Andaikan Ilmu Falaq yang Melampaui Hayal itu Diajarkan
======================
Alkisah, seorang
santri yang ahli ilmu falaq (astronomi) sedang menghitung-hitung
kapankan lampu pertomak yang ada di depannya pecah. Orang Jawa menyebut
lampu itu oplek atau templek. Selama ini lampu yang menggunakan sumbu
dan minyak kelapa itu selalu menemaninya begadang sampai larut malam,
bahkan sampai pagi. Ia selalu mencorat-coret kertas menyusun
angka-angka, meramalkan sesuatu yang bakal terjadi. Saking asyiknya
berhitung, istri dan anak-anaknya pun kadang tidak dihiraukannya.
Suatu siang, ia sengaja menaruh lampu petromak di atas meja di
pelataran rumahnya. Berdasarkan perhitungannya, siang itu, tepat pukul
13:23:33 (jam satu siang lewat 23 menit 33 detik) lampu petromaknya akan
pecah.
Maka tibalah detik-detik yang diantikannya. Duapuluh tujuhduapuluh
delapan..duapuluh sembilantigapuluh tiba tiba istrinya menghampirinya
dan langsung marah-marah, dasar suami malas. Siang-siang begini masih
molor. Kemudian ia melempar lampu petromak yang ada di hadapan
suaminya hinggap pecah tepat pada detik ke-33.
Kisah ini diceritakan oleh Pak Samudi, dosen ilmu falak di fakultas
Syariah Institut agama Islam Tribakti, Kediri, masih dalam naungan
Pondok Pesantren Lirboyo. Pak Samudi sekadar memberikan gambaran betapa
hebatnya ilmu falak yang dimiliki oleh ulama-ulama terdahulu.
Ada lagi cerita. Seorang ahli falak yang lain menghitung kapankah
seekor burung di dalam kurungannya akan mati. Sampailah ia menemukan
angka yang diinginkannya. Berdasarkan perhitunggannya burung itu akan
mati pada Senin tiga bulan depan pukul 05:13:18. Singkat cerita
sampailah ia pada detik detik yang menegangkan. Namun pada pukul 05.10
menit 3 detik, tiba-tiba arloji yang ada ditangannya berhenti, sementra
arloji itulah satu-satunya penunjuk waktu yang ia punya, lagi pula sudah
dicocokkan dengan hitunggan-hitunggannya.
Ahli falaq tadi bimbang apakah memilih membetulkan arlojinya ataukah
terus mengamati burung dalam kurungan di depannya. Ia panik dan
mondar-mandir kesana kemari. Kalau ia membetulkan arloji berarti ia
kehilangan sesuatu yang telah ditunggunya selama tiga bulan. Jika
mengamati burungnya, bagaimana dia tahu kapan pukul 05:13:18. Ia terus
mondar-mandir. Ia akhirnya menentukan pilihan yakni tetap mengamati
burungnya dengan menggunakan tepukan tangan atau detak jantungnya
sebagai pengganti detak jam. Tapi apakah benar-benar perkiraan ini
cocok. Dia ragu dan kembali mondar-mandir. Tampa sadar ia tersandung
sesuatu dan jatuh menimpa kurungan burungnya. Ia pingsan dan burungnya
mati tepat pada pukul 05:13:18.
Demikianlah. Entah cerita tadi benar-benar serius atau hanya mitos.
Atau kadang mitos itu adalah cara orang-orang dulu untuk mengungkapkan
realitas yang telah lama sekali terjadi? Entahlah. Yang pasti, Pak
Samudi mengatakan bahwa ramalan-ramalan tadi sengaja dihilangkan dari
disiplin ilmu falaq karena para ulama terdahulu khawatir para santri
akan membocorkan beberapa taqdir Tuhan, misalnya dengan meramalkan
kematian seseorang, dan ini brbahaya bagi ketauhidan seseorang.
Nah, yang terakhir ini pendapat pribadi. Sekarang ini, kita terutama
kalangan pesantren hanya bisa berhayal bangga seharusnya para ahli ilmu
falaqlah yang lebih dulu naik ke bulan. Nyatanya, ilmu falaq yang dulu
begitu-itu, sekarang ini hanya berfungsi untuk menghitung kapankan
datang dan perginya bulan Ramadlan dan Syawal. Ini pun selalu
berbenturan dengan kecenderungan para kiai yang selalu berpegang teguh
pada ketentuan lama bahwa kepastian Ramadlan dan Syawal itu harus dengan
melihat bulan secara langsung. Ada juga yang sampai tidak bersedia
memakai alat modern, namun melihat bulan dengan mata kepala.
Mungkinkan ilmu falaq dikembangkan secara modern dan lebih canggih
lagi? Sehingga tidak sekedar berfungsi untuk menentukan Ramadlan dan
Syawal, atau membikin jadwal waktu sholat. Adakah pembaca lebih tahu
soal ilmu falaq ini?
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7663-lang,id-c,fragmen-t,Andaikan+Ilmu+Falaq+yang+Melampaui+Hayal+itu+Diajarkan-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar