SHALAT DISERTAI TERJEMAH BACAANNYA - FATWA MUI
SHALAT DISERTAI TERJEMAH BACAANNYA
بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
NOMOR: 3 TAHUN 2005
Tentang
SHALAT DISERTAI TERJEMAH BACAANNYA
Majelis Ulama Indonesia, setelah
Menimbang :
a. bahwa akhir-akhir ini telah terjadi pelaksanaan shalat dengan membaca ayat dan terjemahnya,baik oleh imam maupun makmum;
b. bahwa hal tersebut telah menimbulkan berbagai pertanyaan dan keresahan di kalangan umat Islam;
c. bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT; antara lain:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
…Apa yang diberikan (diajarkan) oleh Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. al-Hasyr [59]: 7).
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.(QS. al-Baqarah [2]: 238).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengeta-huan jika kamu tidak mengetahui,(QS. al-Nahl [16]: 43).
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.(QS. Yusuf [12]: 2).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa’ [4]: 59).
2. Hadis-hadis Nabi, antara lain:
حَدَّثَنَا مَالِكٌ، أَتَيْنَا إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ
مُتَقَارِبُونَ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً،
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا
رَفِيقًا، فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا - أَوْ قَدِ
اشْتَقْنَا - سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا، فَأَخْبَرْنَاهُ،
قَالَ: ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا -
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ
فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ (رواه
البخاري في صحيحه, رقم الحديث: 595,5549
Malik bercerita kepada kami: Kami datang kepada Nabi --dan kami adalah para pemuda yang sebaya; kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari. Rasulullah adalah orang yang sangat pengasih dan santun. Ketika menduga bahwa kami telah rindu kepada keluarga, beliau bertanya tentang orang-orang yang kami tinggalkan; kami pun menceritakan kepada beliau. Beliau lalu bersabda, “Pulanglah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka; ajarkan kepada mereka dan perintahkanlah --beliau menyebutkan beberapa hal yang saya hafal atau pun yang saya tidak hafal-- dan kerjakanlah shalat sebagaimana kalian melihatku melakukannya; apabila telah tiba saat untuk shalat, hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua hendaklah menjadi imam.” (HR. al-Bukhari)
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قَالَ: كُنَّا
نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ
حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ
وَالصَّلاَةِ الوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ} فَأُمِرْنَا
بِالسُّكُوتِ (رواه البخاري: رقم الحديث:4170
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata: Kami pernah berbicara saat shalat, salah seorang dari kami berbicara kepada temannya tentang keperluannya, hingga turun ayat, “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.”(QS. al-Baqarah [2]: 238). Maka, kami diperintah agar diam. (HR al-Bukhari)
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قَالَ::
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ
إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ {وَقُومُوا لِلَّهِ
قَانِتِينَ} فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ، وَنُهِينَا عَنِ الْكَلَام (رواه
مسلم: 838, والترمذي:370
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata: Kami pernah berbicara saat shalat, salah seorang dari kami berbicara kepada temannya yang berada di sampingnya saat shalat, hingga turun ayat, “Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.”(QS. al-Baqarah [2]: 238). Maka, kami diperintah agar diam dan dilarang berbicara. (HR al-Bukhari)ِ
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ
السُّلَمِيِّ، قَالَ....... قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ
كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ
الْقُرْآنِ..... (رواه مسلم: رقم الحديث: 836
Dari Mu’awiyah bin al-Hakam al-Sulami, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Tidak layak dalam shalat ini sedikit pun (untuk mengucapkan) perkataan manusia; kata-kata dalam shalat hanyalah berupa tasbih, takbir, dan membaca al-Qur’an…”.(HR. Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري:2499, ومسلم: 3242, وأبو داود: 3990, وابن ماجة: 14
Dari ‘A’isyah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yang bukan dari agama, maka ia ditolak.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَأَمْرُهُ رَدٌّ (رواه أحمد: 23975
Dari ‘A’isyah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Barang siapa melakukan suatu amalan (perbuatan) yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu ditolak.”(HR. Ahmad).
3. Kaidah fiqh. Sebagai suatu ibadah, bentuk maupun tatacara pelaksanaan salat harus mengikuti segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam (Syari’ah) serta dipraktikkan oleh Rasulullah. Kaidah Fiqh menegaskan:
1) الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ
بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى
الْمَعَانِي.... وَكَذَلِكَ الصَّلَوَاتُ خُصَّتْ بِأَفْعَالٍ مَخْصُوصَةٍ
عَلَى هَيْئَاتٍ مَخْصُوصَةٍ، إِنْ خَرَجَتْ عَنْهَا لَمْ تَكُنْ
عِبَادَاتٍ..... وَإِنَّمَا فَهِمْنَا مِنْ حِكْمَةِ التَّعَبُّدِ
الْعَامَّةِ3 الِانْقِيَادَ لِأَوَامِرِ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِفْرَادِهِ
بِالْخُضُوعِ، وَالتَّعْظِيمِ لِجَلَالِهِ وَالتَّوَجُّهِ إِلَيْهِ،
وَهَذَا الْمِقْدَارُ لَا يُعْطِي عِلَّةً خَاصَّةً يُفهم مِنْهَا حُكْمٌ
خَاصٌّ؛ إِذْ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ؛ لَمْ يُحَدَّ لَنَا أَمْرٌ مَخْصُوصٌ،
بَلْ كُنَّا نُؤْمَرُ بِمُجَرَّدِ التَّعْظِيمِ بِمَا حُدَّ وَمَا لَمْ
يُحَدَّ، ولكان المخالف لما حد غير ملوم إذا كَانَ التَّعْظِيمُ بِفِعْلِ
الْعَبْدِ الْمُطَابِقِ لِنِيَّتِهِ حَاصِلًا، وَلَيْسَ كَذَلِكَ
بِاتِّفَاقٍ، فَعَلِمْنَا قَطْعًا أَنَّ الْمَقْصُودَ الشَّرْعِيَّ
الْأَوَّلَ التَّعَبُّدُ لِلَّهِ بِذَلِكَ الْمَحْدُودِ، وَأَنَّ غَيْرَهُ
غَيْرُ مَقْصُودٍ شَرْعً (الشاطبي، الموافقات في أصول االشريعة، بيروت: دار
المعرفة، ج 2، ص: 300-301
2) لا تشرع عبادة إلا بشرع الله (الدكتور وهبة الزحيلي، نزرية الضرورة الشرعية، دمشق: مكتبة الفارابي، 1969، ص: 32
“Suatu ibadah tidak disyari’atkan kecuali disyari’atkan oleh Allah.”
3) الأصل فى العبادات التوقيف، فلا يتعبد
الله إلا بما شرعه الله في كتابه وعلى لسان رسوله محمد صلى الله عليه وسلم،
فإن العبادة حق خالص لله تعالى قد طلبه من عباده بمقتضى ربوبيته لهم.
وكيفية العبادة وهيئتها والتقرب بها لا يكون الا على الوجه الذي شرعه وأذن
به. قال تعالى : أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
-الشورى: 21- (الدكتور صالح بن عبد الله بن حميد، رفع الحرج في الشريعة
الإسلامية ضوابطه وتطبيقاته، دم:دار الإستقامة، الطبعة الثانية، 1412 ﻫ ص:
103
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif(mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Syari’ah). Karena itu, tidak dibenarkan beribadah kepada Allah kecuali dengan peribadatan yang telah disyari’atkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Nya, Muhammad saw. Hal itu karena ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari para hamba-Nya berdasarkan sifat rububiyah-Nya terhadap mereka. Tata cara, sifat, dan ber-taqarrub(melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan ibadah hanya boleh dilakukan dengan cara yang telah disyari’atkan dan diizinkan-Nya. Ia berfirman: ‘Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?...’ (QS. asy-Syura [42]: 21).”
العبادات مبناها على التوقيف والإتباع،
لا على الهوى والابتداع. ففي الصحيحين عن عائشة عن النبي صلى الله عليه
وسلم أنه قال: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (ابو الفضل عبد
السلام بن محمد بن عبد الكريم، التقريب والتهذيب لعلوم شيخ الإسلام،
الاعتصام بالكتاب والسنة، لشيخ الإسلام ابن تيمية، دار الفتوح الإسلامية،
الطبعة الأولى، 1995، 2: 81
“Ibadat itu didasarkan pada tauqifdan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi), bukan pada hawa nafsu dan ibtida’(cipataan sendiri). Ditegaskan dalam dua kitab hadis sahih (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim), dari ‘A’isyah, dari Nabi saw., ia bersabda, ‘Barang siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yang bukan dari agama, maka ia ditolak.’”
ومن هذه القواعد الجامعة قاعدة العبادات،
وهي أن الله سبحانه وتعالى لا يعبد إلا بما شرع، ولذلك كانت العبادات كلها
توقيفية، لا تعلم إلا من جهة الله تعالى، لأنه هو الذي يعلم ما يرضيه وما
لا يرضيه، وقد بين في كتابه على لسان رسول الله صلى الله عليه وسلم كل ما
يتعلق بذلك؛ فعبادة الله تكون بكتاب الله وسنة رسوله وباتباع السلف الصالح
(السيد محمد بن السيد علوي المالكي الحسني، منهج السلف في فهم النصوص بين
النظرية والتطبيق، الطبعة الثانية، 1419 ﻫ، ص: 430
Memperhatikan:
1. Aqwal ulama:
أن الصلاة مبناها على التعبد والاتباع والنهي عن الاختراع. (المجموع ج 3/243 للإمام النووي
ولا الترجمة لقوله تعالى: (إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا) فدل على أن العجمي ليس بقرآن...... لأن
نظم القرآن معجز (مغنى المحتاج ج 1/159 للخطيب الشربيني
ولا يترجم عنها لفوات الإعجاز فيها ومثلها بدلها إن كان قرانا (حاشية البيجوري ج 1/154 للشيخ إبراهيم البيجوري
2. Fatwa MUI Propinsi Jawa Timur No.Kep-13/SKF/MUI/ JTM/II/2005.
3. Rapat Komisi Fatwa bersama Dewan Pimpinan MUI pada Sabtu, 28 Rabi’ul Awwal 1426 H/07 Mei 2005.
Dengan memohon taufiq dan ridho Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG SHALAT DISERTAI TERJEMAH BACAANNYA
1. Shalat adalah suatu ibadah murni (‘ibadah mahdhah); oleh karena itu, melaksanaannya wajib mengikuti petunjuk Allah s.w.t. yang telah disampaikan dan dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w.; baik dalam bacaan maupun gerakannya (aqwal wa af’al).
2. Shalat yang disertai terjemah bacaannya adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.
3. Shalat yang dilakukan oleh pengasuh Pondok I’tikaf Jamaah Ngaji Lelaku Yayasan Taqwallah tergolong bid’ah dhalalah, yaitu bid’ah yang sesat serta tertolak; dan shalat yang dilakukannya adalah tidak sah.
Agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Rabi’ul Awwal 1426 H
07 Mei 2005 M
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.AgSumber : Situs Resmi MUI
http://www.mui.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar