Dari Tarekat Ke Money Changer
=========================
(Catatan dari Muktamar NU Ke-3 di Surabaya 1928)
Hingga tahun ketiga dari kelahirannya Muktamar NU masih
diselengarakan di Surabaya, tepatnya pada bulan Rabius Tsani 1347H/ 28
September 1928. Hal itu tidak lain karena kesiapan Surabaya untuk
menyelenggarakan hajat tertinggi NU itu paling tinggi, apalagi para
dermawan penyandang dana kebanyakan tinggal di wilayah itu. Selain itu
memang isu politik besar saat itu masih berkisar di Surabaya, sehingga
Muktamar masih diselenggarakan di kota Metropolitan itu, yang dari tahun
ke tahun pendukungnya semakin besar baik dari Jawa Timur maupun Jawa
Tengah dan Barat. Bahkan luar Jawa juga mulai menyambutnya.
Sebagaimana Muktamar sebelumnya, persoalan diniyah merupakan bagian
penting dalam pembahasan Muktamar ini, mulai dari hukum keluarga,
seperti pernikahan, talak rujuk hingga soal-soal seperti zakat, soal
pembangunan masjid dan sebagainya, semuanya dibahas secara antusias oleh
para muktamirin.Tarekat secara umum telah dipraktekkan oleh masyarakat
Jawa khususnya di kalangan pesantren, sementara jumlah tarekat juga
sangat beragam, karena itu masyarakat NU pada umumnya sangat selektif
dalam memilih tarekat, sebab ada yang dikategorikan sebagai tarekat muktabaroh (tarekat yang disahkan oleh NU ) dan tarekat Ghoiru muktabaraoh (yang tidak disahkan oleh NU).
Pada saat itu tarekat tijaniah mulai berkembang, sementara tarekat ini belum begitu dikenal secara luas sebagaimana tarekat Qadiriah-Naqshabandiyah, sehingga sempat menjadi pergunjingan kalangan NU tentang keabsahan tarekat tersebut, terutama baiat barzakhiyah
sejenis sumpah pocong yang menjadi onroversi. Ternyata setelah
menelusuri mata rantai tarekat tersebut ternyata nyambung sampai Nabi
Muhammad, serte setelah meneliti baiah barzakhiyah tersebut, maka tarekat tijaniyah diangap abash oleh para ulama peserta muktamar, karena itu kemudian dimasukkan sebagai tarekat muktabarah an nahdliyah.
Selain itu ada problem metropolitan Surabaya yang merupakan pusat
perdagangan Asia tenggara, di mana peredaran berbagai mata uang
merupakan suasana yang lazim di saat itu. Maka persoalan money changer
tersebut dimunculkan dalam Muktamar ketiga itu. Padatnya hubungan
perdagangan dengan timur tengah maka sangat lazim seseorang menukar
uang dinar (emas) dengan harga 15 Golden. Menurut keputusan Muktamar
bila dengan perjanjian dibayar dengan uang perak atau tanpa perjanjian
apa-apa maka dianggap tidak sah, tetapi bila dilakukan pembayaran
dengan uang kertas maka kukumnya sah tidak tergolong riba. Tema ini
juga masih diangkat dalam muktamar berikutnya.
Dari situ bisa dilihat ketelitian dan kehati-hatian kalangan uama NU
dalam mengambil keputusan, namun demikian tidak sampai terkesan kaku dan
anti perubahan dan menolak toleransi. Dalam kenyataannya aliran yang
berbeda terutama dalam tarekat yang oleh sebagian umat Islam dianggap
sesat, seperti tarekat Tijaniyah tadi, ternyata dapat diterima kalangan muktamirin dan nahdliyin yang pada umumnya bertarekat Qadiriah Naqshabandiyah. Ini menunjukkan adanya tingkat toleransi yang tinggi antar madhab dan aliran.
Demikian juga dalam soala pertukaran uang pada dasarnya tidak
dilarang, tetapi juga dijauhkan dari unsure penipuan, dengan cara
mencari keuntungan yang dilakukan dengan manipulasi harga. Dalam
Muktamar ini juag diputuskan agar Muktamar berikutnya tidak lagi
diselenggarakan di Surabaya, tetapi di kota lain yang sudah siap
menyelenggarakan. Setelah diadakan pembicaraan dan pertimbangan dari
berbagai sudut maka akhirnya diputuskan Muktamar ke-4 tahun depan (1929)
akan diselenggarakan di Kota Semarang Jawa Tengah. Karena para ulama
dan hartawan siap menyelenggarakan hajat tersebut.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7646-lang,id-c,fragmen-t,Dari+Tarekat+Ke+Money+Changer-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar