Kiai Hasyim Tegur Keputusan Hisab Menantunya
===========================
Di lingkungan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU), banyak sekali ahli ilmu falak (astronomi).
Memang biasanya seorang kiai tidak hanya menguasai satu ilmu, tapi
lebih, biasanya seorang generalis. Tidak sedikit ulama yang ahli
ketabiban, falak, dan kanuragan, bahkan itu menjadi tradisi ulama
pesantren.
KH Maksum Ali, Jombang, seorang ahli falak yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat(observasi/melihat hilal)-nya sendiri. Pada suatu hari sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Maksum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu.
Mendengar keriuhan itu, sang mertua, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari kaget. Setelah tahu duduk perkaranya, ia menegur, “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedug-an duluan?”
Mendapat teguran dari mertuanya itu Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadlu (hormat), “Ya, Kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan, ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” gugat Kiai Hasyim, pendiri NU tersebut.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (diwartakan), Romo?” tanya Kiai Maksum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan nabuh bedug itu artinya sudah mengajak, mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih (iya) Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya. (Mun’im DZ)
Diceritakan kembali dari KH Ghazalie Masroerie
(Ketua Umum Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama)
KH Maksum Ali, Jombang, seorang ahli falak yang juga menulis kitab tentang falak. Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat(observasi/melihat hilal)-nya sendiri. Pada suatu hari sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Maksum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu.
Mendengar keriuhan itu, sang mertua, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari kaget. Setelah tahu duduk perkaranya, ia menegur, “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedug-an duluan?”
Mendapat teguran dari mertuanya itu Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadlu (hormat), “Ya, Kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan, ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” gugat Kiai Hasyim, pendiri NU tersebut.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (diwartakan), Romo?” tanya Kiai Maksum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan nabuh bedug itu artinya sudah mengajak, mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih (iya) Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya. (Mun’im DZ)
Diceritakan kembali dari KH Ghazalie Masroerie
(Ketua Umum Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama)
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,7683-lang,id-c,fragmen-t,Kiai+Hasyim+Tegur+Keputusan+Hisab+Menantunya-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar