Santri Keliling Bernama Kiai Abbas Buntet
============================
Dulu, tidak ada
santri yang hanya belajar atau nyantri di satu atau dua pesantren saja.
Karena pesantren bersifat spesialais, hanya mengajarkan keilmuan
tertntu, karena itu kalau mau belajar ilmu yang lain harus pindah. Para
santri berpindah-pindah dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk
memperluas dan memperdalam pengetahuannya. Sehingga dikenal dengan
istilah santri kelana.
Istilah alumni ini mungkin bermula sejak diadakannya sistem klasikal
dengan kurikulum yang ketat dan diajarkan oleh para ustazd dan tidak
oleh kiainya langsung. Karena pesantren mengajarkan semua hal, sehingga
tidak mungkin ditangani kiainya sendiri. Sementara pada zaman dulu, para
santri dididik langsung oleh kiainya kemudian segera selesai dan para
santri diperintahkan untuk mencari tambahan ilmu di pesantren yang
lainnya. Sehingga menjadilah mereka santri keliling atau wandering
santris.
Para sejarawan biasa menyebut mereka sebagai Satria Lelana. Pada masa
penjajahan para santri inilah yang menjadi mediator anatar pesantren
untuk melawan penjajah. Sementara pesantren di mana pun adanya selalu
menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah. Santri keliling
ini menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dari
satu pesantren ke pesantren yang lain, bahkan mereka tidak segan-segan
memimpin perlawanan.
Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang lebih dikenal dengan Kiai Abbas
Buntet. Lahir pada hari Jumat 24 Dzulhijjah 1300 H (1879 M) di
Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Abbas kecil belajar kepada ayahnya Kiai
Abdul Jamil. Adalah contoh santri lelana tulen. Setelah dirasa cukup
menguasai dasar-dasar ilmu agama, dan ilmu kanuragan tentunya, dia
dipindahkan ke Pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, dibawah asuhan Kiai
Nasuha. Setelah itu, masih di Jawa Barat, dia pindah ke sebuh pesantren
salaf (tradisional) di daerah jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan.
Berikutnya, Abbas pindah ke pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di
daerah Tegal, yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Lalu dia pindah ke sebuah
pesantren yang waktu itu sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren
Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Kiai Hasyim Asyari. Di sinilah dia
bertemu dengan teman-temannya, para santri keliling yang progresif,
antara lain Abdul Wahab Chasbullah yang kelak menjadi seorang tokoh
terpenting yang memelopori berdirinya organisasi kaum santri bernama
Nahdlatul Ulama (NU).
Belum cukup kenyang belajar di Pesantren Tebuireng, Abbas bertolak ke
Tanah Hejaz (Saudi Arabia sekarang) untuk memperdalam ilmu. Di sana,
dia sempat belajar kepada Kiai Machfudz Termas asal Pacitan Jawa Timur,
salah seorang ulama Nusantara yang kesohor di Makkah waktu itu. Di
tempat yang sama, dia bertemu dengan semakin banyak santri keliling.
Selain Wahab Chasbullah, ada juga Bakir dari Yogyakarta, dan Abdillah
dari Surabaya.
Kiai Abbas berada di garda depan perjuangan mengusir Inggris dalam
peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Setelah Kiai Hasyim Asyari
sebagai pemimpin utama NU waktu itu mengeluarkan Resolusi Jihad pada
22 Oktober 1945 berupa seruan untuk mengusir penjajah yang ingin kembali
menginjak bumi pertiwi. Para kiai dan ribuan santri segera bergerak ke
Surabaya. Bung Tomo orator utama dalam peristiwa ini adalah juga
termasuk murid Kiai Hasyim Asyari yang selalu berkomunikasi aktif.
Ketika Kiai Wahab Chasbullah memimpin pasukan Kiai dan Santri
bernama Sabilillah dan Hizbullah, belum mengizinkan serangan sebelum
seorang pendekar yang disegani asal Cirebon datang. Dialah Kiai Abbas
Buntet. Kiai Abbas datang bersama rombongan dan langsung bergabung ke
dalam barisan perang. Kiai Abbas terkenal sakti dan paling berjasa
meledakkan pasukan tempur Inggris yang tidak sebanding dengan senjata
para pejuang kemerdekaan waktu itu.
Hanya beberapa orang santri keliling yang terekspos dalam catatan
sejarah apalagi sebagai seorang pahlawan nasional, termasuk Kiai Abbas
sendiri. Sejarah nasional Indonesia lebih senang menuliskan
peristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh besar yang punya pengaruh
besar. Kaitannya dengan tokoh, terutama sekali para tokoh yang punya
hubungan erat dengan penguasa, entah bersahabat atau bermusuhan, atau
juga para tokoh yang ditulis oleh para pencatat dan pelancong yang
dibawa oleh penguasa. Belakangan ada kesadaran sejarah baru, mengamati
sejarah dari perspektif yang kecil-kecil seperti tokoh-tokoh kecil dari
daerah-daerah kecil atau tentang fenomena kecil seperti santri keliling
yang mungkin adalah sejarah dalam arti yang sesungguhnya; sejarah
peradaban.
sumber:http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7674-lang,id-c,fragmen-t,Santri+Keliling+Bernama+Kiai+Abbas+Buntet-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar