mengunakan peci hitam.
Pada awal pergerakan Nasional 1908 kebanyakan
para aktivis masih memakai destar dan tutup kepala blangkon, yang lebih
dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat, tetapi seiring dengan meluasnya
gerakan sama rata sama rasa dan penolakan terhadap feodalisme termasuk
dalam berpakaian dan berbahasa, yang menolak bahasa kromo, sebagaimana
yang dikembangkan oleh Tjokroaminoto aktivis Sarekat Islam (SI) yang
berasal dari Madiun dan bermarkas di Surabaya yang merupakan kota
santri. Sehari-hari Cokro menakai tradisi ini. Dengan sendirinya
penampilan tokoh idola yang selalu berkopiah itu menjadi anutan kaum
pergerakan baik yang santri dan kalangan priyayi. Apalagi para murid
Cokro sendiri termasuk Soekarno yang dulunya masih memakai blangkon kini
turut memakai kopiah.
Sejak saat itu kopiah yang semula merupakan
tradisi pesantren dijadikan sebagai songkok nasional atau kopiah
nasional, sebagai identitas nasional yang dipelopori oleh kaum
pergerakan. Sebagai orator yang ulung Soekarno tampil sebagai peraganya
sendiri, yang tampil sangat prima dan mempesona, karena itu para
aktivis dan priyayi mulai menggunakan kopiah, tidak hanya sebagai simbol
Islamisme tetapi juga sekaligus sebagai simbol patriotisme dan
nasionalisme, yang berbeda dengan para priyayi atau para ambtenar yang
menjadi kolaborator Belanda.
Pada Muktamar NU ke 10 di Banjarmasin, di mana
NU mulai sangat aktif melibatkan diri dalam merespon perkembangan dunia
luar baik nasional maupun internasional. Saat itu NU mengakui
Nasioalisme Hindia Belanda itu, pada saat yang sama membolehkan warganya
untuk memakai pantalon, asal masih memakai kopiah, agar identitas
kesantriannya masih tampak, sehingga masih bia dibedakan dengan kolonial
Belanda.
Kaum pergerakan yang dalam acara resmi baik
rapat maupun perundingan selalu memakai peci. Kebiasaan itu berkembang
menjadi kelaziman yang tidak pernah ditinggalkan, karena itu bila ada
ada tokoh yang tidak memakai kopiah pasti menjadi rasanan para aktivis
lainnya. Ketika Muhammad Hatta mewakili Indonesia dalam Konfrensi Meja
Bundar di Den Hag, 27 desember 1949, Hatta digunjing oleh para aktivis
lainnya sebagai blootshoofd (tanpa kopiah), sehingga ciri khas
Keindonesiaannya tidak ditampilkan, yang diharapkan bisa memberi garis
tegas antara nasionalisme dan kolonialisme.
Bung Karno adalah salah seorang penghobi berat
kopiah, karena itu ia memilih bahas sendiri untuk pembuatan kopiah
dengan beludru terbaik dari luar negeri. Biasanya bila kelihatan kopiah
menteri atau koleganya telah lusuh diberinya bahn beludru itu untuk
dibawa ke penjait khusus. Bahkan ketika kekuasannya telah diujung
tandauk ia masih tenag bersama KH Saifuddin Zuhri berbincang tentang
identitas nasional itu. Sewaktu pulang kiai itu diberi dua meter beludru
yang menurut Bung karno bisa digunakan untuk membuat enam puah kopiah.
Selama masa Indonesia merdeka sampai akhir orede
baru kopiah yang telah menjadi identitas nasional dipakai oleh semua
pejabat tinggi negara dalam acara resmi. Termasuk para kontingen olah
raga atau Paskibraka, bahkan wanitapun memakai kopiah. Presiden atau
menteri dalam kunjungan ke luar negeri selalu menampakkan identitas ini.
Tetapi setelah reformasi, terutama ketika liberalisme telah merambah
dalam kesadaran beberapa pejabat termasuk presiden, tidak lagi
menggunakan kopiah dalam acara resmi.
Walaupun kopiah telah menjadi identitas nasional
dipakai siapa saja baik abangan, kalangan priyayi termasuk pengikut
agama non Islam, teapi Kopiah masih menjadi identitas kesantrian yang
kuat, sebab dalam kopiah di lingkunagn ini menjadi pakaian sehari-hari,
setidaknya untuk sembahyang. Karena itu industri kopiah di Nusantara ini
masih dikuasai kalangan santri dan tumbuh di kota-kota santri yang
berbasisi nahdliyin.
Sejak zaman Sunan Giri hingga saat ini Gresik
tetap terdepan dalam industri kopiah, hal itu kemudian diikuti beberapa
kota lain seperti Kudus, Pekalongan Tasik dan sebagainya. Saat ini
produsen kopiah terkenal adalah Awing, Muslimin selain itu juga banyak
produk yang lebih rendah yang diproduksi dalam rumah tangga tanpa merek
Ini menunukkan bahwa identitas nasional itu masih dijaga oleh para
santri dan pengrajin di masyarakat.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,8327-lang,id-c,fragmen-t,Kopiah+Sebagai+Simbol+Patriotisme-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar