Politik Belah Bambu
================
Untuk menjaga eksistensi penjajahannya di Indonesia, Belanda menggunakan taktik divide et impera (memecah-belah
lalu menguasai). Dengan cara itu kerajaan di nusantara diintrik,
berselisih lalu perang, akhirnya Belanda datang mendamaikan dan tampil
sebagai pemenang.
Untuk menghadapi kelompok Islam, Belanda juga mengambil strategi
serupa, tetapi dengan taktik lain yaitu dengan politik belah bambu
(satu diinjak yang lain disanjung). Islam pesantren yang sangat anti
kolonial dan berjalan sesuai dengan tradisinya sendiri disebut Islam
kuno, Islam tua atau Islam kolot, yang dicitrakan serba
buruk.persoalannya hanya tidak sesuai dengan selera kolonial, tetapi
juga karena punya kepribadian.
Sementara kelompok Islam yang mau bekerja sama dengan belanda dengan
membangun sistem sekolah modern, berpakaian ala Belanda, berpikir dan
berperilaku seperti Belanda disebut sebagai Islam modern, yang kemudian
disanjung Belanda sebagai Islam sesuai dengan perkembangan zaman.
Kelompok terakhir ini tidak hanya disanjung dalam sepanjang literatur
dan forum, tetapi juga disubsidi oleh pemerintah kolonial.
Dengan kenyataan itu, para ilmuwan, politisi dan sejarawan Belanda
menafikan peran Islam pesantren yang dianggap tradisional karena
menentang penjajah. Karena itu Belanda membiarkan serangan kaum modernis
terhadap kehidupan pesantren, bahkan di sana-sini memberikan umpan,
dengan mengatakan Islam pesantren itu masih bercorak Hindu, anemis,
sehingga menjadi sasaran Islam puritan untuk melakukan Islamisasi
pesantren.
Belanda sangat risau terhadap keberadaan pesantren, bukan hanya
karena selama ini dianggap sebagai basis perlawanan atas pemerintah
kolonial. Tetapi yang lebih mengerikan lagi pesantren mempunyai sistem
pendidikan sendiri yang bersifat kerohanian, yang tidak hanya merupakan
warisan tradisi islam, tetapi juga warisan tradisi nusantara pada
umumnya, sehingga watak lokal dari Islam ini sangat kental, padahal
Belanda mau meng-universal-kan kebudayaan sesuai dengan selera Eropa.
Sementara pesantren menolak seluruh tradisi Eropa sejak dari cara
berbakaian, bahasa dan sistem pendidikannya yang sekuler.
Bisa dilihat dalam buku yang ada, pada umumnya ditulis orang Barat,
peran kiai atau pesantren dalam revolusi tidak penah ada. Belanda memang
alergi terhadap pesantren, karena mengalami trauma perang Diponegoro,
yang berbasis di pesantren. Maka pesantren harus dieliminir dengan
membangun pendidikan Barat untuk membelokkan ajaran Islam.
Dengan demikian Islam bisa diatur dan dijinakkan. Pesantren sulit
dijinakkan, karena punya paradigma sendiri, karena itulah dibenci para
politisi dan peneliti atau ilmuwan Barat pada umumnya. Anehnya
kebencian dan serangan itu sering dibungkus dengan kedok akademis,
obyektif, padahal pemikirannya sangat subyektif, ditentukan selera dan
kepentingan pemerintah kolonial.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7672-lang,id-c,fragmen-t,Politik+Belah+Bambu-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar