HASAN GIPO
Sudagar-Aktivis, Ketua Tanfidziyah NU Pertama (2-habis)
===========================
Pertemuan antara
Hasan Gipo dengan Kiai Wahab serta kiai lainnya makin intensif. Ia
kemudian terlibat aktif dalam pendirian Nahdlatul Wathan (1914),
walaupun tidak tercatat sebagai pengurus. Selanjutnya ia juga menjadi
peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916).
Karena itu pengetahuannya sangat teruji, dan kemapuan
berargumentasinya sangat memukau. Selain itu ia juga telah aktif
terlibat dalam Nahdlatut Tujjar (1918) yang memang bidangnya. Dalam
forum semacam itu ia berkenalan dengan ulama lainnya makin intensif
seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai besar lainnya di Jawa
yang telah lama menjadin pershabatan dengan keluarga Ampel itu.
Bahkan ketika para ulama membentuk Komite Hejaz dan akan mengirimkan
utusan ke Makah, sumbangan Hasan Gipo juga sangat besar, karena dialah
yang mempelopori penghimpunan dana dan ia sendiri pun menyumbang sangat
besar. Atas prestasinya yang banyak memberikan sumbangan, dan memiliki
kecakapan teknis dalam menangani administrasi organisasi serta
penggalangan dana masyarakat.
Karena itu ketika Nahdlatul Ulama berdiri, dalam sebuah pertemuan
terbatas yang dipimpin Kiai Wahab Hasbullah di kawasan Bubutan Surabaya
itu ia langsung ditunjuk sebagai Hoftbestoor (Pengurus Besar)
NU sebagai Ketua Tanfidziyah dan usul itu langsung disetujui oleh Kiai
Hasyim Asy’ari yang sebelumnya sudah sangat mengenal Hasan Gipo serta
latar belakang keluarganya.
Walau sebagai pengurus NU bisnisnya tetap berkembang, bahkan kemudian
juga dikembangkan ke sektor properti, ia banyak memiliki perumahan,
pertokoan dan pergudangan yang ini kemudian disewakan, saat itu
kebutuhan terhadap sarana bisnis tinggi, karena itu tingkat hunian
propertinya juga tinggi, sehingga keuntungan yang diperoleh dari sini
juga tinggi, sehingga ia bisa menyumbang banyak ke NU, baik ketika
Muktamar maupun untuk sosialisasi dan pengembangan NU ke daerah-daerah
lain, sehingga bisa dilihat NU berkembang sangat cepat dari Surabaya,
pada tahun kedua telah menyebar di Jawa Tengah, bahkan pada tahun kelima
telah menyebar ke Jawa Barat, bahkan ke Kalimantan dan Singapura.
Seperti dilukiskan Saifuddin Zuhri, yang menggabarkan Hasan Gipo
sebagai sosok yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
gagah secara fisik, karena itu ketika terjadi perdebatan tentang masalah
teologi antara Kiai Wahab Hasbullah dengan Muso yang ateis itu bisa
mengganti kedudukan Kiai Wahab yang bosan menghadapi Muso yang hanya
bisa debat kusir tanpa nalar dan tanpa hujjah yang benar. Maka dengan
gagah berani ia melakukan debat dengan Muso tokoh PKI yang dikenal
sebagai Singa podium itu ditaklukkan. Setiap argeumennya bisa
dipatahkan, sehingga alumni Moskwo dan anak didik Lenin itu keteteran.
Tidak hanya itu Arek Suroboyo ini juga berani menantang Muso berkelahi
secara fisik. Anehnya Muso yang biasanya brangasan itu tidak berani
menghadapi tantangan Hasan Gipo.
Selain menguasai ilmu agama, setiap orang pesantren selalu menguasai
ilmu kanuragan, sebab ini bagian dari tradisi pesantren, dan tampaknya
Hasan Gipo juga memiliki ilmu ini, itu yang membuat Muso ngeri
menghadapi. Hasan Gipo. Jabatan ketua Tanfidziyah itu dipegang Hasan
Gipo selama dua masa jabatan, baru pada Muktamar NU Ketiga 1929 di
Semarang ia digantikan oleh KH. Noor sebagai ketua Tanfidziyah yang baru
juga berasal dari Surabaya. Selanjutnya pada Muktamar NU ke 12 tahun
1937 di Malang kemudian KH Noor digantikan oleh KH Mahfud Shiddiq, kakak
kandung KH Ahmad Shiddiq.
Pada periode awal ini, NU memang banyak diikuti oleh para pengusaha,
selain Hasan Gipo ada beberapa pengusaha besar yang masuk ke NU yaitu
Haji Burhan Gresik. Ia memiliki pabrik kulit dan persewaan rumah dan
gudang. Kemudian adalagi pengusaha besar Haji Abdul Kahar Kawatan
Surabaya, yang menguasai perdagangan pertanian di Jawa Timur. Kemudian
ada H. Jassin, seorang pemilik pabrik garmen yang khusus diekspor ke
India dan Pakistan. Mereka semuanya pernah aktif terlibat aktif dalam
Nahdlatut Tujjar, maka ketika NU berdiri secara otomatis mereka
bergabung ke NU. Dengan demikian NU bisa berdiri mandiri tanpa bantuan
dari kolonial, sehingga bebas menentukan gerak organisasinya dan
mengatur pendidikan pesantren yang diselenggarakannya.
Pada periode awal ini selain menggiatkan bidang pendidikan, maka NU
sangat peduli dengan usaha pengembangan ekonomi dengan membentuk
berbagai syirkah. Usaha impor sepeda dari Eropa dirintis sejak tahun
1935, karena untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, dan tentunya
sangat dibutuhkan sebagai sarana transportasi warga NU dalam
mengembangkan jamiyah.
Selain itu juga dibentuk badan pengimpor gerabah dan barang kebutuhan
lainnya dari Jepang. Usaha itu terus dikembangkan, kemudian NU juga
mulai masuk lebih serius dalam bidang industri percetakan dan lain
sebaginya. Atas inisiatif para kiai dan para tujjar yang ada dalam tubuh
NU itu pergerakan NU semakin gencar, sehingga dalam waku singkat
menjadi organisasi besar.
Selain bisnis yang bersifat kolektif para pengurus NU sejak dari Kiai
Hasyim Asy’ari, termasuk Kiai Wahab Hasbullah. Kiai As’ad Syamsul
Arifin, Kiai Bisri, Kiai Muslih Purwokerto, semuanya mempunyai usaha
sendiri-sendiri. Usaha itu dibangun selain untuk memenuhi ekonomi
keluarga yang terpenting bisa menjadi kemandirian agar tidak minta
bantuan pada pemerintah kolonial Belanda. Jajaran pimpinan NU terdiri
dari orang-orang independen, tidak ada yang menggantungkan ekonominya
pada birokrasi kolonial.
Karena itu sejak masa kemerdekaan kemandirian kiai dan NU tetap
terjaga, karena memiliki kemandirian secara ekonomi. Pembangunan ekonomi
di sini ditempatkan sebagai strategi politik untuk menjaga kemandirian
dan kebebasan warga dari ketergantungan dan tekanan dari penjajah.
Setelah tidak lagi menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU, Hasan Gipo kembali
mengembangkan bisnisnya, hingga semakin besar. Sebagian hasil
keuntungannya tetap disumbangkan pada NU dan pesantren. Sebab pada masa
rintisan NU membutuhkan banyak dana, apalagi saat itu Muktamar
dilaksanakan setiap tahun, maka sudah pasti Hasan Gipo tergerak untuk
membantu pendanan Muktamar NU setiap kali diselenggarakan, baik di
Surabaya maupun di luar Jawa.
Aktivitas Hasan Gipo terus dilanjutkan hingga menjelang wafatnya
pada tahun 1934, kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel
dalam pemakaman khusus keluarga Sagipoddin. Ia mempunyai tiga orang
anak, yang kemudian melanjutkan usaha bisnisnya dan sekaligus sebagai
penerus dinasti Gipo yang masih terus aktif hingga saat ini.
Abdul Munim DZ
(Disadur dari beberapa sumber dan hasil wawancara dengan H. Musa
Jassin, salah seorang anggota Bani Gipo, yang tinggal di Kawatan
Surabaya)
sumber:http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,45556-lang,id-c,tokoh-t,Sudagar+Aktivis++Ketua+Tanfidziyah+NU+Pertama++2+habis+-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar