Liku-liku Berdirinya Gedung PBNU
======================
Sebagaimana
organisasi perintis lainnya NU mengalami perpindahan tempat berkali-kali
dari Surabaya, ke Pasuruan Madiun, sebelum akhirnya nyampai di Jakarta.
Ini merupakan karir dan pengalaman sendiri sebuah organisasi kaum
santri yang mencoba mengembangkan perannya secara nasional. Di Jakarta
sendiri kantor NU juga beberapa kali melakukan perpindahan, pertama kali
di jalan Menteng Raya, di sebuah tempat yang dihadiahkan oleh pimpinan
NU wilayah Jakarta, Djamaluddin Malik, baru kemudian pindah ke Kramat
Raya yang menempati gedung berlantai delapan hingga saat ini.
Di lingkungan NU sendiri, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa
Kiai Muhammad Dahlan merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam
menyediakan dan menjaga kantor PBNU. Hal itu dilakukan jauh sebelum ia
terpilih menjadi ketua Umum PBNU. Ketika Surabaya direbut Belanda akibat
meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945,
Dahlanlah yang memindahkan kantor PBNU yang semula terletak di Jalan
Bubutan, Surabaya ke jalan Pengadangan Nomor 3, Pasuruan.Saat terjadi
Agresi Belanda I di tahun 1947 kantor PBNU dari Pasuruan di pindah lagi
ke arah barat yang lebih aman yakni ke Jalan Dr. Sutomo Nomor 9 Madiun.
Sialnya setahun kemudian, meletus pemberontakan PKI di Madiun pada
September 1948 dan tiga bulan berikutnya disusul dengan Agresi Belanda
II. Mengingat situasi yang tidak aman dan penuh ancaman itu maka kantor
PBNU kembali pindah ke Surabaya.
Setelah menjadi politik besar pasca Pemilu 1955, aktivitas NU semakin
padat, sehingga kantor lama tidak memadai lagi, karena itu pada akhir
tahun 1956, selaku Sekjen PBNU KH. Saifuddin Zuhri merasa kantor yang
ditempati PBNU di Jalan Menteng Raya Nomor 22, Jakarta sudah tidak
memenuhi persyaratan lagi. Dalam suatu percakapan di sebuah rumah makan
yang lebih tepat disebut warung di Jalan Raden Saleh, Jakarta, ia
meminta bantuan Kiai Dahlan untuk mencarikan kantor baru yang cukup
pantas ditempati PBNU. Ikut hadir dalam percakapan itu pengusaha kaya
Djamaluddin Malik dan intelektual terkemuka Subchan ZE. Masa itu, warung
di Jalan Raden Saleh tersebut merupakan tempat yang kerap dikunjungi
keempat tokoh NU tersebut karena masakan sop, gulai dan sate kambingnya
yang lezat.
Beberapa minggu kemudian, Dahlan berjumpa dengan KH. Saifuddin Zuhri
dan menyampaikan bahwa ia telah berhasil mendapatkan gedung yang layak
dijadikan kantor PBNU, terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 164. Ketika
melihat bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung
itu, baginya gedung tersebut hanya layak digunakan sebagai toko, bukan
potongan kantor sebuah partai yang mulai tumbuh besar. Namun Dahlan
meyakinkan bahwa letak gedung itu cukup strategis dan harganya hanya Rp.
1.250.000,- yang dapat diangsur dalam dua kali pembayaran. Dahlan pun
menyatakan bahwa sulit mencari gedung yang baik tetapi dengan harga yang
dapat dijangkau PBNU. Perlu diketahui Jalan Kramat raya saat itu
merupakan kawasan paling bergengsi, semua partai besar sejak dari PNI,
NU, Masyumi PKI ada di kawasan itu, termasuk beberapa partai politik
lain seperti Parkindo.
Walhasil Saifuddin dapat diyakinkan olehnya dan hingga kini setelah
45 tahun lebih berselang, gedung tersebut tetap dimanfaatkan sebagai
kantor PBNU. Belakangan, Saifuddin Zuhri baru mengetahui dari Subchan
ZE, bahwa salah satu alasan kuat mengapa pak Kiai Dahlan begitu gigih
mengusahakan agar gedung di Kramat Raya 164 itu dijadikan kantor PBNU,
karena letaknya yang hanya 300 - 400 meter saja dari warung yang kerap
ia kunjungi dengan menu-menu khas seperti gulai kambing dan nasi kebuli.
Sebelum menempati gedung megah berlantai delapan di Jalan Kramat Raya
164, kantor PBNU juga sempat singgah selama dua tahun di Jalan Agus
Salim, Jakarta Pusat, dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan
November 2001. Segala aktivitas organisasi dijalankan digedung yang
cukup refresentatif, sambil menunggu selesainya pembangunan gedung
delapan lantai, kebanggaan warga NU ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar