Merindukan Kader Hibrida di NU (2)
=============================
Kemunculan
generasi pemikir di lingkungan NU tidak dapat dilepaskan dari peran
intelektual Gus Dur selaku ketua umum PBNU selama lima belas tahun.
Cendikiawan muda NU Ulil Abshar Abdallah menyebut Gus Dur sebagai
pembuka jendela intelektual NU atas gebrakannya mengenalkan banyak
pemikiran klasik dan moderen. Sejak Gus Dur itu, karya-karya
Fazlurrahman (Pakistan), Muhammad Arkoun (Perancis) dan pemikir
kontemporer lainya mulai memasuki pesantren secara seporadis.
Tidak jarang "gus-gus" yang dahulu hanya mlototi kitab kuning, ketika
itu mulai gemar membicarakan karya-karya pemikir kontemper tersebut.
Pada saat bersamaan, banyak pula pemuda NU yang
terjun langsung dalam upaya-upaya advokasi masyarakat, pembelaan
terhadap buruh, petani, pembinaan anak-anak jalanan, serta
aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan
kesejahteraan hidup umat. Mereka umumnya adalah pemuda yang lahir dari
keluarga NU meski tidak sepenuhnya mendapat pendidikan pesantren, akan
tetapi sebagian besar pernah di pesantren. Generasi aktivis ini lahir
dari kampus dan disuburkan oleh ketertindasan NU oleh Orde Baru.
Aktivitas pembelaan masyarakat ini tak jarang
menimbulkan konfrontasi dengan pihak penguasa. Gus Dur misalnya, bahkan
harus meminta maaf kepada Soeharto (mantan presiden ke-2) berkenaan
dengan pembelaannya terhadap penduduk Kedungombo, Jawa Tengah, yang
tanahnya dibeli secara paksa untuk keperluan pembangunan waduk.
Sepanjang dekade 1970-80an, beberapa tokoh muda NU
memang banyak terlibat dalam beberapa LSM seperti Lembaga Penelitian
Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan P3M. Mereka
ini di antaranya adalah Gus Dur (mantan presiden ke-4), Kiai Sahal
Mahfudh (kini Syuriah NU), Abdullah Syarwani (kini Dubes RI di Syiria),
Yusuf Hasjim, Zamroni, dan lain-lain. Selain itu, kebijakan politik
rezim yang meminggirkan umat Islam terutama berkurangnya partisipasi NU
dalam pemerintahan juga turut mempengaruhi peralihan gerakan tersebut.
Pada periode selanjutnya, negara memobilisasi rakyat dengan jargon 'pembangunanisme' (developmentalism)
yang menjadi misi suci rezim Soeharto. Hal ini mengarahkan pemikiran
agar tertuju ke sekitar masalah pembangunan beserta segala problem dan
dampaknya bagi kehidupan. Akibat langsungnya berpengaruh terhadap debat
seputar furu' (perbedaan antar umat Islam) dan kekuasaan, serta
pemikiran yang legal-formal-tekstual ramai-ramai digugat dan dengan
sendirinya kehilangan kesempatan. Sebaliknya, Isu-isu industrialisasi,
universalisme, keadilan sosial tampak menonjol seiring dengan ide
pembaharuan pemikiran Islam.
Demikian pula beberapa karakteristik yang berkembang, misalnya pola pemikiran kolektivisme menjadi individualisme (individual authinimy),
keshalehan religius menjadi keshalehan sosial dengan titik tekan
kepatuhan ritual menjadi liberasi pemikiran. Pada periode lampau
kepentingan diarahkan pada umat secara partisipatif sedangkan generasi
ini menekankan individu secara emansipatoris. Maka gerakan tersebut
melahirkan poros pemikir Yogya, Jakarta dan Surabaya. Di Yogyakarta
ditandai dengan LkiS, di Jakarta melalui Lakpesdam dan P3M dan di
Surabaya kaum muda NU berkumpul di LSAD dengan memproduk jurnal Gerbang
yang banyak mendapat pujian.
Kontong-kantong pemikir tersebut pada
akhir 2003 menyatu dalam Muktamar Pemikiran Islam di NU yang
berlangsung di PP Salafiyyah Sukorejo-Situbondo. Perhelatan akbar yang
dikomandani oleh Masdar Farid Mas'udi, Ulil Abshar Abdallah dan Zuhairi
Misrawi ini menuai sukses besar. Berbagai media nasional
memberikan liputan besar terus menerus sepanjang pelaksanaan. Muhammad
Fajrul Falah menggambarkan, saat ini tidak hanya es yang mudah dicari di
setiap rumah warga NU, menu lainnya pun banyak tersedia. NU kini
memiliki banyak cendikiawan, aktivis LSM, politisi, bahkan birokrat.
Kelahiran banyak ragam generasi terdidik tersebut diprediksi akan menghasilkan kultur hibrida [hybrid culture]
dalam masyarakat NU. Kultur hibrida ini pada satu sisi memberontak
terhadap apa yang dikenal sebagai kultur NU yang dianggap perlu
direformasi, akan tetapi mereka tidak menolak sama sekali. Saat ini
dunia sedang menunggu kelahiran kultur unggulan dari NU. Dari perkawinan
antar generasi unggulan tersebut harapan besar terhadap masa depan NU
dan masa depan bangsa digantungkan.sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7626-lang,id-c,fragmen-t,Merindukan+Kader+Hibrida+di+NU++2+-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar