ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Sabtu, 09 Maret 2013

Beragama dengan Tawadlu'

=============
Beragama dengan Tawadlu'
======================
Jakarta, NU Online
Situs resmi PBNU mendapat surel dari Aceh. Tidak main-main, pengirimnya menyertai empat logo badan otonomi NU setempat: IPNU, IPPNU, Fatayat NU, dan GP Ansor, plus Banser. PMII turut pula.

Surat elektronik pemuda-pemudi, pelajar putra-putri, dan mahasiswa-mahasiswi NU tersebut menyokong fatwa yang dikeluarkan Majlis Permusyawaratan Aceh, No. 01 Tahun 2013: 28 Februari.

Fatwa tersebut menyatakan ajaran yang dikembangkan oleh Tgk Ahmad Barmawi, Pimpinan Yayasan Al-Mujahadah, Desa Ujong Kareung Kec. Sawang Kab. Aceh Selatan adalah sesat dan menyasatkan, segala aktivitas yang berhubungan dengan ajaran tersebut dihentikan. Di papan tulisan itu terdanda Musfida Aceh Selatan.

Anakmuda NU mendukung fatwa tersebut. Mereka menilai, seperti dinyatakan dalam surat elektronik, bahwa penerbitan sebuah fatwa aliran sesat oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh melalui mekanisme yang ketat.

"Selain diatur melalui Fatwa MPU Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat yang memuat 13 kriteria, MPU Aceh juga melakukan investigasi yang universal dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya."

"Sejauh yang kami ketahui, investigasi yang dilakukan MPU Aceh untuk mengidentifikasi aliran sesat di Dayah Tengku Barmawi sudah lama dan melibatkan banyak pihak. Jadi jangan dibilang nggak ada investigasi. Jangan-jangan aktifis LSM cuma duduk di depan laptop lalu asal bunyi di media massa," jelas Samsul B Ibrahim, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Aceh, Jum'at (8/3), dalam temu-ramah warga NU Aceh untuk menyikapi maraknya aliran sesat di Aceh.

Barmawi Menolak
Tgk Ahmad Barmawi mendirikan dayah (pesantren) bersama ayahnya, Tgk Muhammad Salim, pada pada 2003. Jumlah santri mencapai ratusan. Namun, santri yang tinggal di dayah itu sekitar 30 orang. Barmawi mengatakan, seperti dilaporkan atjeh.com, Yayasan Dayah Al Mujahadah diresmikan oleh Bupati Aceh Selatan Husin Yusuf pada 2008, tak lama setelah Husin dilantik.

"Namun kemarin, Selasa 5 Maret 2013, Bupati Aceh Selatan Husin Yusuf bersama dengan Muspida Aceh Selatan mendatangi dayah tersebut dan membacakan surat keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang menyatakan dayah itu sesat. Pada saat itu, Husin Yusuf juga menyatakan menyegel dayah tersebut," tulis Atjeh.com (6/3).

"Setelah membacakan surat keputusan itu Husin Yusuf langsung pulang dan meminta Satpol PP Aceh Selatan untuk merobohkan pamplet yang bertuliskan nama dayah. Setelah dirobohkan, pamplet itu diganti dengan pamplet yang bertuliskan "Dayah Tengku Barmawi sesat menyesatkan."

Namun, pada saat yang sama, Tgk Barmawi menolak fatwa sesat dan menyesatkan yang dialamatkan pada dirinya. Barmawi mengatakan bahwa fatwa tersebut adalah fitnah keji.

“Saya tak pernah melakukan tindakan syirik seperti itu. Sudah luar biasa fitnah terhadap saya. Yang jelas, semua yang diungkap MPU itu tidak benar,” jelas Barmawi seperti dilaporkan tribunenews.com (2/3).

Dengan tegas dia mengatakan akan mengajukan tuntutan ke Mahkamah Syar’iyah terhadap fatwa yang dikeluarkan MPU tersebut. Saya nilai, kata Barmawi, menjurus fitnah, soalnya, semua yang diungkapkan MPU itu tidak pernah saya lakukan.

Khittah NU
Membaca polemik di atas, saya menjadi ingat dengan sebuah risalah kecil berjudul Penolakan "Putusan Muktamar Alim Ulama di Palembang”.

Risalah tersebut berisi, di antaranya, tentang keimanan seorang mukmin. Risalah keil itu menjadi besar dan serius juga karena telah menguras tenaga dan mengeluarkan daya pikiran kaum ulama di Jakarta. Di bawah pimpinan Habib Salim bin Djindan al-Alawi al-Indonesi dan KH Hasbiyallah sebagai sekretaris, para ulama dengan seksama berdebat tapi penuh hormat, tentang keimanan dan kekafiran seseorang.

Dari pagi hingga malam mereka berkumpul. Kitab berjilid-jilid diangkut dari rumah masing-masing dan disajikan meja-meja layaknya makanan. Lalu dibuka satu-satu, dibacakan dengan fasih hingga hadirin saling memahami.

Mengufurkan, serupa dengan menyesatkan, sesungguhnya tidak main-main. Sebab, jika benar, bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan, dari soal perkawinan hingga hak mengurus anak, bahkan dapat berujung pada vonis mati.

Di antara pendapat yang dikemukakan ulama Betawi, adalah sesungguhnya mengafirkan seseorang mukmin adalah tidak sah dengan jalan apapun. Pendapat ini dikemukakan Syekh Bachit bin Heusen dari Al-Azhar Mesir dalam kitabnya Al-Bida.

“Kufur itu dosa yang sangat besar. Maka janganlah mudah, gampang sekali mencap seorang mukmin itu kafir. Dan sekalipun kamu mengetahui riwayatnya orang itu, hendaknya tidak boleh dikufurkan,” kata Az-Zaila’i dalam kitab Syahrul Kanzi. Sementara Nabi Muhammad memberi peringatan,”Siapa yang mengafirkan seorang mukmin, maka dialah yang kafir.”

Pendapat ulama Betawi di atas merupakan pelajaran bagi umat Islam yang bergolongan-golongan untuk tetap berhati-hati menilai, bersikap, dan melakukn tindak "keagamaan". Ulama Betawi telah mengajarkan kepada kita tentang "porsi" dan "fungsi" seorang mukmin kepada mukmin lainnya. Kebenaran merupakan "Porsi" Allah, Sang Maha Haqq. Sementara fungsi seseorang adalah mengoreksi dan mengingatkan. Inilah yang kita kenal dengan kerja-kerja amar ma'ruf nahi mungkar. Kerja-kerja itu hanya sebatas melakukan kewajiban sebagai mukmin, tidak boleh lebih. Nabi saja tidak mengurus hasil, mukmin atau kafir, apalagi kita.

Jika kita melangkahi porsi dan fungsi, itu berarti melawan kekuasaan Allah. Itu namanya, beragama dengan tidak tawadlu, tidak ihtiyat. Hal tersebut sangat dikhawatirkan oleh ulama NU.

Sahabat-sahabat, kita punya kredo bernama Khittah Nahdlatul Ulama, atau dikenal juga dengan Khittah Nahdliyah. Kebanyakan orang menganggap bahwa Khittah NU hanya untuk urusan sosial politik. Tidak. Khittah NU pasti menyangkut urusan agama, yang di dalamnya ada aqidah, syariah, akhlak, dan lain-lain. Sebab, NU itu jamiyah diniyah.

Nah, kita mafhum, begitu beragamnya pilihan tata cara beragama dalam NU. Aqidah saja tidak cuma satu pandangan, apalagi "cuma" urusan fiqih dan akhlak. Pilihan agama yang beragam tersebut, mengeluarkan sikap kemasyarakatan yang sangat cantik dari NU. Ada tawasut dan i'tidal, tawazun, tasamuh, dan tentu saja ada amar ma'ruf nahi mungkar.

Sikap-sikap di atas harus mengejewantah dalam tindakkan Nahdliyin di manapun berada. Sikap-sikap tersebut juga berkaitan dengan sikap berbangsa dan bernegara (ukhuwah wathoniya). Jika kita tidak hati-hati bersikap, maka kehidupan berbangsa dan bernegara juga akan terganggu. Ini tidak boleh terjadi, karena kita punya tanggung jawab terhadap persatuan bangsa ini. Termasuk di dalamnya terkait dengan polemik keimanan atau kesesatan yang sedang terjadi di negeri Serambi Mekkah tersebut, sebetulnya menguji sikap warga NU:

"Sejauh mana nilai-nilai kenuan diterapkan?"

Jika ada dua golongan bertentangan, di manakah posisi NU dan warganya? Jika ada perbedaan atau berbeda dengan NU, bagaimanakan sikap kita sebagai Nahdliyin? Apa yang akan kita lakukan jika ada kemungkaran di depan mata? Dan seterusnya.

Untuk polemik di Aceh, jika badan otonomi NU setempat melihat ada kesesatan, coba tabayun lagi, dari dekat. Dengarlah pengakuan-pengakuan dari pelbagai pihak, dari sumber utama.

Jika hasilnya tetap sesat, kasih saja peta, jangan dipecat dari Islam. Wakil Rais Aam PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri selalu mewanti-wanti kepada warga NU, "Jika ada yang tersesat, berilah petunjuk jalan dengan mengasihi, bukan dengan memarahi, apalagi menempelengi."

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,42999-lang,id-c,nasional-t,Beragama+dengan+Tawadlu-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar