Nasionalisme Ditambah Bismillah itulah Islam
======================
Soekarno adalah
Presiden RI yang paling akrab dengan para kiai setelah Gus Dur. Setelah
memproklamasikan kemerdekaan RI bersama Muhammad Hatta, ia lebih sering
berada di pesantren karena nyawanya berada dalam ancaman pasukan sekutu
maupun Jepang. Pesantren adalah markas yang menakutkan penjajah waktu
itu, bahkan sejak pertama kali penjajah Barat datang ke Nusantara.
Alkisah, Belanda dan para sekutunya belum mau mengakui kemerdekaan
RI. Pada akhir September 1945, tentara Inggris mendarat di ibu kota
Jakarta dengan nama NICA yang tentunya diboncengi pasukan Belanda.
Sementara itu Jepang yang masih trauma akibat kalah perang tetap harus
memikul tugas "mengamankan" Indonesia sebelum alih kuasa.
Pergerakan pasukan Inggris tidak dapat dibendung. Medan, Padang,
Palembang, Bandung, dan Semarang telah mereka kuasai melalui
pertempuran-pertempuran dahsyat. Sementara itu diplomasi selalu menemui
jalan buntu. Karena saking bingungnya Soekarno lalu sowan kepada
hadratussyeikh KH. Hasyim As'ary untuk menanyakan satu hal. "Kiai,
bagaimana hukumnya membela tanah air. Bukan membela Allah, juga bukan
membela Islam!?" kata Soekarno.
Pertanyaan Soekarno sebenarnya tidak perlu dijawab, karena selama ini
pesantrenlah yang berada di garda depan perjuangan melawan penjahan.
Dan Mbah Hasyim pun tahu, Soekarno hanya ingin agar orang pesantren
bergerak lagi. Namun sebagai seorang Kiai yang bijaksana Mbah Hasyim
tidak langsung menjawab alias memutuskan perkara besar itu sendirian.
Mbah Hasyim lantas mengumpulkan perwakilan cabang NU seluruh Jawa dan
Madura untuk berembuk.
Akhirnya, pada 22 Oktober 1945, Mbah Hasyim mengeluarkan seruan jihad
menumpas Belanda dan sekutunya. Belakangan seruan itu dikenal dengan
resolusi Jihad. Dua minggu setelah itu meletuslah peristiwa "Surabaya 10
November". Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan
Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda
berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul
Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang
dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Para kiai dan santri berbaur dengan
pasukan reguler melawan pasukan pemenang Perang Dunia II.
Belakangan tokoh tua NU yang tetap enerjik mengawal perjalanan negeri
ini adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah. Soekarno sering bersama-sama
Mbah Wahab, teman sekaligus gurunya. Suatu saat Soekarno yang selalu
mengampanyekan nasionalisme itu bertanya kepada gurunya, "Pak kiai
apakah nasionalisme itu ajaran Islam?" Mbah Wahab menjawab tegas,
"Nasionalisme ditambah bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis."
Demikianlah. Karena kedekatannya Soekarno sangat dicintai oleh para
kiai dan warga pesantren. Suatu saat slogan-selogan bertuliskan "Hidup
Mati untuk Soekarno" bertebaran di mana-mana. Di pohon, tembok, spanduk,
maupun selebaran. Warga pesantren pun tak mau ketinggalan. Namun, cinta
pada Soekarno dan cinta tanah air itu ada batasnya. Menyaksikan warga
pesantren terlalu antusias mencintai Soekarno, Ketua Umum PBNU waktu itu
KH. Idham kholid berpidato, "Atas restu Rais Am NU KH. Wahab
Chasbullah saya nyatakan, hidup mati untuk Allah bersama-sama bung
Karno."
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7666-lang,id-c,fragmen-t,Nasionalisme+Ditambah+Bismillah+itulah+Islam-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar