Hukum Berjabat Tangan Setelah Melaksanakan Shalat (Lembaga Fatwa Mesir)
Berjabat Tangan setelah Melaksanakan Shalat
Nomor Urut : 2061
Tanggal Jawaban : 19/8/2007
Memperhatikan permohonan fatwa nomor 1144 tahun 2007 yang berisi: Apa hukum berjabat tangan setelah selesai melaksanakan shalat?
Jawaban : Dewan Fatwa
Hukum berjabat tangan setelah melakukan shalat adalah berkisar antara mubah (boleh) dan mustahab (dianjurkan). Hal itu karena ia termasuk dalam keumuman anjuran untuk berjabat tangan diantara kaum muslimin. Berjabat tangan ini sendiri merupakan salah satu sebab turunnya ridho Allah subhanahu wata’ala kepada orang-orang muslim yang melakukannya, penyebab hilangnya kedengkian dan kebencian dari mereka, serta penyebab gugurnya dosa-dosa mereka.
Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah shollallohu ‘alaihi wasallam;
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا وَحَمِدَا اللهَ وَاسْتَغْفَرَاهُ غَفَرَ اللهُ لَهُمَا
Dalam kitab al-Majmû', Imam Nawawi (w. 676 H) berpendapat bahwa bersalaman dengan seseorang yang sebelum shalat telah bersamanya adalah mubah. Dan bersalaman dengan orang yang sebelum shalat tidak bersamanya adalah sunah.
Sedangkan dalam kitab al-Adzkâr, beliau berkata, "Ketahuilah, bahwa bersalaman adalah dianjurkan pada setiap perjumpaan. Adapun kebiasaan orang-orang yang bersalaman setelah shalat Shubuh dan Ashar, maka dilihat dari sisi ini, ia tidak ada dasarnya dalam syariat. Tapi, hal itu tidak apa-apa dilakukan, karena hukum asal bersalaman adalah sunah. Sedangkan sikap mereka yang senantiasa melakukannya dalam waktu-waktu tertentu, namun tidak melakukannya dalam banyak kesempatan atau dalam kebanyakan kesempatan lainnya, maka hal itu tidak mengeluarkan hukum bersalaman dalam waktu-waktu tertentu tersebut dari bersalaman yang dibolehkan oleh syariat."
Selain itu, dinukil dari Imam al-'Izz bin Abdus Salam (w. 660 H) bahwa berjabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk dalam bid'ah yang mubah.
Di samping itu, kaum muslimin diperintahkan untuk mengucapkan salam ketika selesai shalat dengan menengok ke kanan dan ke kiri. Imam Baijuri dalam Hâsyiyah-nya terhadap kitab Syarah Ibnu Qasim atas Matan Abi Syuja' berkata, "Hendaknya ia berniat mengucapkan salam kepada makhluk yang ada di arahnya ketika ia menengok, baik itu para malaikat maupun kaum mukminin dan jin yang beriman hingga ujung dunia. Ia juga hendaknya berniat menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya baik imam maupun makmum."
As-Safarini dalam kitab Ghidzâul Albâb Syarah Mandhûmatil Âdâb berkata, "Pernyataan eksplisit dari al-'Izz bin Abdus Salam, salah seorang ulama Syafi'iyah, adalah bahwa berjabat tangan termasuk bid'ah yang dibolehkan. Sedangkan pernyataan eksplisit dari Imam Nawawi adalah bahwa berjabat tangan adalah sunah. Dalam Syarah Shahih Bukhari, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Nawawi berkata, "Hukum asal berjabat tangan adalah sunah. Sementara kebiasaan masyarakat yang melakukannya pada kesempatan-kesempatan tertentu tidak mengeluarkannya dari hukum asalnya yaitu sunah."
Dalam kitab Fatâwâ ar-Romlî yang merupakan salah seorang ulama Syafi'iyah, disebutkan, "(Beliau ditanya) tentang kebiasaan masyarakat yang melakukan jabat tangan setelah shalat. Apakah hal itu adalah perbuatan sunah atau tidak? (Beliau menjawab) bahwa jabat tangan yang dilakukan oleh masyarakat setelah shalat adalah perbuatan yang tidak memiliki dalil, tapi tidak apa-apa untuk dilakukan."
Adapun pendapat sebagian ulama yang memakruhkan berjabat tangan setelah melakukan shalat, maka mereka memandang bahwa membiasakan hal itu akan menyebabkan orang bodoh mengira bahwa perbuatan tersebut termasuk dari kesempurnaan shalat atau salah satu amalan sunah dalam shalat yang berasal dari Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam Karena alasan inilah maka mereka berpendapat demikian, guna menghindari munculnya keyakinan yang salah tersebut. Selain itu, ada sebagian ulama yang beralasan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya sehingga hal itu menunjukkan bahwa bersalaman setelah shalat adalah tidak dianjurkan.
Meskipun demikian, para ulama yang memakruhkan tersebut menegaskan –sebagaimana dikatakan oleh al-Qori dalam kitab Mirqotul Mafâtîh— bahwa jika seorang muslim mengulurkan tangannya untuk bersalaman, maka tidak sepantasnya menolak untuk menyalami tangan tersebut, karena hal itu dapat menyakiti hati kaum muslimin dan melukai perasaan mereka. Hal ini diistilahkan sebagai mujâbarah atau saling menjaga perasaan orang. Menghindari tersakitinya perasaan kaum muslimin lebih diutamakan daripada menjaga adab yang berupa menjauhi perbuatan yang makruh. Karena, sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa mencegah kemudaratan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan (dar`ul mafâsid muqoddamun 'ala jalbil masholih).
Hanya saja jumhur ulama dan para ulama muhaqqiqin membatasi penggunaan dalil saddudz dzarî'ah (menutup jalan keharaman), karena jika ia digunakan tanpa batasan maka dapat mengakibatkan kesulitan bagi manusia. Sedangkan penggunaan dalil bahwa Nabi saw. tidak pernah melakukannya (at-tarku), maka penggunaannya sebagai dalil larangan masih diperdebatkan oleh para ulama Ushul Fikih. Hal itu karena hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh. Selain itu, telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan para sahabat setelah melaksanakan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Juhaifah r.a., dia berkata, "Ketika tengah hari, Rasulullah saw. pergi ke bathhâ` (sebuah tempat yang berpasir). Beliau lalu berwudhu. Setelah itu, beliau melakukan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat di hadapan sebuah tombak. Lalu orang-orang memegang tangan beliau (menyalaminya) dan mengusapkannya ke wajah mereka. Maka, saya pun ikut memegang tangan beliau dan meletakkannya di wajah saya. Ternyata tangan beliau lebih dingin dari es dan lebih harum dari minyak misk (kasturi)."
Al-Muhib ath-Thobari (w. 694 H) mengatakan, "Hadits ini dapat dijadikan isti`nâs (penguat) bagi kebiasaan orang-orang yang berjabat tangan setelah melakukan shalat jamaah, terutama shalat Ashar dan Maghrib, jika dilakukan dengan niat baik, seperti mencari keberkahan (tabaruk), menambah keakraban atau hal-hal sejenisnya."
Adapun keumuman anjuran berjabat tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits;
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ فَتَصَافَحَا وَحَمِدَا اللهَ وَاسْتَغْفَرَاهُ غَفَرَ اللهُ لَهُمَا
Maka keumuman ini tidak dapat dibatasi pada waktu-waktu tertentu kecuali jika terdapat dalil. Hal itu karena huruf idzâ (jika) dalam bahasa Arab merupakan kata yang menunjukkan waktu di masa mendatang. Sehingga, klaim bahwa keumumam hadits ini khusus pada waktu-waktu selain setelah shalat wajib adalah klaim yang tidak didasarkan pada dalil. Bahkan, terdapat riwayat hadits shahih yang bertentangan dengan hal itu.
Dengan demikian, secara hukum dasar, berjabat tangan adalah disyariatkan. Melakukannya seusai shalat tidak keluar dari lingkup pensyariatan tersebut. Sehingga, hukumnya adalah mubah atau sunnah sebagaimana pendapat sebagian ulama, atau disesuaikan dengan keadaan sebagaimana pendapat Imam Nawawi. Hal ini dengan catatan tidak adanya keyakinan bahwa bersalaman tersebut merupakan amalan penyempurna shalat ataupun salah satu sunah yang diajarkan oleh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam yang selalu beliau dilakukan.
Oleh karena itu, orang yang mentaklid (mengikuti) pendapat yang memakruhkan harus memperhatikan batasan ini dan harus menjaga sopan santun dalam berselisih serta menghindari sikap provokatif dan permusuhan antar kaum muslimin. Hendaknya diketahui pula bahwa menghormati perasaan orang lain, bersikap lemah lembut dan berusaha menyatukan perpedaan pandangan adalah lebih dicintai oleh Allah dari pada menjauhi perbuatan yang dimakruhkan oleh sebagian ulama, apalagi jika hal itu dibolehkan atau disunnahkan oleh para ulama muhaqqiqin.
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
حكم مصافحة المصلين عقب الصلوات
الرقم المسلسل : 2061
تاريخ الإجابة : 2007/08/19
اطلعنا على الطلب المقيد برقم 1144 لسنة 2007م المتضمن: ما حكم مصافحة المصلين بعضهم لبعض عقب انتهاء الصلاة مباشرة؟
الجواب : أمانة الفتوى
المصافحة عقب الصلاة مشروعة، وهي
دائرة بين الإباحة والاستحباب؛ لأنها داخلة في عموم استحباب التصافح بين
المسلمين، وهو ما يكون سببا لرضا الله تعالى عنهم، وزوالِ ما في صدورهم من
ضيق وغِلّ، وتساقطِ ذنوبهم مِن بين أكفّهم مع التصافح؛ ففي الحديث: ((إذا
التقى المسلمانِ فتصافحا وحمدا اللهَ واستغفراه غفر اللهُ لهما)). رواه أبو
داود وغيره عن البراء بن عازب -رضي الله تعالى عنه
واختار الإمام النووي ت 676هـ في
"المجموع" أن مصافحة مَن كان معه قبل الصلاة مباحة، ومصافحة من لم يكن معه
قبل الصلاة سُنَّة، وقال في الأذكار: "واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل
لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر فلا أصل
له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به؛ فإن أصل المصافحة سُنّة،
وكونُهم حافظوا عليها في بعض الأحوال وفرَّطوا فيها في كثير من الأحوال أو
أكثرها لا يُخرِجُ ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها".
اهـ
ثم نقل عن الإمام العز بن عبد السلام –ت 660هـ- أن المصافحة عقيب الصبح والعصر من البدع المباحة
وقد شُرِع لنا السلام بعد انتهاء الصلاة
عن اليمين والشمال، يقول العلماء: "يَنوِي السلام على مَن التفت إليه مِن
ملائكة ومؤمنِي إنسٍ وجِنٍّ إلى مُنقَطَع الدنيا، ويَنوِي الرَّدّ أيضا على
مَن سَلَّمَ عليه مِن إمامٍ ومَأمُومٍ". حاشية البيجوري على شرح ابن قاسم
على متن أبي شجاع
وقال السفاريني في غذاء الألباب شرح
منظومة الآداب: "ظاهر كلام العز بن عبد السلام من الشافعية أنها بدعة
مباحة، وظاهر كلام الإمام النووي أنها سنة
قال الحافظ ابن حجر في شرح البخاري: "قال
النووي: وأصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال لا يخرج
ذلك عن أصل السنة". اهـ
وفي فتاوى الرملي الشافعي: سُئِلَ
عمّا يَفعَلُه النّاسُ مِن المُصافَحةِ بعدَ الصَّلاةِ هل هو سُنّةٌ أو لا؟
فأَجابَ بأَنّ ما يَفعَلُه النّاسُ مِن المُصافَحةِ بعدَ الصَّلاةِ لا
أَصلَ لها، ولكن لا بَأسَ بها. اهـ
وأما ما ذهب إليه بعض العلماء من
القول بكراهة المصافحة عقب الصلاة فإنهم نظروا فيه إلى أن المواظبة عليها
قد تُؤَدِّي بالجاهل إلى اعتقاد أنها من تمام الصلاة أو سننها المأثورة عن
النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- فقالوا بالكراهة سدًّا لذريعة هذا
الاعتقاد، ومنهم مَن استدل بترك النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- لهذا
الفعل على عدم مشروعيته، ومع قول هؤلاء بكراهتها فإنهم نَصُّوا -كما ذكر
القاري في "مرقاة المفاتيح"- على أنه إذا مَدَّ مسلمٌ يدَه إليه ليصافحه
فلا ينبغي الإعراض عنه بجذب اليد؛ لِما يترتب عليه من أذًى بكسر خواطر
المسلمين وجرح مشاعرهم، وذلك على سبيل "المُجابرة"، ودفعُ ذلك بجبر الخواطر
مقدَّمٌ على مراعاة الأدب بتجنب الشيء المكروه عندهم؛ إذ من المقرر شرعًا
أن: "درء المفاسد مقدم على جلب المصالح". على أن جمهور العلماء ومحققيهم
على ترك التوسع في باب سد الذرائع؛ لِما يجر إليه مِن التضييق على الخلق
وإيقاعهم في الحرج، والاستدلالُ بترك النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- لذلك
على عدم المشروعية موضعُ نظرٍ عند الأصوليين؛ لأن الأصل في الأفعال
الإباحة، هذا مع أنه قد ثبت عن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- مصافحة
الصحابة الكرام له وأخذهم بيديه الشريفتين بعد الصلاة في بعض الوقائع؛ ففي
صحيح الإمام البخاري عن أَبي جُحَيفةَ -رضي الله عنه- قال: ((خَرَجَ رسولُ
اللهِ -صلى الله عليه وآله وسلم- بالهاجِرةِ إلى البَطحاءِ، فتَوَضَّأَ،
ثُم صلّى الظُّهرَ رَكعَتَينِ والعَصرَ رَكعَتَينِ وبَينَ يَدَيهِ عَنزةٌ،
وقامَ النّاسُ فجَعَلُوا يَأخُذُونَ يَدَيه فيَمسَحُونَ بها وُجُوهَهم. قال
أبو جحيفة: فأَخَذتُ بيَدِه فوَضَعتُها على وَجهِي فإذا هي أَبرَدُ مِن
الثَّلجِ وأَطيَبُ رائِحةً مِن المِسكِ)). قال المحب الطبري ت 694هـ:
"ويُسْتَأْنَسُ بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في
الجماعات، لا سيَّما في العصر والمغرب، إذا اقترن به قصدٌ صالحٌ؛ مِن تبركٍ
أو تودُّدٍ أو نحوه". اهـ
وعموم مشروعية المصافحة في مثل قوله
-صلى الله عليه وآله وسلم-: ((إذا التَقى المُسلِمانِ فتَصافَحا وحَمِدا
اللهَ عَزَّ وجَلَّ واستَغفَراه غُفِرَ لَهما))، لا يجوز تخصيصه بوقت دون
وقت إلا بدليل؛ و"إذا" ظرفٌ لكل مَا يُستقبَل من الزمان، فدعوى أنها مخصوصة
بغير أدبار الصلوات المكتوبات دعوى لا دليل عليها، بل ورد في السنة
النبوية الصحيحة ما يرُدُّها
وعلى ذلك: فإن المصافحة مشروعة
بأصلها في الشرع الشريف، وإيقاعُها عقب الصلاة لا يُخرِجُها من هذه
المشروعيّة؛ فهي مباحة أو مندوب إليها على أحد قولَي العلماء، أو على
التفصيل الوارد عن الإمام النووي في ذلك، مع ملاحظة أنها ليست من تمام
الصلاة ولا من السُنَنِ التي نُقِل عن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم-
المداومةُ عليها بعد الصلاة، وعلى مَن قلَّد القول بالكراهة أن يُراعيَ أدب
الخلاف في هذه المسألة ويتجنب إثارة الفتنة وبَثَّ الفُرقة والشحناء بين
المسلمين بامتناعه مِن مصافحة مَن مَدَّ إليه يده مِن المصلين عقب الصلاة،
وليَعلَم أن جَبر الخواطر وبَثَّ الألفة وجَمعَ الشمل أحبُّ إلى الله تعالى
مِن مراعاة تجنب فعلٍ نُقِلَت كراهتُه عن بعض العلماء في حين أن جمهورهم
والمحققين منهم قالوا بإباحته أو استحبابه. والله سبحانه وتعالى أعلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar